Tuesday, July 24, 2007

Konflik di tubuh PARSI

Organisasi Papan Nama Itu Bernama PARSI

Bagaimana kemelut di tubuh PARSI bermula dan memuncak?

Oleh Ade Irwansyah

Sebuah kemeriahan berlangsung di Palembang, Sumatera Selatan, 30 November 2004. Sejumlah artis dari Jakarta datang ke Palembang dalam rangka menyambut Festival Film Indonesia (FFI) yang akan digelar Desember tahun itu. Dalam rombongan artis itu ada Anwar Fuady, Dwi Yan, Pungky Suwito, Yati Octavia, Anya Dwinov, Helmalia Putri, Marcella Zalianty, Olivia Zalianty, Happy Salma, Silvana Herman, Helmi Yahya, Emma Waroka, dan Syailendra. Mereka mengadakan road show alias pawai artis mengkampanyekan FFI yang kembali digelar setelah bertahun-tahun vakum. Malamnya, diadakan acara makan malam bersama walikota Palembang Eddie Santana di Hotel Aston. Malam itu tak ada yang istimewa. “Hanya ada pidato-pidato pejabat soal ide-ide kesenian di Palembang,” kata David Pranata Boer saat bercerita kembali, Rabu (1/2) siang pada Bintang.

Namun kemudian, acara kumpul-kumpul itu ditasbihkan sebagai hari jadi PARSI cabang Sumatera Selatan. Padahal, “Nggak ada omong-omong kalau malam itu kami dirikan PARSI Sumatera Selatan,” bilang David. Sekonyong-konyong, sejak saat itu lahir PARSI di Palembang. Anwar Fuady, sang ketua umum PARSI, menunjuk Martha sebagai ketua PARSI Sumatera Selatan. David sendiri diminta Anwar buat jadi salah satu pengurus. “Pak Martha itu teman sekolah Pak Anwar Fuady. Sampai sekarang ia masih mengurus PARSI di sana,” buka David. Kampung halaman Anwar di Sumatera Selatan. Ia pernah mencalonkan diri jadi gubernur provinsi itu, tapi gagal.

Syahdan, Sumatera Selatan jadi cabang kesekian dari PARSI yang berpusat di Jakarta. Sebelumnya, PARSI sudah punya cabang di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan kemudian Bali. Setelah Anwar menunjuk Martha jadi ketua Parsi di Palembang tak pernah ada rapat buat menghimpun pelaku seni di Palembang. Belakangan, pertengahan Juni tahun lalu, PARSI pusat mengundang PARSI daerah—termasuk Sumatera Selatan—buat hadir dalam Musyawarah Besar (mubes). PARSI Sumatera Selatan mengirim 20-an orang delegasi ke Jakarta. Di Ibu Kota, mereka hura-hura. Sebelum ikut mubes wakil PARSI daerah tampil di teve ikut kuis Siapa Berani di Indosiar. “Kami dua kali ikut kuis itu,” katanya.

David menyebut undangan buat mubes PARSI tempo hari mirip undangan makan siang. Sekadar kumpul-kumpul, kongko-konko, tapa kelengkapan administrasi apa pun. Saat mubes yang berlangsung 21 Juni tahun lalu itu (bukan 22 Juni seperti ditulis Bintang edisi 771), cerita David, dipertanyakan keabsahan keanggotaan PARSI. Rupanya, tak seorang pun memegang kartu anggota sebagai penanda anggota PARSI—tak juga Anwar dan pengurus lain. Mubes mendadak kisruh. Roy Marten, seorang pengurus PARSI, ditunjuk jadi ketua care taker buat membenahi PARSI. David ditunjuk jadi wakilnya. Belakangan, di PARSI Sumatera Selatan, beber David, ada rapat buat menyingkirkan dirinya dari kepengurusan PARSI di sana. “Mungkin saya dianggap orangnya Roy,” kata David.

Sejarah Dibalik Berdirinya PARSI
Sekelumit kisah PARSI di Sumatera Selatan itu rasanya cukup buat menggambarkan carut-marut organisasi yang dipimpin Anwar Fuady ini. Padahal, saat dibentuk 19 Juli 1998, PARSI punya tujuan mulia mengayomi pesinetron tanah air. Kala itu, pelaku hiburan—khususnya film—sedang patah hati dengan organisasi Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) yang lebih sering berebut kursi ketua ketimbang mengurus anggotanya. Di lain pihak, industri film tengah lesu saat itu. Yang booming justru tayangan sinetron. “Lalu teman-teman ingin ada semacam wadah profesi sebagai alat perjuangan,” kata Roy Marten. Ia dihubungi buat menggagas oganisasi itu. “Saya menolak,” katanya, “Karena saya tahu, organisasi buat seniman itu hampir mustahil bisa digunakan sebagai alat perjuangan (buat anggotanya).” Namun, Roy didesak terus buat membentuk organisasi itu. Akhirnya ia setuju. “Saya setuju dengan catatan bahwa artis sinetron yang tua-tua, termasuk saya, idak ikut dalam kepengurusan,” ujar Roy, “Saya bilang, ‘Kami yang tua-tua ini sudah terkontaminasi. Biarkan anak-anak muda yang memimpin.’”

Keinginan Roy itu disetujui. Namun, ia melihat keraguan dari para pesinetron muda buat memimpin organisasi. Kemudian, cerita Roy, Anwar Fuady meneleponnya. “Pagi-pagi dia telepon saya,” ungkapnya, “Dia ingin sekali jadi ketua PARSI. Saya tolak. Karena komitmen awalnnya yang tua tak ikut dalam kepengurusan.” Namun Anwar memohon pada Roy. “Dia bilang, ‘Roy, angkat saya satu hari saja sebagai ketua PARSI. Besoknya dipecat terserah. Yang penting saya pernah jadi ketua PARSI,’” ujar Roy menirukan ucapan Anwar saat itu.

Roy mengabulkan permintaan Anwar. Ia berujar merekayasa supaya Anwar terpilih jadi ketua umum PARSI. “Anak-anak muda saya takut-takuti. Saya bilang, ‘Ketua umum PARSI berkewajiban menyediakan ruang untuk kantor dan 6 bulan gaji karyawan,’” ungkap Roy. Tak ada pesinetron muda yang berani mengajukan diri. “Akhirnya semua memilih Anwar,” kata Roy. “Saya menyesal dan merasa bersalah atas terpilihnya Anwar.”

Setelah jadi ketua umum, Anwar malah sering tampil one man show. Hingga 7 tahun berdiri PARSI tak kunjung punya kartu anggota buat pesinetron. Hal ini membuat keabsahan PARSI dipertanyakan. Dalam sebuah jumpa pers dua pekan lalu, Roy berujar, “PARSI itu organisasi papan nama. Karena tak punya anggota satu orang pun.” ***


PARSI, Masihkah Diperlukan?

Oleh Ade Irwansyah

Di depan sebuah ruangan di Gedung Film, Jakarta, Kamis (2/2) sore kemarin, sekumpulan remaja berkumpul. Ada yang komat-kamit merapal dialog; ada pula yang kongko-kongko ngalor-ngidul. Mereka murid-murid sekolah akting di PARSI Cinema College (PCC) yang siap dikasting sang guru akting mereka, pesinetron Derry Drajad. Usai maghrib, mereka digring masuk ruangan, dipanggil satu-persatu. Menyaksikan keseriusan mereka, terlihat bahwa seakan mereka tak peduli kalau PARSI—organisasi yang mempunyai sekolah tempat mereka menimba ilmu akting—sedang punya masalah. “Sehari-hari di sini berjalan seperti biasa,” bilang Derry pada Bintang yang datang bertandang.

Murid-murid sekolah akting itu berharap banyak dari PCC. Mereka tengah berusaha mewujudkan mimpi jadi pemain sinetron. Buat mereka, PARSI yang mendirikan PCC seakan membuka jalan buat mewujudkan angan-angan itu. Untuk bersekolah di PCC dibutuhkan dana tak sedikit. Untuk setiap angkatan, dipungut biaya 4 juta rupiah per murid. Uang sebanyak itu bisa dicicil dalam 3 kali pembayaran. Walau menetapkan uang sejumlah itu buat yang ingin kursus akting, kata Derry, PCC diminati banyak orang. “Kami bisa saja naikkan tarif jadi 6 juta rupiah dan orang tetap datang,” katanya. “Kami juga bisa menerima sebanyak mungkin orang. Tapi itu tak kami lakukan. Setiap angkatan kami cuma terima sekitar 20 orang,” bilang Derry yang juga menjabat direktur PCC.

PCC seakan jadi bukti nyata kontribusi PARSI buat persinetronan negeri ini. Di luar itu, sorry to say, kontribusi PARSI nyaris nihil. Selain acara-acara amal anu, kampanye keprihatinan ini-itu, berkunjung ke pejabat sana-sini, PARSI sebatas melakukan kegiatan seremonial belaka.

Dalam setiap acara seremonial itu biasanya Anwar Fuady, sang ketua umum, menelepon artis satu persatu bila esok hari atau beberapa hari lagi bakal ada acara yang mengatasnamakan PARSI. Pesinetron Ozy Syahputra termasuk yang beberapa kali ikut acara-acara PARSI. “Saya ditelepon langsung Bang Anwar,” kata Ozy, “Kalau kebetulan tak ada acara saya datang, kalau lagi syuting ya tidak.” Selain Ozy, pesinetron muda Raffi Ahmad juga sering ikutan acara PARSI.
Kalau ikut acara PARSI begitu, aku Raffi, ia diberi uang sekadarnya. “Itu uang transport,” katanya tanpa merinci berapa besaran uang yang ia dapat. “Soalnya saya selalu minta uangnya ditransfer saja lewat rekening bank yang saya beri,” kata Raffi. Soal bagi-bagi uang itu dibenarkan Derry yang juga pengurus PARSI. “Selama ini tak ada komplain dari artis-artis yang ikut acara PARSI,” bilang Derry.

PARSI di mata pesinetron muda
Lantas, apa cuma itu saja manfaat ikut PARSI? Buat Cut Keke, kehadiran PARSI tak memberi manfaat buat kemajuan kariernya. Beda dengan PARFI—Persautuan Artis Film Indonesia. Ia ingat betul, saat PARFI belum dilanda konflik intern, organisasi itu punya kepedulian pada artis yang jadi anggotanya. ‘Dulu, jaman PARFI belum seperti sekarang sejak terjadinya konflik, artis film terkoordinir rapi. Job juga dibagi merata, karena dikoordinir PARFI dengan persentase penghasilan.” Selain itu, “Jika anggotanya bermasalahpun dibantu. Bahkan dulu tidak sembarang orang bisa jadi artis sinetron.”

Sebenarnya, jika menilik AD/ART tak sembarang orang pula bisa jadi anggota PARSI. Dalam Bab II pasal 3 Anggaran Rumah Tangga PARSI disebutkan kalau syarat jadi anggota PARSI mesti sudah bermain sinetron dan diketahui publik serta direkomendasikan oleh sekurang-kurangnya 3 anggota dewan pengurus. Namun demikian, justru tak banyak artis sinetron yang ingin jadi anggota PARSI dalam arti membuat kartu anggota.

Raffi Ahmad, misalnya, pernah dikirimi formulir biodata yang dikeluarkan PARSI buat diisi. “Tapi karena sibuk saya belum mengisi dan mengembalikannya berikut foto saya,” kata Raffi. Buat mendaftar jadi anggota PARSI, Rafi tak dipungut biaya. “Buat iuran wajib bulanan atau yang lainnya pun tak pernah diminta,” bilang Raffi lagi. Sementara itu, pesinetron muda lainnya Ardina Rasty justru tak pernah ditawari jadi anggota PARSI. ‘Jujur saja saya tak pernah ditawari,” kata Rasty, sapaannya. Padahal, setahunya, ibunya Erna Santoso pernah aktif di PARSI maupun PARFI dulu. ‘Memang saya pernah dengar soal PARSI. Tapi waktu itu saya belum nyemplung di dunia hiburan. Jadi, nggak mau tahu lebih lanjut,” katanya. Lalu, bagaimana sekarang setelah ia berkali-kali main sinetron? “Begitu juga sekarang. Saya nggak mau ikut. Nggak tahu kenapa. Kalau ada kegiatan PARSI saya juga nggak pernah dihubungi.”

Pesinetron lain Alexandra Gottardo juga tak pernah ditawari bergabung ke PARSI. Ia malah mengaku nggak tahu-menahu soal PARSI. “Apalagi ditawari jadi anggotanya, tidak pernah,” aku Xandra, sapaannya. Buat dia, lebih enak tak ikut-ikutan organisasi macam begitu.

Sementara itu, Ririn Dwi Aryanti, pemeran Cinta di serial Ada Apa dengan Cinta? (AAdC?) tahu soal keberadaan PARSI. “Tapi hanya selintas, nggak mendalam,” katanya. Ia mengaku tak tertarik buat bergabung jadi anggota PARSI. “Soalnya teman-teman saya yang lain, terutama dari AAdC?, yang saya tahu nggak ada yang jadi anggota PARSI,” bilang Ririn.

Nia Ramadhani tergolong artis sinetron yang beberapa kali diundang buat acara-acara PARSI. Tapi ia tak pernah datang memenuhi undangan. “Belum diijinkan orangtua,” katanya. Orangtua Nia beralasan, ia masih terlalu muda buat aktif berorganisasi. “Jadi saya nggak tahu apa-apa soal PARSI,” bilangnya. “Yang penting job lancar.”

Buat artis, berorganisasi bisa jadi bukan prioritas utama. Hal ini, karenanya, seperti diungkap Derry Drajad, mengelola organisasi keartisan itu tak mudah. Sebab, “Artis itu tak penah ada di rumah. Pergi pagi, pulang malam,” kata Derry. Hingga, mengumpulkan artis itu dalam satu tempat itu sulit.

Geliat PARSI daerah
Well, walau sulit mengajak artis di Jakarta buat berhimpun dalam PARSI, nyatanya organisasi itu sudah membuka cabang di sejumlah provinsi. PARSI sudah ada di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, hingga Bali. Daerah menyambut antusias pendirian PARSI di sana. PARSI Jatim yang didirikan 26 Oktober 2002, berpusat di Surabaya, tergolong paling aktif. Di Surabaya, PARSI Jatim sudah membuka kursus akting semacam di Jakarta. Lulusan kursus akting PARSI Jatim diajak main sinetron yang tayang di teve lokal sana, JTV. PARSI Jatim sudah terlibat dalam pembuatan sinetron antara lain: Kidung Kya-kya, Dolly Wood, Kembang Kuning, Opera Dar Der Dor, Cafe Tunjungan, Gatot Kaca, dan Ketupat Gaul.

Kata Ellen Sumawati, bendahara umum PARSI Jatim, PARSI di sana didirikan dengan harapan buat mengangkat talenta-talenta akting dari Jatim. Ia bilang, PARSI Jatim sering aktif bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jatim maupun Pemerentah Daerah Kota Surabaya. “Kami sering bekerjasama melakukan aksi sosial,” katanya.

Bukan cuma itu saja. Bila PARSI pusat tak kunjung membuat kartu anggota buat anggotanya, PARSI Jatim selangkah lebih maju berinisiatif menerbitkan kartu anggota sendiri. Buat dapat kartu anggota itu murah saja. “Cuma membayar biaya pembuatan kartu 5 ribu rupiah,” bilang Ellen. Buat mendapatkannya tak sulit. Cukup ikut kursus akting PARSI Jatim, lalu ikut main sinetron yang dibuat PARSI buat teve sana, bisa membayar kartu anggota berbentuk mirip kartu kredit. “Sekarang anggota PARSI Jatim ada lebih dari 200 orang,” sebut Ellen. Dari PARSI pusat sendiri, aku Ellen, belum dapat kartu anggota.

Ellen mengungkapkan keprihatinannya melihat konflik di PARSI pusat. “Mesimya yang di pusat memberi contoh bagaimana berorganisasi,” kata Ellen. Sejauh ini, Ellen sudah merasakan manfaat PARSI daerah. Ia bilang, sudah ada 3 orang anggota PARSI Jatim yang terorbit jadi artis main sinetron di Jakarta (sayang Ellen tak ingat nama ketiga orang itu). Ia masih memerlukan uluran tangan perhatian PARSI pusat. Perhatian itu tak berwujud dalam bentuk uang. “Selama ini saya tak pernah mendapat bantuan uang dari PARSI pusat,” kata Ellen yang sehari-hari bekerja sebagai notaris di Surabaya. PARSI Jatim sendiri tak berkewajiban menyetor uang ke pusat. Bantuan itu, kata Ellen, lebih pada membuka jalan agar lebih banyak pesinetron Jatim berkesempatan main sinetron di Jakarta.

Harapan senada juga diutarakan pengurus inti PARSI Sumatera Barat. Kata ketua umum PARSI Sumbar, Am Tris, daerahnya minim perhatian PARSI pusat. Selama ini, katanya, PARSI Sumbar nyaris tak pernah tersentuh kegiatan PARSI pusat. “Padahal daerah kami punya potensi,” kata Tris yakin. Ia udah mengirim data berupa anggota PARSI Sumbar untuk dibuatkan kartu anggota oleh pusat tapi tak kunjung ditanggapi. Permintaan kurikulum buat membuka kursus akting pun tak dipenuhi. Setengah frustasi, Am Tris berujar, “Kalau begini mending tak perlu ada PARSI di sini,” katanya. Tapi ia buru-buru melanjutkan, kalau ia masib berniat membesarkan PARSI Sumbar. Katanya, PARSI Sumbar didirikan sejak 2 Juni 2002, dan pengurusnya dilantik di hadapan gubernur dan walikota.

Ungkapan PARSI sebaiknya dibubarkan saja justru datang dati pusat. Saat dimintai komentar oleh Bintang, pesinetron senior Dwi Yan berujar dengan tegas, “Bubarkan saja PARSI!” Baginya, PARSI bukan badan hukum, melainkan paguyuban. PARSI, katanya lagi, juga belum didaftarkan di departemen hukum buat dapat hak paten. ‘Jadi gampang saja kalau ingin membubarkan PARSI,” katanya. “Tinggal kumpulkan para pendirinya. Adakan voting, lalu putuskan apa PARSI perlu diteruskan atau dibubarkan.”

Lantas, adakah manfaat PARSI buat Dwi Yan selama ini? “Buat saya nggak ada. Kalau cuma kumpul-kumpul mending kita berteman saja. Kerjanya apa nggak jelas. Programnya apa saja, saya juga tak tahu,” jawab Dwi. Menurutnya, “Mestinya PARSI meberi manfaat buat anggotanya.” *** dibantu laporan Guritno dan Indra Kurniawan

Menelusuri Uang Rp. 900 Juta Sisa Pembuatan Sinetron Kutemukan Cinta

Oleh Ade Irwansyah

Naskah setebal 8 halaman itu belum sempat dibacakan, 22 Juni tahun lalu. Hari itu, PARSI yang membawahi pesinetron tanah air tengah melangsungkan musyawarah besar yang kedua. Dalam agenda acara, sekitar pukul 12 siang, mestinya sang ketua umum PARSI, Anwar Fuady membacakan laporan pertanggungjawaban yang ia buat. Namun, sebelum laporan itu dibacakan, rapat keburu deadlock alias buntu. Kekisruhan terjadi. Dengan serta merta, ribut-ribut macam sidang anggota DPR di Senayan pindah ke Gedung Film di Jalan MT Haryono.

Dalam naskah laporan itu, Anwar menulis kalau PARSI sudah bekerjasama dengan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah memproduksi sinetron Ku Temukan Cinta sebanyak 16 episode dan telah diputar di TVRI. Sinetron itu diproduksi 2003 lalu. Dalam laporannya, Anwar menulis, “Di samping itu, dari hasil produksi (sinetron) telah memberikan kotribusi pada Kas PARSI dan Kas Parsi Cinema College (sekolah akting PARSI) serta sejumlah peralatan syuting.”

Belakangan, produksi sinetron itu menimbulkan masalah. Roy Marten membeberkan kalau PARSI dapat kucuran dana 2,6 miliar rupiah dari Menteri Koperasi dan UKM saat itu Alimarwan Hanan. Kata Roy, dari uang yang dipakai masih tersisa 900 juta rupiah. Benarkah klaim Roy? Anwar menyebut kalau sisa pembuatan sinetron sudah masuk ke kas PARSI. Sementara itu, dalam laporan keuangan yang ditandatangani Anwar dan Mediana Hutomo, selaku bandahara umum, sisa pembuatan sinetron itu bukanlah 900 juta rupiah—tapi 90 juta rupiah. Kemana sisanya?

Kata Misye Arsita, selaku bendahara PARSI, sisa pembuatan sinetron Kutemukan Cinta hanya 110 juta. “Yang dua puluh juta buat membayar honor pemain dan kru, sedang sisanya masuk kas PARSI,” katanya. Sementara itu, kata Mediana, apa yang ditulisnya di laporan keuangan memang sejumlah itu. “Kalau saya terima sejumlah itu ya saya tulis sejumlah itu saja,” ujarnya.

Baik Mediana dan Misye menyebut kalau untuk proyek Kutemukan Cinta ada panitianya sendiri. “Ada project officer di luar pengurus PARSI,” kata Misye. Di antaranya ada Yudhi Surya dan Eddie Riwanto, mantan direktur sekolah akting PARSI.

Namun, saat ditanya pada Eddie, Kamis (2/2) malam, ia mengaku tak dilibatkan dalam proyek sinetron itu. “Saya dilibatkan hanya sebatas direktur PARSI Cinema College (nama sekolah akting PARSI),” katanya. Ia tak tahu menahu aliran dana dai kementerian koperasi ke PARSI. Kala itu, katanya, murid-murid PCCdilibatkan dalam syuting sinetron. “Cuma sebatas itu. Saya cuma pajang nama di situ,” ujar Eddie.

Mantan orang yang mengurusi sinetron itu lainnya, Yudhi Surya berujar kalau semua laporan menyangkut pembuatan sinetron itu sudah dilaporkan ke Anwar selaku ketua umum. “Semua datanya sudah ada di PARSI,” bilangnya. Ia membenarkan kalau kelebihan dana pembuatan itu sudah dibelikan kamera, tripod, dan teve.

Pertanyaannya kemudian, berapa sebenarnya yang diterima PARSI dari kementerian Koperasi dan UKM? Derry Drajad yang jadi bintang utama sinetron itu berkata, tak yakin kalau kelebihan dana yang ada sampai 900 juta rupiah. “Saya nggak yakin sampai sebesar itu,” katanya.

Anwar menanggapi tuduhan miring padanya dengan berapi-api. “Saya terima dengan lapang dada, tapi silakan buktikan kebenarannya,” kata Anwar. Well, rasanya mesti ada yang bertindak soal penyelewengan dana ini. Siapa yang berbohong harus segera diungkap. Pihak berwajib mesti segera menyongsong bola melakukan penyelidikan. *** dibantu laporan Guritno
Dimuat BINTANG INDONESIA edisi 772

No comments: