Wednesday, July 18, 2007

Hikayat "Dunia Tanpa Koma"

Dunia Tanpa Koma Menuju Titik

Sinetron paling mahal yang pernah dibuat ternyata ber-rating tak memuaskan. Padahal sudah digarap serius dan melibatkan bintang-bintang tenar. Mengapa bisa terjadi? Mengapa pula iklannya tetap banyak? Dan, terutama, akankah berlanjut ke season kedua?

Oleh Ade Irwansyah

Dibutuhkan Dian Sastrowardoyo yang baru pertama kali tampil di teve; sebanyak 40 bintang tenar termasuk Tora Sudiro, Fauzi Baadilla, Wulan Guritno, Surya Saputra, Alya Rohali, Slamet Rahardjo, Nadia Saphira, Intan Nuraini, Christian Sugiono, Luna Maya, Mariana Renata, hingga Andi Mallarangeng main bareng; Pas Band, /rif, Utopia, hingga Dewa ikutan nongol; pembuat sinetron Cinta yang fenomenal jadi sutradara; wartawan senior Tempo sebagai penulis; bujet lebih dari 700 juta rupiah per episode; dan 7 bulan syuting untuk menghasilkan 14 episode sinetron Dunia Tanpa Koma (DTK).

Episode perdana tayang 9 September lalu. Iklannya bejibun. Totalnya, 127 spot iklan menemani kehadiran pertama Dian di sinetron. Dalam hitung-hitungan kasar, bila satu spot iklan dihargai 15 juta rupiah, pendapatan DTK di episode perdana hampir 2 miliar rupiah. Angka itu tentu membuat mata terbelalak dan langsung mengira tontonan ini sukses. Tapi, lihat sisi lain. Dari segi rating AGB Nielsen, untuk penonton semua kalangan, DTK cuma meraup poin 4,5 dengan share 14,5 persen. Posisinya di nomor urut 49. Kala itu, bos SinemArt Leo Sutanto, produser DTK, berkilah, “Kemarin itu terganggu pertandingan tinju Chris John.”

Pekan berikutnya DTK tayang lagi. Kala itu tak ada siaran tinju Chris John. Tapi, poin rating DTK melorot tipis: 4,2 dengan share 14,2 persen. Posisinya turun ke urutan 50. Satu pekan kemudian, rating episode 3 DTK makin melorot. Begitu pula episode-episode berikutnya. Sekali waktu, DTK melorot ke posisi 102, 174, bahkan nyaris terlempar dari 200 besar. Untuk kalangan berstatus ekonomi ABC (yang bergaji 1 juta rupiah sampai di atas 3 juta rupiah), performa DTK tak baik-baik amat. Tayangan perdananya ber-rating 5 dengan share 16,4 persen. DTK duduk di posisi 26. Sama seperti kategori penonton semua kalangan, di pekan-pekan berikut poin rating DTK terus turun sampai ke posisi 158.

Angka tak bisa berbohong. Jadi, dengan demikian, apa tayangan super mahal ini patut dinilai gagal? Tunggu dulu. Tak segampang itu main ketok palu. DTK tetap fenomena tersendiri dalam perkembangan mutakhir teve nasional.

Inilah sinetron paling dibicarakan dalam sejarah teve tanah air, bahkan sejak jauh-jauh hari sebelum tayang September kemarin. Penyebab utamanya, Dian yang seringkali bilang tak mau main sinetron, akhirnya luluh juga hatinya. “Dian jadi faktor utama kenapa sinetron ini sudah dibicarakan orang jauh-jauh hari,” bilang penulis cerita DTK, Leila S. Chudori, wartawan senior Tempo, di kantornya, Rabu (8/11) kemarin. Maka, sinetron ini dipromosikan sebagai penampilan pertama Dian di televisi. Tema ceritanya juga tak ikutan tren: menyoroti kehidupan wartawan (termasuk problematika kehidupan cintanya) diselingi serangkaian adegan kekerasan sebagai bumbu.

Di mata Leila, Dian paling cocok memerankan Raya, wartawan yang jadi karakter utama DTK. “Sudah lama saya tertarik pada Dian,” ujar Leila yang terkesan dengan penampilan Dian di film Pasir Berbisik. Nyatanya, gayung bersambut. Dian, peraih piala Citra 2004 buat Ada Apa dengan Cinta?, rupanya amat tertarik pada naskah yang disodorkan Leila. “Setelah saya baca skripnya ternyata sangat menarik. Ceritanya benar-benar beda dan punya sesuatu yang lain,” bilang Dian saat acara syukuran sebelum syuting, Oktober tahun lalu.

Leo sang produser makin senang kala Dian bersedia main sinetron. Baginya, amat sayang kalau sinetron ini jadi tayangan biasa-biasa saja. Maka, Leo menyodorkan sederetan nama beken lain buat menemani Dian berakting. Leila tak bisa berkata-kata. “Padahal yang penting buat saya ada Dian, Tora, dan Slamet Rahardjo,” ujar Leila.

DTK sejatinya sebentuk niat baik Leila membenahi pertelevisian nasional. Ia merindukan tontonan yang punya cerita logis, akting wajar, penggarapan serius, tidak kejar tayang, dan hanya berpatokan pada rating. Tontonan model begitu, katanya, jumlahnya cuma satu dua. “Pada Pak Leo saja saya bilang, 'Pak, dari semua sinetron SinemArt yang saya tahan buat menontonnya cuma Bunda,'” kisahnya. Bunda (diperani Tora, Meriam Bellina, dan Dinna Olivia), catat Leila, pada episode-episode awal digarap dengan baik.

Pada Leo, Leila sudah mewanti-wanti kalau dirinya bukan tipe penulis skenario kejar tayang. “Saya ini kalau menulis lama. Lagipula, saya tak bisa lepas pekerjaan di Tempo,” buka Leila. Leo tak masalah. SinemArt sudah pernah membuat sinetron yang tak kejar tayang. “Dia bilang, sinetron Kapan Kita Pacaran Lagi? juga tak kejar tayang.”

Leila lalu berujar takkan menulis cerita yang patuh pada hasil rating. “Saya tak mau berpatokan dengan rating,” katanya. Leo lagi-lagi tak masalah. Leila lantas mengangguk tanda setuju buat menulis DTK. Maruli Ara, sutradara yang pernah membuat sinetron Cinta (ingat dong, dengan sinetron yang dibintangi Dessy Ratanasari dan Primus Yustisio di tahun 1999 itu?) dan Tiga Orang Perempuan (2001, dibintangi Dessy dan Christine Hakim), direkrut buat membesutnya. Ia setuju menggarap DTK lantaran dorongan semangat membuat sesuatu yang beda.

Namun, seperti dimuat buku DTK, Maruli mewanti-wanti, “Saya tak ingin tim ini (bintang-bintang DTK) menjadi Real Madrid.” Klub sepakbola Spanyol itu bertabur bintang tapi prestasinya tak luar biasa. Maka, sebelum syuting mulai, ia mewajibkan setiap pemain ikut proses reading (latihan pengadeganan). Fauzi Baadilla, misalnya, ia wajibkan mengunjungi kantor Tempo beberapa kali, menangkap aura kewartawanan di sana.

Saat syuting, Maruli juga menerapkan aturan ketat. Ia tak mau adegan jumping. Maksudnya, saat satu pemain tak hadir, pemain lain yang sudah hadir disyut duluan. Yang berhalangan, disyut belakangan. “Dalam satu adegan yang ada 18 pemain, semuanya mesti ada,” katanya berkeras. “Maka, ketika satu pemain belum datang, yang sudah datang mesti menunggu, baru bisa syuting.” Katanya, pemain yang datang duluan sering marah-marah bila itu terjadi. “Saya menerapkan disiplin kelompok.”

Selain itu, Maruli tak main-main menggarap DTK. Untuk urusan set, ia bisa kelewat serius. Asal tahu saja, untuk ruangan kantor majalah Target, Maruli meminta set lengkap mirip kantor betulan. Maka, sebuah ruang kosong disewa dan disulap jadi kantor. Lengkap dengan sekat-sekat, ruangan buat bos, hingga komputer di tiap meja. “(Ruang itu) bisa dipakai jadi kantor benaran,” kata Leo sambil bilang ongkos sewa selama syuting dan mengesetnya jadi kantor makan dana ratusan juta rupiah.

Uang jadi isu krusial yang menyelimuti DTK. Bila sebuah sinetron per episode menghabiskan dana 200-250 juta rupiah per episode, DTK bisa berlipat-lipat lebih besar dari itu. “Ongkosnya bisa hampir 800 juta rupiah per episode,” buka Leo.

Uang itu, selain untuk membuat set serba lengkap, paling besar dihabiskan buat membayar pemain. Sebuah sumber membisikkan Bintang, untuk membayar pemain saja dihabiskan 250 juta rupiah—setara dengan ongkos produksi satu episode sinetron. Berapa honor Dian per episode? Sumber itu tak menyebut angka persis. Katanya, Dian dibayar dengan sistem penggajian setiap bulan selama 7 bulan syuting. Besarannya pasti tak kecil, mengingat nama Dian amat berkibar di jagad sinema.

Nah, kini pertanyaan besarnya: bagaimana melihat hasil DTK setelah tayang 9 episode? Di lingkungan orang dalam, kata sebuah sumber lain, hasil akhir DTK tak memuaskan. “Ada istilah, 'Jual rumah (mewah) Pondok Indah, tapi hasilnya rumah BTN,'” kata sumber itu. Well, pemainnya tak sampai setajam itu bilang tak puas. Dian hanya berujar, “Di episode-epissode awal saya tak terlalu puas dengan editing dan musiknya. Episode yang sekarang tayang saya sudah suka.” Di mata Maruli, DTK tak bernasib seperti Real Madrid. “Dari segi kualitas bagus,” katanya. Leo sang pemodal menunjukkan wajah datar saat ditanya hal itu di kantornya, di kawasan Kedoya, Jakarta Barat, Kamis (9/11) sore silam. “Ya senang tak senang,” katanya sambil senyum. Kendati begitu, ia masih optimis DTK bakal lebih banyak ditonton. Indikasinya, ia bilang, “mulai kelihatan.” Dari laporan rating terbaru keluaran Nielsen, DTK naik tajam dari nomor urut 197 ke posisi 82.

Leo memaklumi rating DTK kemarin-kemarin jeblok. Tema kisah tentang narkoba, katanya, tak terlalu disukai penonton sini. “Setiap bikin sinetron religius soal azab penderita narkoba, pasti hasilnya jelek,” ujarnya menganalisis. Analisis Leo boleh jadi benar. “Sekarang temanya sudah beda, perkosaan. Mudah-mudahan ratingnya bagus.”

Leo berharap betul rating DTK makin bagus. Sebab, dari segi finansial ia tak bisa lagi berbuat banyak. Sebuah sumber bercerita, DTK sudah ditawarkan ke berbagai stasiun teve. “Indosiar disuruh beli 1 miliar rupiah per episode tak mau,” katanya. Akhirnya, RCTI bersedia beli. Itu pun, kata sumber lain lagi, “dibeli seharga ongkos produksi.” Leo membenarkan kalau belum dapat untung. RCTI, kata Harsiwi Achmad, Vice President Programming di stasiun teve itu, membeli hak siar DTK karena, “Pertama, pemainnya luar biasa. Kedua, penggarapannya bagus. Ketiga, DTK sesuatu yang lain,” jelasnya pada Bintang, via telepon, Kamis silam.

Nah, berikutnya giliran RCTI menjual DTK ke pengiklan. Deretan nama besar pemain DTK rupanya jadi bahan dagangan yang membuat DTK diserbu pengiklan. RCTI menjual secara sistem paket dan eceran. Artinya, mirip SCTV menjual siaran Piala Dunia 2006 tempo hari. Ada yang bersedia bayar untuk tayang sepanjang 14 episode. Telkom, melalui produknya Telkom Flexi, jadi sponsor utama. Dalam catatan Nielsen, DTK rata-rata diisi 100 spot iklan. “Pengiklan melihat tayangan ini banyak ditonton decision maker (pengambil keputusan). Selain itu, untuk imej bakal kuat, karena bintang-bintangnya bagus,” jelas Harsiwi.

Masalahnya, rating jeblok pertanda DTK tak banyak ditonton orang. Sementara, buat pengiklan rating sering jadi ukuran untuk beriklan di satu acara. Itu dalil yang seolah sudah berlaku baku di jagad teve nasional. Padahal, dalil itu, menurut pengamat teve Veven Sp. Wardhana tak bisa dibilang sepenuhnya benar. “Pengiklan, saya rasa punya logikanya tersendiri untuk beriklan (di sebuah acara). Tidak harus berpatokan pada rating,” jelasnya. Hal ini, ia memberi contoh, pernah terjadi pada serial X-Files di SCTV dulu. “Meski tayang malam hari, pengiklan banyak. Sebab tahu seri itu punya penggemar setia.” DTK, katanya sebentuk variasi lain dari fenomena X-Files dahulu. “Ada beda antara DTK dan X-Files,” ujarnya. “X-Files iklannya lebih tersegementasi untuk kalangan atas, sedang DTK diisi iklan-iklan yang ditujukan ke semua kalangan.”

Yang jadi persoalan, akankah serial ini berlanjut? Sebab, sesuai niatan awal, cerita yang bakal tamat beberapa episode lagi dimaksud sebagai season (musim tayang) pertama. Ending-nya dibuat menggantung. Leila mengaku sudah membuat sinopsis global dan skenario kasar (treatment) episode pertama season kedua. Tapi ia cuma penulis. Keputusan akhir tetap di tangan pemodal. Leo, sang pemodal, juga tak bisa memastikan hingga kini. “Masih saya pikir-pikir apa lanjut ke season dua atau buat versi layar lebarnya dulu,” ujarnya. Ia bilang, stasiun teve juga beperan besar pada kelanjutan DTK. Lantas, bagaimana RCTI bersikap? RCTI juga tak memberi jawaban pasti. Harsiwi malah tengah berkonsentrasi bersiap menayangkan serial Jomblo, versi sinetron dari film sukses berjudul sama. “Setelah DTK selesai, RCTI siap dengan terobosan baru, sinetron Jomblo,” ungkapnya. “Pokoknya ini lain dari yang lain.”

Wah, kalau sudah begini, apa DTK tinggal menuju titik? Entah. Dan semoga saja tidak. Sebab, seperti diucap Maruli, sinetron dengan pola penggarapan model begini mesti terus dibuat meski jumlahnya sedikit. Ia mengistilahkan, “Dari 9 sinetron kelas B, rumah produksi mesti membuat satu sinetron kelas A,” katanya. Sinetron kelas A yang berkualitas, katanya, tak mesti dibuat semahal DTK, tapi digarap dengan serius. Setuju. *** Dibantu laporan Indra Kurniawan

Dimuat BINTANG INDONESIA edisi 811.

Penampilan Dunia Tanpa Koma di hadapan rating
Episode: 1 (9/9/2006); Nomor Urut: 49; Rating: 4,5; Share: 14,5
Episode: 2 (16/9/2006); Nomor Urut: 50; Rating: 4,2; Share: 14,5
Episode: 3 (23/9/2006); Nomor Urut: 67; Rating: 3,3; Share: 12
Episode: 4 (30/9/2006); Nomor Urut: 102; Rating: 2,8; Share: 9
Episode: 5 (7/10/2006); Nomor Urut: 91; Rating: 2,9; Share: 9,5
Episode: 6 (14/10/2006); Nomor Urut: 179; Rating: 1,9; Share: 6,1
Episode: 7 (21/10/2006); Nomor Urut: 197; Rating: 1,8; Share: 6,1
Episode: 8 (28/10/2006); Nomor Urut: 82;Rating: 3,4; Share: 11,8
Sumber: AGB Nielsen Media Research melalui SinemArt

Melirik Jalan Cerita Dunia Tanpa Koma yang Belum Tayang

Oleh Ade Irwansyah

Oke, spoiler alert! Kalau Anda ingin mengikuti keasyikan menonton Dunia Tanpa Koma (DTK) tanpa tahu duluan jalan ceritanya, mending tak usah melanjutkan membaca artikel ini. Tulisan berikut khusus bagi yang tak peduli hal itu. Atau yang penasaran, tak tahan buat tahu kira-kira Raya (Dian Sastrowardoyo) bakal menjatuhkan hatinya pada Bram (Fauzi Baadilla) atau Bayu (Tora Sudiro). ***

Episode # 10
Kisah seputar pemerkosaan Monita (Intan Nuraini) jadi berita besar di mana-mana. Dion (Christian Sugiono), aktor beken yang dituduh jadi pemerkosa “berkampanye”. Ia diwawancara di mana-mana, memperlihatkan seolah dizalimi lantaran dituduh jadi pmerkosa. Sementara, wartawan majalah Target: Raya, Seruni (Wulan Guritno), dan Markus (Indra Birowo) mencari bukti dari polisi dan berbagai saksi. Hasilnya, tudingan makin mengarah ke hidung Dion. Namun, di ruang redaksi sendiri para redaktur bersitegang memutuskan laporan utama. Sonny (Ari Sihasale), sang redaktur eksekutif, ingin berita soal kenaikan BBM jadi laporan utama. Redaktur lain memilih berita perkosaan Monita. Sementara itu, Bram terpaksa disibukkan lagi mengurusi adiknya, Lara. Harian Kini, jadi keteteran karena terlalu bertumpu pada Bram. ***

Episode # 11
Jendra Aditya (Surya Saputra) muncul lagi. Hakim Daus (Piet Burnama) menjatuhkan vonis 3 tahun penjara padanya. Di kantor Target, ada masalah antara pemilik dan karyawan. Sampai-sampai awak redaksi bertemu dengan sang direktur utama, Pak Rekso (Butet Kertaredjasa). Di sini muncul kelucuan lantaran akting Butet yang menggelikan. Setelah kelucuan, diganti ketegangan baru: Jendra kabur dari penjara. Bayu segera menbuat tim mengejar berita Jendra kabur. Di tengah kesibukan, Raya dapat SMS dari nomor tak dikenal, minta bertemu. “Tanpa Bayu, tanpa fotografer.” SMS itu dari Jendra, sang buron. ***

Episode # 12
Hakim Daus ditembak mati orang tak dikenal. Indonesia geger. Bayu menelepon Raya megabarkan hal itu. Saat ditelepon, Raya tengah bermesraan dengan Bram. Bayu gundah. Ia tahu Raya telah menjatuhkan pilihan pada Bram. Di luar urusan cinta, kematian Hakim Daus amat menyita perhatian. Kematiannya lantas dikaitkan dengan Jendra yang sudah ia vonis bersalah. Masalahnya,tak ada yang tahu di mana Jendra berada. Ada dugaan ia bersama Marita, kekasih yang paling ia simpan rapat-rapat. Sementara itu, Bram yang sudah lama mangkir dari harian Kini dituntut bosnya untuk segera giat bekerja lagi. ***

Episode # 13
Raya dan kawan-kawan terus menyusuri jejak keberadaan Marita (Luna Maya). Sementara itu, Bram menemukan wanita baru, Bunga (Nadia Shapira) meski sudah ada ikatan dengan Raya. Di lain pihak, Bayu membuat kaget: minta ditugaskan ke Aceh. Sekali waktu, Asri, kawan Raya, memergoki Bram berduaan mesra dengan Bunga di kafe. Saat Marita sudah terendus, tinggal sedikit lagi mencari Jendra. Dan tuduhan ke arahnya sebagai dalang pembunuhan makin terang setelah penembak Hakim Daus tertangkap. ***

Episode # 14
Rapat terakhir bersama Bayu sebelm berangkat ke Aceh berlangsung murung. Padahal, topik seru: meliput penangkapan Jendra. Semua mata seolah meminta Raya merayu Bayu mengurungkan niatnya. Majalah Target dapat keistimewaan dari polisi ikut meliput penangkapan Jendra. Episode pamungkas ini bakal diisi pandagan Raya atas “dunia kecil” bernama Target berikut orang-orang yang dikenalnya. Bram tetap lengket dengan Bunga. Sedang Raya makin bingung dengan perasaannya pada Bayu. ***

Jika Season Kedua Jadi Dibuat
Ya, pembuatnya sendiri tak tahu apa season dua jadi dibuat atau tidak—atau malah bikin film layar lebar DTK dulu. Tapi, boleh dong, kami mengira-ngira kisahnya bakal seperti apa. Ini perkiraan kami: Season kedua rasanya bakal menyoroti kepergian Bayu ke Aceh. Beberapa episode awal bakal ber-seting alam Aceh (wah, bakal mahal, nih!). Cinta segi tiga antara Bram-Bayu-Raya rasanya tetap jadi pemikat cerita di samping tetek bengek kisah kewartawanan. Tapi, biar lebih seru lagi, mestinya ada pria baru yang muncul. Sosoknya mesti tak kalah ganteng dibanding Tora Sudiro atau Fauzi Baadilla. Kira-kira pria baru ini wartawan juga bukan, ya? Wartawan teve pasti bakal lebih sip. ***

No comments: