Sunday, May 28, 2006

Artikel film soal Cannes

Film Indonesia di Ajang Festival Film Cannes 2006

Oleh Ade Irwansyah

Cannes, sebuah kota wisata pantai di Prancis selatan, 1988. Chen Kaige, sutradara pembaharu dari China, datang bersama filmnya, King of the Children yang masuk kompetisi ke Festival Film Cannes (biasa disingkat Cannes saja) tahun itu. Chen kalah. “Saya tak tahu apa pun tentang festival ini. Saya pikir bakal menang Palem Emas, tapi tidak. Dan itu membuat saya kecewa,” katanya. Namun demikian, Chen takkan melupakan momen pertamanya di Cannes itu. “Saya kagum atas perlakuan festival ini pada pembuat film—maksudnya, orang film benar-benar dapat perlakuan istimewa pakai karpet merah segala. Dan yang agak lucu saat saya, mengenakan tuksedo, duduk di depan bendera Republik Rakyat China. Saya benar-benar merasa datang mewakili orang China.”

Chen bukan main bangganya bisa datang ke Cannes bersama filmnya yang ikut kompetisi—apalagi pada 1993 Chen memboyong pulang piala utama, Palem Emas, ke China lewat filmnya yang lain, Farewell My Concubine. Festival Film Cannes jadi hajatan besar insan sinema dunia. Kalau insan olahraga punya olimpiade, orang film punya Cannes. Di kota kecil tepi Pantai Riviera itu banyak orang berdatangan dari penjuru dunia. Konon, populasi penduduk kota Cannes membengkak 50 persen saat festival berlangsung medio Mei saban tahun.

Orang Asia sudah berkali- kali membuktikan diri sebagai pembuat film andal di Cannes. Selain Farewell dari China, film-film buata Iran dan Jepang berkali-berkali lolos kompetisi dan beberapa di antaraya, memenangi piala Palem Emas. Tahun ini, lagi-lagi Asia diberi kehormatan di Cannes. Wong Kar Wai, peraih sutradara terbaik di Cannes lewat Happy Together (1997), didaulat jadi ketua dewan juri tahu ini. Selain Wong yang sudah 4 kali memboyong filmnya ke Cannes buat ikut kompetisi, panitia Cannes juga mendapuk Zhang Zi Yi, bintang Memoirs of Geisha asal China, jadi salah satu anggota juri.

Kiprah sineas Indonesia
Lantas, bagaimana kiprah Indonesia di ajang Cannes? Kita boleh berbangga. Pada 2002, seorang anak negeri, Christine Hakim, didapuk jadi salah satu anggota juri Cannes saat itu. Christine duduk satu meja bersama juri lain dari berbagai negara di antaranya, sutradara AS David Lynch yang jadi ketua, bintag Hollywood Sharon Stone, artis Hong Kong kelahiran Malaysia Michelle Yeoh, hingga sutradara Denmark Bille August.

Selain jadi juri, film buatan orang Indonesia juga pernah diundang buat berlaga di Cannes. Tercatat, film besutan Eros Djarot, Tjoet Nja Dhien (1986, dibintangi Christine Hakim) diikutsertakan dalam pekan kritik internasional, sesi yang dikhususkan bagi karya pertama sutradara pada Cannes 1989. Film lain, Daun di Atas Bantal (1997, juga dibintangi Christine) besutan Garin Nugroho, juga diundang ke Cannes. Tahun lalu, Indonesia menyertakan film pendek buatan Edwin, sutradara muda lulusan IKJ, berjudul Kara anak Sebatang Pohon ke ajang Cannes untuk sesi Director’s Fortnight.

Tak susah buat mengirim film ke Cannes. Menurut peraturan di situs resmi Cannes, siapa saja berhak mengikutsertakan filmnya. Asalkan, filmnya dirilis tak kurang dari 12 bula sebelum festival berlangsung, film itu beredar di negara asal, film itu belum pernah ikut kompetisi di ajang festival film internasional lain, film itu belum pernah diputar di Internet. Khusus untuk film pendek, durasinya minimal 15 menit termasuk credit title. Sedangkan untuk film panjang, durasinya minimal 60 menit.

Ikut Festival Film Cannes 2006
Pekan-pekan kemarin tersiar kabar kalau sejumlah film buatan anak negeri diikutsertakan ke ajang Cannes tahun ini. Film-film itu yakni: Belahan Jiwa (2005, Multivisionplus Pictures), Berbagi Suami (2006, Kalyana Shira), dan Heart (2006, Starvision). Menurut Groza, manejer humas Multivision, pihaknya sudah mendaftarkan film Belahan Jiwa ke Cannes sejak 3 bulan lalu. Rencananya, saat festival berlangsung bulan depan, tepatnya 17-28 Mei, bos Multivision Ram J. Punjabii akan bertolak ke Cannes.

Bos Starvision, Chand Parwez, juga sudah medaftarkan filmnya ke Cannes. Selain mengirim buat lolos seleksi resmi, Parwez juga mengirim Heart ke sesi Director’s Fortnight. Kabarnya, walau panitia sudah menutup pengiriman film untuk seleksi pada 21 Maret, namun khusus buat film Heart, panitianya, Laurent Rivoire bersedia memberi kelonggaran sampai 27 Maret. “Mereka terkesan dengan karya kami sebelumnya, Virgin,” kata Parwez. “Mereka cukup surprise ada karya seperti itu dari Indonesia.” Virgin (2004) film yang mengangkat tema pergaulan bebas di kalangan remaja Indonesia disutradarai Hanny R. Saputra. Heart yang diikutsertakan tahun ini juga karya Hanny. Parwez berujar, biaya buat menikutsertakan filmnya tak mahal. “Saya cuma diminta bayar 300 euro,” kataya. Jika dirupiahkan nilainya tak sampai 3,5 juta rupiah.

Sementara itu, pihak Kalyana Shira yang memproduksi Berbagi Suami berterusterang kalau filmnya tak diikutsertakan untuk lolos kompetisi resmi. Namun, seperti diungkap Ade, publicist Kalyana, mengatakan Berbagi Suami diundang khusus kementerian luar negeri Prancis buat dapat sesi pertunjukkan khusus di Cannes. “Diundang begitu saja kami sangat senang,” ujar Ade. “Ini kan festival yang sangat bergengsi.” Ade berujar, sutradara Berbagi Suami Ni Dinata akan berangkat ke Prancis bersama dua bintangnya, Shanty dan Dominique bulan depan.

Pada Kamis, 20 April kemarin, panitia Cannes mengumumkan film-film yang lolos seleksi resmi. Tak ada film dari Indonesia yang lolos seleksi buat dapat kategori utama. Yang lolos antara lain film-film besutan sutradara ternama macam Pedro Almodovar (Volver), Sofia Coppola (Marie-Antoinette), hingga Alejandro Gonzalez Inarritu (Babel). Sekali lagi Indonesia gigit jari. Tapi bukan berarti putus asa. “Target saya masuk kategori film berbahasa asing terbaik ajang Oscar tahun depan,” sesumbar Parwez.

Resensi "Gue Kapok Jatuh Cinta"

Gue Kapok Jatuh Cinta

Karya Perdana Thomas Nawilis di Bangku Sutradara


Oleh Ade Irwansyah

Pertama, percayalah, jadi sutradara itu tak gampang. Dalam produksi sebuah film, sutradara bak kepala suku, mengatur sana-sini, mengarahkan pemain yang aktingnya sekaku batu biar kelihatan bagus; sampai menentukan seperti apa sudut gambar yang mau diambil. Mulai sekarang, sebaiknya Anda menghargai setiap kerja sutradara. Bagaimanapun hasil kerjanya. Maka, begitu Anda menonton film yang menurut Anda jelek, percayalah, sutradaranya sudah berusaha sekeras mungkin biar filmnya jadi bagus.

Rasanya, sikap menghargai hasil kerja orang lain itu mesti ditanamkan saat menonton Gue Kapok Jatuh Cinta, film pertama pesinetron Thomas Nawilis di bangku
sutradara. Di film pertamanya, Thomas berbagi bangku bareng temannya, Awi Suryadi. Thomas baru terjun ke dunia akting pada 2001 lewat Tersanjung 6 lalu beberapa sinetron lain hingga main film layar lebar Tusuk Jelangkung (2003). Buat Thomas, dunia film bukanlah hal asing. Ia lulusan jurusan sinematografi di New York Film Academy tahun 1999. Nah, ilmu yang ditimba di New York itu, Thomas praktekkan buat film pertamanya.

Lantas bagaimana hasil kerja Thomas? Sebelum menjawabnya, mending tilik dulu kisahnya. Film ini berkisah seputar David (Oka Antara) yang baru saja diputus cinta oleh kekasihnya. David merana bukan main. Ia mengurung diri di kamar, dan jadi ogah makan. Pantas saja, sih David begitu. Sebab, David pikir, mantan kekasihnya itu “the one”—cewek terakhir tempatnya melabuhkan cinta. Apalagi David rela kembali ke Jakarta meninggalkan kehidupannya di Los Angeles, demi ceweknya.

Beruntung, David punya sahabat yang peduli padanya. Mereka, Once (Teuku Wisnu), Andi (Big Dicky), Eddie “Tompel” (Stan Lee), dan Piyu (Dude Harlino), tak sekadar jadi tempat David mencurahkan isi hati, tapi juga mengajak David bangkit dari kesedihan. Syahdan, David diajak keluar dari kamarnya buat menikmati hidup di Jakarta sebagai jomblo. Oleh sahabatnya, David diajak ke diskotek, panti pijat, mandi sauna, hingga menenggak obat-obatan. Ia terheran-heran, Jakarta yang ditinggalkannya bertahun-tahun lalu sudah berubah sama sekali. Dulu, ia ingat betul, di Jakarta tempat hiburan tak menjamur seperti sekarang.

Di sinilah Thomas tak mengukur logika saat membuat filmnya. David digambarkan begitu lugu. Gugup melihat kehidupan malam Jakarta. Padahal di awal film diceritakan David baru pulang dari Los Angeles. Masak sih selama bertahun-tahun di sana David nggak bergaul, clubbing atau sekadar minum-minum. Memangnya di Los Angeles sana David tinggal di pesantren, ya?
Kemudian cerita berkembang pada kisah cinta yang dialami tokoh lain. Rupanya, sahabat-sahabat David, terutama Once, Eddie, dan Andi sudah kapok jatuh cinta gara-gara pengalaman cinta yang pahit di masa lalu. Once yang punya ayah super kaya (ada di urutan ke-3 orang terkaya se-Asia versi majalah Forbes) ternyata cuma dimanfaatkan ceweknya yang matre. Eddie jadi penyebab kematian ceweknya yang tewas saat kecelakaan mobil waktu menyetir usai mabuk-mabukan. Sedang Andi yang punya postur super besar selalu ditolak cewek. Hanya Piyu saja yang kelihatan bahagia dan tak kapok jatuh cinta lantaran sudah menemukan tambatan hati—bahkan bersiap-siap untuk menikah segala.

Di tengah jalan, David sekonyong-konyong bisa melupakan mantan kekasihnya. Ia terantuk pada seorang wanita bergaun pengantin yang jalan-jalan sambil bawa sebongkah batu bata. Wanita itu rupanya ditinggalkan pengantin pria saat di pelaminan. David nyatanya bisa dekati wanita itu. Mereka berpacaran. Sementara itu, sebelumnya, ada cerita soal Piyu yang meragukan cinta kekasihnya lantaran pernah berciuman dengan Eddie. Cerita Piyu dan ceweknya berakhir bahagia. Piyu akhirnya menerima kenyataan kalau tak bisa berpisah dari ceweknya. Keduanya pun menikah. David juga menemukan cintanya kembali. Para pria itu tak lagi kapok buat jatuh cinta.

Jangan kapok buat jatuh cinta rasanya pesan yang ingin disampaikan Thomas dan Awi lewat film ini. Sayang, buat sampai ke pesan itu, Thomas dan Awi mengajak penonton berlama-lama sampai kelelahan. Sungguh. Saat menonton film ini ingin rasanya menekan remote control. Supaya adegan yang dibuat berlama-lama tapi nggak penting (dan adegan ini ada banyak) bisa dipercepat. Sayangnya, Anda tak bisa melakukan itu. Selain itu, pengadegannya pun amburadul. Anda pasti bakal berpikir kalau cerita berakhir begitu Piyu berbaikan dengan kekasihnya. Nyatanya tidak. Masih ada David yang harus diceritakan.

Oleh karena itu, saat menonton film ini, cobalah melihatnya dari sudut pandang kalau Thomas sudah bersusah payah membuat filmnya. Ingat, tak seperti di Hollywood yang punya tradisi aktor-aktornya jago membikin film (ingat dong nama-nama semisal Clint Eastwood, Kevin Costner, Mel Gibson, sampai George Clooney), pefilman negeri ini cuma sedikit mencatat ada bintang film yang berani duduk di kursi sutradara. Selain Thomas, rasanya cuma aktor sekaliber Deddy Mizwar yang berani membuat film (Kiamat Sudah Dekat dan Ketika).

Cobalah juga buat percaya kalau kisah yang pada beberapa bagian nggak logis ini pernah ditolak oleh penulisnya, Awi, saat hendak dibeli oleh sebuah perusahaan film di Hollywood sana. Buat Thomas, sebaiknya Anda buka lagi buku-buku teori membuat film yang dulu pernah dipelajari di New York (terutama pelajaran soal angle kamera biar nggak monoton, tata musik biar film nggak sepi, hingga skenario yang runut dari awal sampai klimaks), biar film berikut yang akan dibuat nanti tak lagi seburuk ini. Ayo, Thomas, jangan kapok bikin film!***

Resensi "Heart"

Heart

Mengundang Sedih yang Tak Kunjung Datang

Oleh Ade Irwansyah

Pemuda yang sedang dirundung cinta itu mengetuk pintu rumah gadis yang ditaksirnya. Sang gadis membuka pintu rumah. Terkejutlah ia. Si pemuda datang membawa gabus berbentuk hati. Pemuda itu lalu menyatakan cintanya lengkap dengan embel-embel yang intinya begini: “Kalau kamu terima cinta saya, tolong ambil hati ini. Kalau kamu tolak, patahkan hati ini.”
Eh, apa adegan itu acara Katakan Cinta yang tayang saban Minggu di RCTI? Bukan. Itu salah satu adegan di film Heart (produksi Star Vision). O ya, yang diutarakan sang pemuda bernama Farel (diperankan Irwansyah) itu masih ada lanjutannya: “Kalau kamu tolak, di belakang ada mobil yang siap menabrak saya.” Semula, sang gadis, Luna (Acha Septriasa) ogah menjawab. Tapi Farel memaksa minta jawaban hari itu juga. Duh, makin mirip Katakan Cinta saja.

Luna memberi jawaban. Ia mematahkan gabus hati yang diberi Farel. Adegan berikutnya: Farel benar-benar dikejar mobil hingga lari tunggang langgang. Sorry to say, adegan lari-lari dikejar mobil yang mirip Forrest Gump itu konyol dan out of context.
Selebihnya, film ini utamanya berkisah seputar cinta dan persahabatan antara Farel, Luna, dan Rachel (diperankan Nirina Zubir). Alkisah, Farel dan Rachel bersahabat sejak kecil. Lapangan basket di bawah pohon besar—lengkap dengan rumah pohon di atasnya—jadi saksi persahabatan keduanya.

Persahabatan itu berlangsung hingga Farel dan Rachel beranjak remaja. Farel tumbuh jadi pemuda tampan, sedang Rachel jadi cewek tomboi. Pada suatu hari, hidup Farel berubah kala melihat sosok Luna di luar kios komik langganannya. Luna itu pengarang komik yang berkisah tentang peri kesepian. Farel langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Farel lantas bercerita pada Rachel soal Luna. Ia meminta Rachel membantunya menggaet Luna. Sebagai sahabat, Rachel bersedia membantu.

Nah, yang terjadi kemudian, sampailah pada adegan nembak yang mirip Katakan Cinta itu. Luna punya alasan menolak Farel. Tak tahunya, Luna mengidap penyakit sirosis (kanker hati). Penyakit yang ia idap sudah parah. Hidupnya takkan lama lagi berakhir. Ia tak mau jadi kekasih Farel, tapi kemudian mesti dipisahkan maut. Farel tetap memohon cinta Luna.

Hati Luna luluh juga. Keduanya jadi sepasang kekasih. Hidup Luna yang diliputi kesedihan perlahan berubah ceria. Namun, diam-diam Rachel tak bahagia melihat sahabatnya menemukan tambatan hati. Rupanya, Rachel memendam cinta pada Farel. Di depan Farel ia pura-pura senang. Padahal hatinya teriris sembilu. Di depan Farel, ia mengaku sudah punya pacar. Padahal, ia main basket sendirian. Bukannya berpacaran. Hingga, pada suatu kali, Rachel memakai pakaian feminin. Tujuannya, buat menarik perhatian Farel. Sayang, Farel malah menertawai Rachel.

Sementara itu, penyakit Luna makin parah. Saat berciuman dengan Farel, Luna muntah darah. Luna mesti dilarikan ke rumah sakit. Nah, saat Farel dan Luna berciuman tak sengaja Rachel memergoki. Hati Rachel makin hancur. Ia berlari buat mengubur kesedihan. Di tengah pelarian, Rachel terperosok ke jurang.

Nasib Luna makin kritis. Ia takkan bisa hidup lebih lama kecuali ada orang yang mau mendonorkan hatinya. Di lain pihak, Rachel ternyata juga terluka. Kakinya mesti diamputasi. Ia kehilangan gairah hidup. Yang terjadi kemudian (maaf kalau spoiler ini mesti dibeberkan), Rachel merelakan hatinya buat Luna. Lho, bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Mengapa Rachel tiba-tiba diceritakan mati (tanpa dijelaskan matinya bagaimana)? Inilah hal tak logis yang luput dijelaskan. Penonton cuma diceritakan kalau Rachel ogah makan saat di rumah sakit.

Setiap suapan ibunya atau Farel ditolak. Apa iya hanya gara-gara itu Rachel mati? Apa rumah sakit itu tak menyediakan infus? Lalu, apa ibunda Rachel tak sekalipun bisa memaksa anaknya menyantap makanan? Tak ada jawaban yang tersedia buat pertanyaan-pertanyaan itu.
Namun, demikianlah yang terjadi. Rachel mati. Luna hidup bahagia dengan Farel. Klimaks itu rasanya puncak dari kesedihan yang coba dibangun Heart dengan susah payah. Film ini maunya bikin penontonnya sedih melulu. Tapi, alih-alih terbawa sedih, Anda pasti bakal dibuat bengong, bertanya-tanya: bagian mana ya yang saya mesti menangis? Atau bisa juga mengeluh: Aduh, kok menangis itu begitu susah ya?

Dalam rilisan yang dibagi ke pers, film arahan Hanny R. Saputra, pembesut Virgin (2004) dan Mirror (2005), ini mengklaim menyajikan mood “keagungan cinta yang menggenang.” Maksudnya, tentang cinta yang tertahan lantaran tak bisa diekspresikan lebih bebas (lantaran tak penah dikatakan seperti Rachel, atau yang dirasa percuma karena sebentar lagi dijemput maut macam Luna). Buat menceritakan mood ini, Hanny berhasil pada satu segi: ia menyajikan gambar-gambar indah yang sedap dipandang mata (lanskap yang dipilih sesuai buat tema cerita), serta busana pemain yang mengingatkan penonton pada komik serial cantik dari Jepang macam Candy Candy dan sejenisnya. Musik dari Anto Hoed dan Melly Goeslow juga sudah bersusah payah mengundang penonton sedih (O ya, para pemainnya juga rela jadi penyanyi dadakan biar Anda makin terhanyut pada cerita, lho). Lantas, dengan segala upaya itu, mengapa pula film ini tak kunjung membuat penontonnya menangis?

Jawabnya sederhana saja: cerita yang disuguhkan tak cukup meyakinkan orang bersedih. Kisahnya belum membuat penontonnya terhanyut ikut merasakan kesedihan tokoh-tokohnya. Masih ada jarak antara penonton dengan film. Sayang, memang, sebab setiap unsur film ini sudah berupaya mengundang sedih.***
Dimuat Bintang Indonesia edisi 786, minggu keempat Mei 2006

Tuesday, May 16, 2006

Maskot
Mencari Ayam Jago Simbol Perusahaan

Oleh Ade Irwansyah
Sineas negeri ini pernah begitu mahir membuat film bertema komedi situasi yang jauh dari kesan slapstick, seperti Inem Pelayan Sexy (1977), Kejarlah Daku Kau Tangkap (1985) atau Naga Bonar (1986). Itu film-film berisi humor cerdas yang tak mengundang tawa lantaran melihat tingkah konyol pemain, melainkan tertawa melihat akting, jalinan cerita dan dialog para tokohnya. Sekarang, muncul lagi film yang maunya menyajikan humor cerdas macam film-film Indonesia dahulu. Judulnya, Maskot.
Maskot lahir dari tangan sineas yang sebelumnya tak bersentuhan dengan film komedi situasi era dulu. Film ini bukan lahir dari Chaarul Umam yang menggarap Kejarlah Daku Kau Kutangkap dengan kuat, plus skenario cerdas milik mendiang Asrul Sani. Lantas, dari siapa Maskot lahir? Sutradaranya, Robin Moran, lulusan luar negeri (Northeastern University) dan baru pertamakali menyutradarai film panjang (sebelumnya bikin video klip dan jadi editor Miles Productions).
Walau datang dari tangan debutan, Maskot berangkat dari skenario yang lumayan oke—buatan Ari M. Syarif dan Joko Nugroho yang baru pertama menulis skenario film panjang. Ceritanya berawal dari Sasmita yang tertegun menatap ayam jago berwarna putih berdiri tegap di atas meja. Ayam jago itu satu-satunya ayam yang selamat dari wabah yang melanda peternakannya. Ayam jago itu menginspirasi Asmita membuka usaha kecap dengan bendera: “Ketjap Tjap Ajam Medja”.
Usaha pabrik kecap Sasmita sukses. Sang ayam tetap dipelihara dan diperlakukan bak raja karena dianggap sebagai simbol perusahaan yang membawa keberuntungan. Namun, sebuah kecelakaan di pabrik menewaskan ayam jago itu. Sasmita shock hingga meninggal. Sebelum menghembuskan napas terakhir, ia berpesan pada anaknya, Widjaja (El Manik) agar meneruskan usaha dan merawat keturunan ayam jago itu.
Lewat beberapa tahun, Widjaja mampu membangkitkan kembali usaha kecap dan membangun pabrik yang lebih modern. Ayam jago keturunan sang ayam simbol dahulu kembali diaanggap keramat. Namun, seakali lagi, kecelakaan terjadi. Ayam jago itu tewas. Perusahaan kehilangan simbol. Widjaja shock hingga terserang stroke. Dari pembaringan, ia meminta anaknya, Dennis (Ariyo Wahab) dipanggil pulang dari Jepang untuk meneruskan bisnis keluarga.
Sebelum Dennis memimpin pabrik, harus ada ayam baru buat jadi simbol perusahaan menggantikan yang terdahulu. Atas saran penasihat spiritual keluarga, Markan (Otig Pakis), Dennis mesti mencari ayam di “sebuah lembah di antara dua gunung kembar, dekat sungai berwarna hitam tempat bidadari mandi yang mengalir ke seribu anak sungai.”
Maka, pergilah Dennis mencari ayam itu.
Perburuan bukannya tanpa masalah. Tempat yang dicari jelas tak tercantum di peta. Dennis sampai keliling pulau Jawa mencari lokasi itu, bertanya sana-sini, tinggal di rumah penduduk, hingga kehabisan bensin. Selain itu, bersama Dennis ikut pula Misran (Butet Kertarajasa) dan sopirnya. Misran punya agenda tersembunyi menemani Dennis. Karyawan senior di perusahaan Ketjap Tjap Ayam Medja ini mengincar posisi yang ditinggalkan Widjaja. Ia tak rela Dennis memimpin perusahaan. Ia bertekad membuat Dennis gagal mencari ayam simbol.
Syahdan, Dennis dan rombongan tiba di desa mirip lokasi yang dideskripsikan Markan. Desa itu memang punya ayam jago berwarna putih yang dianggap keramat. Ayam jago itu dipercaya membawa kesuburan dan kemakmuran pada desa itu. Di desa itu pula, Dennis berkenalan dengan Maruti (Ulie Auliani), kembang desa yang ditaksir Sapari (Epy Kusnandar), carik desa setempat. Kedekatan Dennis dengan Maruti membuat Sapari cemburu. Ayah Maruti, Sadri (Wawan Wanisar) jadi penjaga ayam keramat. Niatan Dennis meminta ayam itu ditolak Sadri dengan halus. Cara lain yang bisa ditempuh: mencuri ayam itu. Maruti bersedia membantu. Padanya, Dennis berjanji hanya meminjam lalu mengembalikan sang ayam keramat. Tapi, rencana Dennis dan Maruti tak mulus. Ada Misran yang bersekongkol dengan Sapari demi menggagalkan usaha Dennis.
Kelucuan demi kelucuan tersaji sepanjang film. Ya, film ini sungguh mengundang tawa. Bukan menertawai kejanggalan yang ada di layar, tapi memang filmnya benar-benar lucu. Simak misalnya, saat Widjaja memarahi sutradara bule di lokasi syuting iklan. Atau, bagaimana tak menahan tawa melihat polah Sapari yang dibakar cemburu.
Moran beruntung didukung aktor-aktor yang membuat skenario film ini jadi berkekuatan ganda. Ini rasanya yang patut disyukuri. Film ini punya Butet Kertarajasa dan Epy Kusnandar yang membuat film jadi segar, membikin terbahak. Artis anyar Ulie Auliani juga mampu berakting wajar. Sementara itu, Ariyo Wahab yang berakting terbata-bata di film pertamanya, Biarkan Bintang Menari (2002), sudah makin bagus main film. Jadi, niatan pembuat film menyajikan film bertema komedi situasi mirip film era dulu bolehlah dibilang nyaris berhasil. Dibilang nyaris karena masih ada cacat teknis di sana-sini (gambar-gambar lanskap tak perlu serta seting miskin seperti di pabrik). Namun, itu semua tertutup akting jempolan para pemain.

Wednesday, May 03, 2006

Resensi film D'Girlz Begins

D’Girlz Begins

Debut Penyutradaraan Tengku Firmansyah


Oleh Ade Irwansyah

Andai Anda merasa sudah kelebihan uang, dan punya idealisme ikut membangkitkan perfilman Tanah Air, Anda pasti ingin ambil bagian di dalamnya. Bentuknya, ya memproduksi sebuah film. Namun, pesan kami, jangan sekali-kali memberi segepok uang pada sutradara baru buat bikin film. Kalau tak mau hasilnya seperti film ini, D’Girlz Begins. Hancur. Rusak. Buang-buang uang percuma.

Maaf kalau terlalu kasar. Namun, demikianlah adanya. Film ini dibuat sebagai hadiah dari PT Softex Indonesia, produsen pembalut wanita, bagi pemenang kontes Super Deluxe Girls 2005. Itu kontes macam pemilihan bintang-bintang Softex yang dijaring dari orang awam, bukan artis. Dari ribuan yang mendaftar, terpilihlah 3 kontestan juara sesuai dengan imej cewek yang diinginkan Softex: Sabrina, Disa, dan Dheana. Mereka cocok jadi cewek bertipe sporty, super smart DJ (disc jockey), dan the super stylish.

Pihak Softex meneruskan niat buat memfilmkan kisah seputar 3 karakter cewek di atas. Bintang-bintang baru yang masih bau kencur dan belum pernah menginjak dunia hiburan (termasuk main sinetron sebagai ajang latihan akting) didapuk buat jadi pemeran utama. Cerita pun disusun. Setelah jadi, tinggal memilih siapa yang bakal menyutradarai film ini. Dari nama-nama sutradara besar negeri ini semisal Garin Nugroho, Riri Riza, Rudi Soedjarwo, atau Nia Dinata, pilihan Softex jatuh pada Tengku Firmansyah.

Mengapa Tengku? Alasannya sederhana saja. Seperti dimuat situs resmi film ini (dan diulang lagi oleh Tengku saat wawancara), pihak Softex terkesan melihat Tengku membuat game akting saat memandu acara yang dibuat Softex. Dalam benak pihak Softex mungkin berpikir begini, “Hm, kalau dia bisa bikin lomba akting, pasti dia juga bisa mengarahkan orang main film. Pria gondrong ini pasti cocok buat jadi sutradara.” Aduh, naif sekali. Tengku belum punya track record sebagai sutradara film panjang. Selama ini ia dikenal sebagai bintang sinetron (antara lain Cerita Cinta). Ia baru sekali dua menyutradarai video klip.

Tengku rupanya tipe pria yang suka tantangan. Ia menerima tawaran itu. Beban seberat jadi sutradara film layar lebar ia pikul. Sementara itu, pihak Softex sungguh serius membuat film. Buat sutradara debutan, dan bintang utama yang semuanya baru pertama kali main film, mereka menyediakan rol film 35 mm. Ya Tuhan, untuk membuat film dengan rol seluloid ukuran itu paling nggak butuh uang di atas 3 miliar rupiah.

Masa bodoh, begitu mungkin pikir mereka. Yang penting perfilman Indonesia tetap jaya selalu. “Hidup perfilman Indonesia!!” pekik mereka lantang.

Syahdan, Tengku membuat film. Ia membuka filmnya dengan adegan yang maunya mengundang tawa, tapi malah bikin jijik dan membuat hampir muntah (maaf, terlalu menjijikkan buat diungkapkan). Lalu pindah pada persoalan besar: memburu seorang gembong narkoba nomor wahid di Asia, Ricardo Monte Carlo (Rudy Wowor, anyway gembong narkoba Asia kok, namanya bergaya latin, ya?).

Ricardo begitu sulit ditangkap. Entah atas alasan logis apa, polisi berpikiran kalau untuk menangkap Ricardo bisa lewat peracik narkoba bawahannya, Ari Ristanto (Nizar Zulmi dalam dandanan mirip Mario Bros). Rupanya, cuma dia seorang yang tahu persembunyian Ricardo. Namun, Ari dikabarkan menghilang. Jejaknya cuma bisa diendus lewat anak semata wayangnya, Cassandra (Kirana) yang kuliah di Institut Kesenian Indonesia.

Polisi lantas mengirim polwan bernama Alexa (Sabrina) menyamar jadi mahasiswa buat mendekati Cassandra. Alexa ini tipe cewek sporty seperti yang digambarkan salah satu tipe cewek Softex. Dalam beberapa hari kuliah di kampus, Alexa sudah punya dua sahabat, Nicky (Disa) si cewek bertipe the super stylish—paling gaya dan Amanda (Dhena), si super smart DJ. Ini dua tipe cewek Softex lainnya. Alexa juga sempat naksir Randy (Andhika, Nicholas Saputra wannabe dengan hasil jayus), cowok paling ganteng sekampus. Alexa lantas makin asyik dengan hiruk pikuk dunia kampus, termasuk konfliknya dengan Melly (Rachel Maryam) dan sang dekan (Didi Petet). Hanya sesekali ia berusaha mendekati Cassandra.

Terakhir, Cassandra berhasil diajak dugem. Namun, hasilnya Cassandra malah nyaris diculik suruhan Monte Carlo yang juga mengincar ayahnya. Belakangan, Cassandra benar-benar diculik. Ari keluar dari persembunyian buat menyusyul anaknya. Ari diajak lagi bergabung oleh Monte Carlo. Ajakan itu ditolak. Ari ditembak bawahan kepercayaan Monte Carlo, Sam Sunyi (Tengku yang tetap ingin main di filmnya sendiri). Ajaibnya, tanpa bersusah payah (menyamar jadi mahasiswa segala) polisi lain berhasil menemukan markas Monte Carlo. Polisi itu melapor pada atasannya, Dicky, rekan Alexa. “Komandan, persembunyiannya di Tangerang,” lapornya. Mendadak, pistol menyalak. Ia ditembak Sam Sunyi. Tanpa sempat berkata lagi, polisi itu mati tersungkur.

Ajaibnya lagi, cuma dengan petunjuk “persembunyiannya di Tangerang” Dicky, Alexa, beserta Amanda dan Nicky menyatroni markas Monte Carlo. Ya Tuhan, Tangerang itu luas. Jika semua polisi kita sehebat itu, gembong teroris Dr. Azhari dan Nurdin M. Top pasti sudah tertangkap dari dulu. Hebatnya lagi, para jagoan kita menyerbu sarang gembong narkoba Asia itu cuma 4 orang! Tak ada polisi lain yang diajak ikut membantu. Bila menilik kisahnya, ketaklogisan ada di mana-mana. Hal ini justru mengundang tawa. Ini mungkin justru kelebihan film ini—kalau kelebihannya mau dicari. Genre aksi-komedi yang didengungkan film ini justru terasa saat melihat kebodohan demi kebodohan yang tersaji di layar. Siapa yang mesti disalahkan atas itu semua? Jangan salahkan Tengku. Sutradara debutan ini cuma diberi waktu persiapan sejak Januari lalu. Filmnya sudah punya jadwal edar akhir April. Tengku patuh pada tenggat. Ia syuting cuma 15 hari. Ini sebuah prestasi yang patut diapresiasi Museum Rekor Indonesia alias MURI: Sutradara yang film pertamanya dibuat cuma 15 hari! Hasilnya, soal lain. ***
Versi halus resensi ini dimuat di Bintang edisi 784 /Tahun XVI/minggu pertama Mei 2006