Wednesday, July 18, 2007

Hollywood Five Years After 9/11

Setelah 5 Tahun Berlalu ...

Hollywood mulai merilis film-film berlatar Tragedi 11 September. Tidakkah terlalu dini?

Oleh Ade Irwansyah

Semula, hari itu akan disebut “tanggal yang akan dikenang dalam sejarah dunia.” Tapi, Franklin D. Roosevelt, presiden AS kala itu, merasa tak cocok dengan kata terakhir. Ia lalu menggantinya dengan kata “memalukan,” “menghina”, dan beberapa kata lain. Akhirnya ia memilih: “keji—infamy.” Kita lantas tahu, dalam pidatonya yang terkenal -Roosevelt mengenang tanggal itu, 7 Desember 1941, kala Jepang menyerang Pearl Harbour, Hawaii yang menewaskan 2.400 orang, dengan menyebutnya “tanggal yang akan dikenang karena kekejiannya.” Bertahun-tahun kemudian, tanggal yang keji itu bertambah lagi: 11 September 2001. Hari itu juga disebut “tanggal baru yang akan dikenang karena kekejiannya.” Di hari itu, teroris menyerang Amerika, menewaskan 3.000 orang serta meruntuhkan menara kembar World Trade Center, New York dan sebagian Pentagon, gedung Departemen Pertahanan AS di Washington DC.

Bagi orang Amerika, dalam sebuah hasil polling terbaru, Tragedi 11 September dianggap lebih memberi dampak sejarah ketimbang serangan ke Pearl Harbour. Pada studi yang dilakukan Universitas Quinnipiac atas 1.080 warga AS itu sebanyak 65 persen responden memilih tragedi 11 September. Hanya 42 persen yang memilih serangan Pearl Harbour.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana Hollywood bereaksi atas peristiwa yang mengubah wajah dunia itu? Saat Tragedi 11 September terjadi, Hollywood dituding sebagai biang keladi. Film-film aksi keluaran Hollywood dituding jadi inspirasi teroris membajak 4 pesawat untuk ditabrakkan ke gedung-gedung penting milik AS. “Hollywood berperan sebagai penyebar inspirasi,” tuduh sutradara Robert Altman kala itu. “Tak ada yang kepikiran untuk melakukan kekerasan kecuali telah menyaksikannya di film.”

Syahdan, Hollywood bereaksi. Studio-studio pembuat film menunjukkan sensitivitasnya masing-masing. Mereka menunda merilis film-film yang ada kaitannya dengan terorisme, atau peledakan bom. Ada juga yang mengubah poster filmnya cuma karena memuat gambar menara kembar WTC. Saat dengung kejadian Tragedi 11 September masih bergema, Hollywood sudah digelitik dengan pertanyaan: kira-kira kapan Hollywood membuat film berlatar Tragedi 11 September? Sebenarnya, saat tragedi itu baru terjadi, Hollywood sudah membuat karya yang mengangkat kejadian itu. Dalam satu episode khusus serial West Wing (serial yang mengisahkan keseharian presiden AS), bercerita seputar Tragedi 11 September, dari sudut pandang presiden AS—tentu saja presiden fiktif yang diperankan Martin Sheen. Warga Amerika menyanbut episode spesial itu dengan antusias. Tak kurang 24 juta pasang mata milik orang Amerika menontonnya.

Tragedi 11 September versi Hollywood
Selepas itu, Hollywood merilis lusinan film yang tak langsung bercerita seputar Tragedi 11 September atau menceritakannya dengan kiasan. Sambil menyebut contoh, Michael Moore membuat film dokumenter yang menyoroti kebijakan pemerintah AS setelah Tragedi 11 September lewat Fahrenheit 9/11 (2004). Namun, selang 5 tahun setelah peristiwa itu terjadi Hollywood mulai merilis film-film yang tidak lagi ber-metafor ria atau mencari pemaknaan atas Tragedi 11 September. Yang Hollywood pilih: menceritakannya serealistis mungkin atas apa yang terjadi di hari nahas itu. Hasilnya, pada Januari kemarin diputar film teve berjudul Flight 93 di saluran teve kabel A&E. Film itu berkisah mengenai apa yang terjadi di pesawat jenis Boeing 757 milik United Airlines nomor penerbangan 93 yang berangkat dari bandara Newark menuju San Fransisco. Di atas udara, teroris membajak pesawat dan mengambil alih kokpit. Namun, para penumpang tak tinggal diam. Mereka melawan. Akhirnya, pesawat yang semula (diduga) akan diterbangkan menuju gedung putih atau gedung kongres AS itu, malah terjatuh di ladang pertanian dekat Pittsburgh. Semua orang di pesawat itu tewas. Film teve berbujet 15 juta dollar itu dapat 6 nominasi penghargaan Emmy kemarin—termasuk kategori film teve dan sutradara film teve terbaik.

Kemudian, mulai akhir tahun kemarin, studio Universal mulai syuting film yang juga berkisah pada apa yang terjadi di dalam pesawat United Airlines Flight 93. Film yang disutradarai sineas Inggris, Paul Greengrass (The Bourne Supremacy) itu dirilis 28 April kemarin dengan judul United 93. Lalu, 9 Agustus kemarin, studio Paramount merilis film World Trade Center yang dibesut Oliver Stone. Film itu mengisahkan kisah nyata perjuangan hidup 2 polisi (diperankan Nicolas Cage dan Michael Pena) yang terjebak dalam reruntuhan menara kembar WTC.

Siapkah warga Amerika menontonnya?
Deretan film di atas jadi bukti kalau Hollywood sudah siap memfilmkan tragedi 11 September dengan realistis. Namun, sebuah pertanyaan kembali bergema: apakah masyarakat Amerika sudah siap melihat tragedi itu, kala kejadiannya masih begitu membekas dalam ingatan dan mendatangkan trauma?

Greengass menjawab, “Tak mudah bagi saya mengangkat tema itu.” Ia melanjutkan, “Kapan saat yang tepat? Saya tak yakin ada jawaban sederhana untuk menjawab itu. Mungkin saat keluarga korban membolehkannya. Ia lantas merenung dan berujar panjang, “Kami membuat film untuk menghibur, mengajak penonton ke dunia khayalan, untuk terharu atau tertawa. Tapi ada pula saat bagi sebuah film yang jadi perhatian kita semua. Tragedi 11 September menyita perhatian kita. Dunia berubah setelah kejadian itu. Dan perlu ada film yang menggambarkannya.”

Tak mudah mengangkat apa yang terjadi dalam pesawat United Airline itu—sebab tak ada yang selamat di pesawat itu untuk diminta bercerita. Maka, Greengras (yang juga menulis skenario filmnya) mengambil setiap sumber yang ada—laporan resmi Komisi 9/11, rekaman kokpit, hingga transkrip wawancara telepon penumpang pesawat—guna merekonstruksi peristiwa. Hasilnya, jadilah skenario setebal 21 halaman yang ditawarkan ke studio Universal musim panas tahun lalu. Universal langsung menyambut skenario itu dan memberi Greengras bujet 15 juta dollar. “Saya kagum pada niatan dan kerja kerasnya,” kata presiden produksi Universal Donna Langley. “Ini naskah yang harus segera diceritakan (dibuatkan filmnya).”

Paramount kurang lebih juga beralasan senada saat membuat World Trade Center. Sutradara Oliver Stone didapuk buat membesutnya. Nama itu tentu membuat dahi mengernyit. Stone dikenal lantaran membuat film kontroversial (Born on the Fourth of July, Platoon, JFK, Nixon) dan percaya pada teori konspirasi. Maka, saat namanya disebut bakal mengangkat Tragedi 11 September jadi film timbul pertanyaan: jangan-jangan Stone akan membuat film kontroversi menyangkut konspirasi pemerintah di balik tragedi itu.

Kenyataannya, justru sebaliknya. Stone tak tertarik pada teori konspirasi yang menyelubungi tragedi itu. Ia memilih menggambarkan heroisme yang dialami orang-orang biasa yang terjebak dalam situasi luar biasa kala itu. “(Film) ini bukan tentang motivasi para teroris, atau siapa teroris itu, ataupun politik di seputar tragedi itu. Film ini berkisah tentang 2 pria yang terperangkap dalam reruntuhan, dan kepiluan keluarga mereka di luar reruntuhan. Ini bukan cerita omong kosong, tapi dokumentasi atas apa yang dialami orang-orang itu selama 24 jam, dan memang harus difilmkan seperti itu,” jelas Stone panjang.

Masyarakat Amerika terbelah atas keputusan Hollywood memfilmkan Tragedi 11 September. “Seperti pasangan yang baru kehilangan orang yang dicintai, mestinya ada jeda untuk mulai kencan kembali. Hollywood juga mestinya begitu,” jelas William J. Palmer, peneliti dari Purdue University. “Trennya berbeda pada Tragedi 11 September.” Keluarga korban juga ikut berkomentar. “Filmnya sangat mengganggu saya,” kata Jackie Gavagan, yang suaminya, Donald, jadi korban tragedi itu, usai menonton United 93. “Saya tak pernah menangis saat menonton film sebelumnya. Tapi saya menangis saat menonton film itu.” Yang lain berujar, “Memang berat buat ditonton, tapi film ini sangat penting,” kata Sandy Dahl, janda pilot United Airlines Flight 93 Jason Dahl. “Kita tak boleh melupakan kepahlawanan mereka.”

Dan memang sebaiknya tidak boleh dilupakan. Sebab, dalam polling yang dirilis harian Washington Post pada 10 Agustus kemarin, menunjukkan 30 persen penduduk Amerika menjawab salah saat ditanya kapan Tragedi 11 September terjadi. Ada 6 persen yang menjawab tahun 2000, delapan persen menjawab 2002, dan 16 persen sisanya tak tahu tahun perisisnya tragedi itu terjadi. Duh, kalau sudah begitu, sekarang memang saatnya memfilmkan Tragedi 11 September. *** Ditulis berdasar dari berbagai sumber

Hollywood dan Tragedi

Cuma 5 tahun jeda yang dibutuhkan Hollywood untuk mengangkat realitas Tragedi 11 September jadi film. Bagaimana dengan tragedi lainnya. ***
Perang Vietnam
Setelah 7 tahun AS berperang di Vietnam, The Green Barets (1968) dirilis di bioskop.
Aids
Sembilan tahun setelah orang pertama tewas karena AIDS, dirilis Long Time Companion (1990) ke bioskop.
Pearl Harbor
Enam puluh tahun setelah serangan mendadak yang memicu Perang Dunia II itu, studio Walt Disney merilis Pearl Harbor (2001) yang lebih realistis ketimbang film sebelumnya, Tora! Tora!
Tora! (1970).
Rwanda
Sepuluh tahun setelah pembantaian manusia yang berlatar perang suku dimulai di Rwanda, Hollywood merilis Hotel Rwanda (2004).
Serangan “D-Day”
Realitas saat tentara AS mendarat ke Pantai Normandia pada 6 Juni 1944 direkam Steven Spielberg amat realistis dalam bagian pertama Saving Private Ryan (1998), atau 54 tahun setelahnya.
Dimuat BINTANG INDONESIA edisi 801.

No comments: