Ramadhan di Hotel Prodeo
Siapa bilang Ramadhan di penjara serba susah. “Dibanding gelandangan pinggir jalan, hidup napi lebih baik,” kata Gunadi, Kalapas Cipinang. Kebutuhan jasmani dan rohani napi terjamin.
Oleh Ade Irwansyah
Sebutannya keren: hotel. Tapi, rasanya tak ada yang mau disuruh menghuni hotel yang satu ini, hotel prodeo. Nama itu istilah untuk menyebut penjara. Ya, siapa yang mau merelakan tubuhnya terkerangkeng di dalam sel, tak bebas berkeliaran kemana-mana. Namun demikian, sejumlah orang terpaksa tinggal di penjara—termasuk bulan Ramadhan seperti sekarang. Hm, bulan puasa begini, seperti apa rasanya hidup di penjara ya?
Berpuasa di penjara rasanya tentu berbeda dengan di alam bebas seperti kita. Hanya saja, Anda salah mengira kalau berpuasa di penjara bakal sepi dari kegiatan. Mari tengok Lembaga Pemasyarakatan Cipinang di Jakarta Timur. Lapas ini tak kurang dihuni 3.811 napi. Jumlah ini terlalu banyak bagi penjara seluas 9,6 hektar ini. Mestinya, kata Gunadi, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, penjara ini idealnya “hanya diisi 880 orang narapidana,” ujarnya.
Makan terjamin selama puasa
Dari sekitar tiga ribu delapan ratusan napi itu tentu tak semuanya beragama Islam atau berpuasa. “Setiap hari kami data siapa saja yang akan berpuasa esok hari,” kata seorang pegawai lapas. Dari situ, akan ditentukan berapa besaran konsumsi makanan yang akan dikeluarkan. Saat Bintang berkunjung ke sana Rabu (27/9) siang lalu, terdata 3.260 napi yang berpuasa. Setelah data diperoleh, makanan pun disiapkan. Untuk berbuka puasa, disiapkan kolak (atau kadang berganti dengan kacang hijau). Harga kolak itu dianggarkan 1000 rupiah per napi. Kolak dibagikan dalam bungkus plastik pad setiap napi. Lantas, setiap napi diberi makan malam. Pada dini hari, napi yang akan berpuasa disuguhi makan sahur.
Santap sahur mulai disiapkan sejak pukul 1 dini hari. “Karena orang yang kami bagi banyak sekali,” bilang seorang petugas lapas. “Membagikan makanan saja bisa makan waktu 2 jam.” Makan sahur (atau pun makan malam) sebenarnya cuma pengganti jatah makan harian di dalam penjara. Setiap hari, seorang napi berhak dapat jatah makan 3 kali sehari: pagi, siang, sore. Jatah makan seorang napi sehari berkisar 8000 rupiah. Dalam satu minggu, napi dapat makan daging dua kali, saban Senin dan Kamis. Sementara itu, tiga kali seminggu napi dapat makan telor. Usai makan besar, napi juga berhak dapat cuci mulut setiap hari. “Kami beri pisang,” sebut Gunadi. O ya, kata Gunadi lagi, “Napi juga bisa tambah nasi lagi bila masih lapar.” Sementara itu suplai air minum membludak. “Kami siapkan banyak air masak, tinggal ambil sesuai kebutuhan.”
Gunadi berujar, kebutuhan hidup minimal seorang napi sudah tercukupi di penjara. “Standar kemanusiaannya sudah kami penuhi,” katanya. “Dibanding gelandangan di pinggir jalan atau yang kelaparan, makan napi lebih teratur. Hidupnya lebih baik.” Rupanya, hal ini disadari betul sejumlah napi. Seorang petugas lain bercerita, sering bertemu orang yang sama keluar-masuk penjara. “Waktu saya tanya, dia bilang mending tinggal di penjara. Di luar malah susah makan,” cerita sang petugas. Tambahan pula, jika napi tak berkenan dengan makanan yang disiapkan petugas penjara, “Mereka kami beri kesempatan menambah gizi yang bersangkutan melalui uangnya sendiri,” bilang Gunadi. Napi bisa menggunakan uangnya (yang didapat dari kerabat yang membesuk) untuk membeli berbagai kebutuhan—termasuk makanan—dari kantin penjara.
Pemenuhan kebutuhan rohani napi
Itu untuk urusan jasmani. Bagaimana dengan pemenuhan kebutuhan rohani para napi selama Ramadhan? Sepanjang Ramadhan, napi tak perlu khawatir ibadahnya terusik. “Akses untuk beribadah kami beri seluas-luasnya,” bilang Kamal, seorang petugas lapas. Sampai waktu sholat ashar, napi bebas keluar sel untuk beribadah di masjid dalam penjara. Saat maghrib tiba, napi berkumpul untuk sholat berjamaah. Tentu, kapasitas masjid yang hanya ditujukan bagi 500 jamaah, takkan mungkin menampung lebih dari 3.000 orang beribadah sekaligus. Sebagai solusi, sholat maghrib dilangsungkan di kantung-kantung napi di tiap blok atau aula. Di dalam sel, napi lebih bebas lagi beribadah. Napi yang ingin mengaji di sel diberi Al-Quran. “Membaca Al-quran dalam sel sampai jam berapa pun takkan masalah,” kata Kamal. Gunadi menambahkan, dirinya malah makin senang ada napi yang aktif dalam hal keagamaan.
Bagi napi yang ingin sholat tarawih, pengelola lapas juga menyediakan imam-imam untuk sholat. Seperti halnya sholat maghrib berjamaah, tarawih tak mungkin dipusatkan di masjid penjara saja. Maka, imam tarawih disebar untuk sholat di berbagai sudut penjara. Di lapas Cipinang sendiri, setiap tahun bekerjasama dengan lembaga dakwah (di antaranya pendakwah dari KODI (Kordinator Dakwah Islam) dan dari masjid Al-Azhar, Jakarta) untuk jadi imam sholat tarawih. Bilangan sholat tarawih di penjara 8 rakaat plus 3 rakaat sholat witir. Sholat tarawih diselingi khutbah pendek dari sang pendakwah. Selain pendakwah dari luar, sipir penjara yang dianggap punya ilmu keislaman lebih kerap didapuk jadi imam. “Petugas sini juga ada yang bertitel sarjana agama, atau biasa jadi imam masjid lingkungannya,” kata Kamal.
Terkadang, di antara sesama napi juga ada yang dipercaya jadi imam sholat. Nah, khusus di lapas Cipinang sendiri tak kurang ada 26 napi dan tahanan yang tersangkut kasus terorisme. Bagi tahanan dengan tuduhan terorisme ini, pengelola lapas mengambil kebijakan tak membolehkan mereka berdakwah atau menyebar ajaran radikal di penjara. “Mereka tidak kami ijinkan ceramah,” ujar seorang petugas penjara. Namun, sekadar mengajar mengaji pada napi-napi yang buta huruf Al-Quran dibolehkan. Selain itu, saban Ramadhan, saat malam Nuzulul Quran, ada hajatan di dalam penjara. Antar napi diikut sertakan dalam lomba baca Al-Quran.
Ramadhan di penjara ternyata cukup riuh oleh berbagai kegiatan. Napi tinggal pilih mau ikut serta atau tidak. Tentu saja, selama beribadah napi mesti dijaga ketat para sipir. Lapas Cipinang dijaga tak kurang 44 sipir—jumlah tak seimbang bila dibanding total napi yang berjumlah 3.811 orang. “Walau dirasa kurang orang, penjagaan tetap kami lakukan,” bilang Gunadi. “Karena itu prinsip penjara. Kalau tidak dijaga, kami malah salah.” ***
Menengok Revaldo Melewatkan Ramadhan di Penjara
Meski terserang asma, Aldo berkeras berpuasa . Di hari ke-4 Aldo tak kuat. Asmanya makin parah. Bagaimana Aldo mengisi hari-harinya di penjara bulan Ramadhan ini?
Oleh Ade Irwansyah
Hari itu, Rabu (27/9) pekan lalu, Revaldo sedang tak berpuasa. Saat menemui Bintang di salah satu ruang petugas Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur, wajah Revaldo tampak sedikit pucat. Mukanya terlihat lebih tirus. Selama ditahan, katanya, berat tubuhnya turun. “Sekarang berat saya 65 kilogram,” katanya. “Kalau dulu, sekitar 68 kilogram.” Namun, bukan lantaran merasa lebih kurus Aldo, sapaannya, tak puasa hari itu. Ia bilang, penyakit asmanya yang sudah menahun, kembali kambuh. “(Penyakit asama) ini kambuh setiap tahun kalau pergantian musim kemarau ke musim hujan kayak sekarang,” bilangnya.
Sejak dua hari sebelum Ramadhan, Aldo sudah mulai merasa asmanya bakal kambuh. Hanya saja, saat Ramadhan datang, Aldo menguatkan diri berpuasa. Selama 3 hari pertama Ramadhan Aldo kuat berpuasa hingga bedug maghrib bertalu. “Saya maksain diri buat berpuasa,” ujar Aldo. Namun, di hari keempat ia tak kuasa menahan sakit. Padahal, kata seorang penjaga penjara, Aldo sudah mendaftar buat berpuasa hari Rabu itu. Di malam harinya, ia urung ikut makan sahur.
Paginya, Aldo membuat penghuni lain masih terlelap usai subuh jadi terbangun. “Semua bangun dengar saya batuk,” katanya. Sambil berkelakar mereka berkomentar macam-macam.
“Si Aldo kenapa, tuh?” tanya rekan satu selnya.
“Main biola?” tanya yang lain.
“Kemasukkan tikus?” tanya yang lain lagi.
Sesaat sebelum menemui Bintang, Aldo bertemu pengacaranya yang juga masih kerabatnya. Dari pengacaranya, Aldo dapat obat asma pasokan obat asma hirup. “Obat-obatan kayak begini nggak dijual di sini,” sesalnya. Ia lantas menghirup obat itu dalam-dalam.
Aldo resmi menyandang status napi Agustus lalu. Ia divonis 2 tahun penjara berikut denda 1 juta rupiah subsider satu bulan kurungan. Aldo terbukti bersalah menyimpan shabu yang ditemukan polisi saat menggrebek rumah kontrakannya, 10 April silam. Saat tertangkap tangan, Aldo kedapatan memiliki 2 paket shabu tersimpan di saku celana sebelah kirinya (seberat 0,1525 gram) dan satu paket lagi disimpan di kotak kayu (seberat 0,1484 gram). Syahdan, Aldo mesti meringkuk di penjara—termasuk melewatkan Ramadhan kali ini sambil menginap di hotel prodeo.
Aktivitas di penjara
Aldo bercerita merasakan betul perbedaan puasa di penjara dengan di luar sana. “Biasanya hari-hari pertama puasa itu dihabiskan bareng keluarga,” katanya. Yang bisa dilakukannya kini, hanya bisa saling kirim kabar saat berbuka puasa dan menjelang sahur. Selama 3 hari Ramadhan kemarin, orangtua Aldo belum sekali pun datang membesuk. “Mereka pasti ada urusan lain. Anak mereka kan bukan saya saja,” katanya.
Selama berpuasa, Aldo mengisi aktivitas dengan banyak hal berguna. “Saya banyak baca buku di sini,” katanya. Ia sedang menamatkan novel Paolo Coelho, The Fifth Mountain. Kegiatan ini jarang dilakukannya saat bebas dulu karena sibuk syuting. Ia bercerita, novel Harry Potter and the Order of Phoenix bisa dihabiskan sampai satu setengah bulan lantaran mesti diselingi syuting sana-sini. Kini, cerpen Dee, Filosopi Kopi langsung ia tamatkan sekaligus. Buku tebal semisal La Tahzan juga ia habiskan tanpa perlu waktu lama. Membaca jadi bagian agar hidup di penjara tak terasa membosankan buat Aldo. “Kalau sampai merasa bosan, bisa bunuh diri. Jadi, buat bagaimana caranya biar nggak bosan,” bilangnya. Selain membaca, saat puasa belum datang, Aldo sering menghabiskan waktu dengan berolahraga. Berbagai macam jenis olahraga di penjara ia coba, entah basket, bulu tangkis, sampai pingpong. “Di sini saya belajar main pingpong,” ujarnya girang. Setiap ada kesempatan keluar sel, Aldo bakal ngeloyor ke lapangan atau aula, memilih salah satu jenis olahraga. Nah, terkadang Aldo sampai lupa waktu. Saat matahari terbenam, kala setiap napi mesti masuk sel, bintang sinetron Ada Apa dengan Cinta? ini masih asyik bermain. Hal ini membuat ia sering dicari-cari para sipir penjara. Aldo melakukan itu hampir setiap hari. Alhasil, ia dijuluki “Aldo Si Napi Badung.”
Aldo berujar, tak kesulitan soal makanan saat berpuasa. Biasanya, ia dan rekan-rekan selnya patungan belanja bahan makanan untuk berbuka puasa atau sahur. “Bahan makanan itu kami beli di kantin penjara, lalu minta dimasak oleh koki penjara,” katanya. Dari situ, kedekatan di antara sesama napi makin terjalin. “Setiap buka puasa dan sahur kami makan bareng,” bilang Aldo yang menghuni blok 2-A kamar 6. Ia menghuni kamar itu bersama 9 orang napi lain. Saat akan berbuka, Aldo dan rekan-rekan selnya berembuk mebentukan menu buka puasa. “Kami berunding, misalnya mau buka pakai kolak atau bubur kacang hijau,” bilangnya. Sahur pun demikian. Selama beberapa hari Ramadhan, Aldo santap sahur tiap jam 3 pagi.
Belajar “bahasa bui”
Selain kebersamaan bareng rekan satu sel, Aldo makin intens beribadah saat berpuasa di penjara. Ia makin punya banyak waktu buat beribadah. Kalau waktu masih bebas dulu, katanya, hari-harinya diisi sibuk syuting—termasuk saat bulan puasa. “Puasa tahun lalu shalat tarawih saya bolong-bolong. Sebab, orang-orang tarawih saya malah syuting atau sedang jalan entah ke mana. Kalau sekarang teratur,” terangnya.
Di penjara, Aldo tak punya jadwal waktu baku. Hari-harinya diisi buat makin mengenal kehidupan penjara. Ia bilang sudah hapal banyak gaya pergaulan para napi. Katanya, para napi punya bahasa pergaulan sendiri. Ia memberi contoh. Katanya, perkenalan antar napi justrubtak diawali saling tanya nama seperti umumnya orang berkenalan. Tapi bertanya, “Sudah putus belum, lu?” Maksudnya, apa sang lawan bicara sudah dapat vonis hukuman hakim. Bila dijawab iya, lalu meluncur pertanyaan, “Kena berapa?” (maksudnya, hakim memvonis berapa tahun?) pasal yabng ditimpakan justru jadi pertanyaan belakangan. Istilah-istilah lain di penjara (Aldo menyebutnya “bahasa bui”) juga dikenalnya semisal “dikeong—artinya sel digembok.” Para sipir katanya punya jurus jitu yang bikin napi ciut. “Bukan mengancam bakal memukul, cukup bilang, 'Awas lu, gua sel,'” ceritanya. Sel yang dimaksud sel isolasi, akrab disebut “sel tikus.”
Aldo bercerita dengan riang perihal kesehariannya di penjara (meski diselingi batuk-batuk). Ia berujar pengalamannya di penjara akan jadi pelajaran hidup paling baginya. “Banyak hikmah yang bisa diambil,” ujarnya sambil menerawang. Aldo tak merinci hikmah apa yang bisa ia jadikan pelajaran. Mungkin ia ingin menyimpannya rapat-rapat, menyembunyikannya di balik keriangannya bercerita kehidupan dalam penjara. Sebab, seindah-indahnya kehidupan penjara, masih lebih indah hidup bebas. Dan masa itu masih akan berlangsung berbulan-bulan lagi buat Aldo.***
Dimuat BINTANG INDONESIA edisi 806
Sunday, July 29, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment