Monday, February 19, 2007

Sebuah Catatan atas Yang Terbaik

25 film indonesia terbaik dan terlaris sepanjang masa

Dalam rangka ultah ke-15 tabloid ini membuat polling pada pengamat dan wartawan film untuk memilih film Indonesia terbaik sepanjang masa. Hasilnya, tak kurang ratusan judul masuk redaksi. Sebuah pertanda negeri ini banyak menghasilkan film bagus.
iklan harian Bintang Betawi edisi 4 Desember 1900 berbunyi begini, “Besok hari Rebo 5 Desember 1900 Pertoenjoekan Besar yang Pertama di dalam satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (menage) moelai poekoel Toedjoe malem. Harga tempat klas satoe f2, klas doewa f1, klas tiga f0,5.” Hari itu, 5 Desember 1900, pertama kali film diperkenalkan pada orang Indonesia (waktu itu namanya Hindia Belanda) -- hanya selang 5 tahun setelah film pertama kali diperkenalkan ke khalayak umum. Film pertama yang hadir di Indonesia itu berupa film dokumenter perjalanan Ratu Belanda di kota Den Haag. Pertunjukan pertama itu konon kurang sukses. Sehingga, pada 1 Januari 1901, harga karcis didiskon 75 persen buat menarik minat orang menonton. Perkembangannya kemudian amat dinamis. Dalam 5 tahun pertama, bioskop-bioskop di masa itu sanggup memutar dua film setiap malamnya.

Orang Indonesia pun makin akrab dengan medium seni bernama film yang waktu itu disebut “gambar idoep”. Film-film impor dari negeri lain makin sering ditonton. Hingga, pada 1926, lahir Loetoeng Kasarung. Dalam bukunya Katalog Film Indonesia, JB Kristanto mencatat, “walau dibikin oleh orang asing, tapi ini film cerita pertama di Indonesia yang menampilkan cerita asli Indonesia, sebuah legenda yang terkenal dari Jawa Barat.” Sejak masa itu hingga sekarang tak kurang sudah sekitar 2500 film Indonesia dibuat.

Lantas, apa film Indonesia terbaik yang pernah dibuat dari dulu sampai sekarang? Pertanyaan itu menggelitik kami, redaksi Bintang. Di Hollywood sana sudah mafhum dilakukan pemeringkatan macam begini, termasuk buat film. Dan hampir semua kritikus film sana sepakat kalau film terbaik yang pernah dibuat itu tak lain Citizen Kane (1941). Itu film yang berkisah seputar kehidupan raja media Charles Foster Kane (diperani sutradaranya sendiri, Orson Welles). Filmnya dianggap meninggalkan hal klise dan memberi aturan baru cara membuat film. Hebatnya, film itu datang dari orang yang sebelumnya tak pernah membuat film dan baru berusia 26 tahun.

film zaman dulu tak bisa lagi disaksikan
Sineas negeri ini tentu telah melahirkan film-film terbaik. Akan tetapi tak mudah menentukan yang terbaik di antara semuanya. “Nggak bisa. Hal itu mustahil,” kata JB Kristanto pada Bintang, Senin (27/2) sore. Penyebabnya sederhana saja, banyak film Indonesia yang sudah tak bisa disaksikan lagi. “Karena barangnya sudah nggak ada,” ujar Kristanto. Ia merasakan betul sulitnya mencari film-film Indonesia zaman dulu saat menyusun buku Katalog Film Indonesia. “Tidak ada kesadaran arsip dari produser untuk menyelamatkan hartanya (film),” kata Kristanto. “Jangankan filmnya, data-data filmnya saja nggak disimpan.” Film Indonesia paling tua yang pernah ia tonton yakni Darah dan Doa (1950, Usmar Ismail) dan Harimau Tjampa (1953, Djajakusuma). Sementara itu, dalam surat elektroniknya pada Bintang, Eric Sasono, pengamat film dan kolumnis lepas situs Layarperak.com, mengutip seorang antropolog dari East-West Center Hawaii, AS yang berujar bahwa “film Indonesia yang paling tua yang masih bisa ditonton adalah Enam Djam di Djogja (1951, Usmar Ismail).”

Kenyataan di atas sungguh memprihatinkan. Di Hollywood sana, film-film bisu Charlie Chaplin masih bisa kita saksikan hingga sekarang. Sementara itu, penonton negeri ini cuma bisa tahu film bisu zaman dulu yang pernah dibuat di tanah air hanya dari bacaan, tak bisa melihat filmnya. Parahnya, hal itu rupanya tak terjadi pada film-film yang sudah kelewat tua saja. Menurut Kristanto, film-film era 1970-an banyak yang sudah tak bisa disaksikan lagi lantaran rusak. Sementara itu, negatif filmnya “ada di Tokyo atau entah di mana.” Kala itu ada kecenderungan melakukan proses pasca produksi di luar negeri. Selain Tokyo, Hong Kong sering jadi pilihan.

Akan tetapi, ya itu tadi. Bukan berarti kita tak pernah punya film-film terbaik. Kita punya sineas-sineas jempolan yang sudah melahirkan karya-karya terbaik masing-masing. Dalam deretan itu ada nama-nama Usmar Ismail, Sjuman Djaya, Asrul Sani, Teguh Karya, Arifin C. Noer hingga sutradara era sekarang semisal Garin Nugroho, Riri Riza atau Rudi Soedjarwo. Dari tangan mereka kita disuguhi tontonan yang baik.

film terbaik sepanjang masa
Bintang bertanya pada Kristanto yang mantan wartawan film di Kompas, apa film Indonesia terbaik yang pernah dibuat. “Film Indonesia terbaik sepanjang masa itu Lewat Djam Malam (1954),” jawabnya. Di matanya, film itu layak disebut terbaik dilihat dari alasan sinematografis maupun sosial. Ia bercerita film itu mengisahkan tentang korupsi di awal usai perang revolusi. Pada buku katalog film yang ditulisnya Kristanto menulis film itu sebagai “karya terbaik Usmar Ismail”. Film itu, tulisnya lagi, sebuah kritik sosial cukup tajam mengenai para bekas pejuang kemerdekaan pasca perang. Bagi mantan penulis resensi film di Tempo yang kini jadi pengamat politik, Salim Said, film terbaik itu juga Lewat Djam Malam. “Bukan Darah dan Doa. Film Pedjuang (film Usmar yang lain) malah jauh lebih enak dilihat,” katanya pada Bintang via telepon Senin siang. Sementara itu di mata dua wartawan film senior yang lain, Yan Widjaya dan Ilham Bintang (kini pemimpin redaksi Cek dan Ricek) film terbaik itu justru Krisis (1953), juga dibuat Usmar Ismail.

Untuk mencari tahu apa film terbaik sepanjang masa, Bintang membuat polling kecil-kecilan pada 20 pengamat film dan wartawan film berbagai media. Selama 3 pekan kemarin kami menyebar surat elektronik ke berbagai wartawan itu. Mereka merespons baik polling kami. Tak kurang ratusan judul film masuk. Dari jumlah itu dipilih 25 film dengan suara terbanyak. Dari hasil polling yang kami buat, Tjoet Nja’ Dhien (1986) dapat suara terbanyak dan layak disebut yang terbaik. Film lainnya bisa Anda simak di halaman-halaman berikut.

Pertanyaannya, kenapa cuma 25? Mohon maaf, halaman yang kami miliki terbatas. Tak semua film bagus bisa masuk. Namun, kami sadar, dari ratusan judul film yang masuk itu menandakan sineas negeri ini sudah banyak melahirkan film bagus. Saat menyiapkan laporan ini telepon genggam Bintang berbunyi. Yan Widjaya menelepon. Ia bilang begini, “Apa masih bisa mengganti polling yang saya kirim,” katanya. “Saya ingin memasukkan film Berbagi Suami (Nia DiNata, rilis 23 Maret). Itu salah satu film terbaik sepanjang masa. Lebih bagus dari Arisan! (2003, film Nia yang lain).” Ah, negeri ini memang punya banyak film bagus. ***

Film Indonesia Terlaris Sepanjang Masa

Oleh Ade Irwansyah

Ini cerita kejadian pada Desember 2003. Pagi itu, pukul 10.30, suasana depan bioskop 21 di Mal Graha Cijantung disesaki orang yang kebanyakan remaja. Saat itu loket tiket belum dibuka, tapi penonton sudah membludak. Mereka berdesakan di depan pintu kaca. “Akibatnya pintu kaca pecah,” kata Kapyo, Kepala Keamaan bioskop saat itu pada Bintang yang meliput kejadian. Akibatnya, tiga remaja putri terluka. Mereka langsung dilarikan ke Rumah Sakit Lina yang paling dekat dengan mal.

Para remaja itu berdesakkan buat menonton Eiffel I’m in Love (2003). Film remaja yang dibintangi Samuel Rizal dan Shandy Aulia itu tengah digandrungi remaja. Mereka mengantre buat bisa menonton. Bintang saja yang datang ke bioskop 21 di Mal Cijantung menemui tulisan kalau tiket Eiffel I’m in Love sudah habis. Kala itu tak sedikit yang menonton film itu sampai lebih dari sekali. Mereka utamanya ingin melihat akting Shandy dan Samuel Rizal.

Syahdan, sampai akhir peredarannya, Eiffel I’m in Love tak kurang ditonton 3 juta orang. Itu angka terbesar dari jumlah penonton buat ukuran film nasional. Bila dihitung-hitung, Soraya Intercine Film yang memproduksi Eiffel tak kurang dapat untung sampai 21 miliar rupiah -- untung lebih dari seratus persen dari bujet 10 miliar rupiah. Di bawah Eiffel terdapat Ada Apa dengan Cinta? (2001). Film produksi Miles Productions itu tak kurang ditonton sekitar 2,7 juta penonton. Bintangnya, Nicholas Saputra dan Dian Sastro langsung jadi idola. Film itu pula yang menandai demam film dan sinetron bertema remaja. AAdC? yang dibuat Rudi Soedjarwo bisa jadi mendatangkan untung lebih banyak. Sebab, bujetnya “hanya” 4,4 miliar rupiah. Yang dapat untung karena selisih biaya produksi dengan hasil keuntungan yang besar di antaranya juga Jelangkung (1999). Film horor itu dibuat cuma dengan dana 400 juta rupiah, tapi ditonton sampai 1,6 juta orang. Selama berminggu-minggu Jelangkung bertahan di bioskop.

Penonton yang sama banyaknya, 1,6 juta orang, juga diraih Petualangan Sherina (2000). Film Petualangan Sherina ini dibuat dengan dana 1,5 miliar rupiah. Angka-angka fantastis itu susah diraih untuk ukuran sekarang. Bukan apa-apa, kini hampir setiap pekan ada film Indonesia terbaru. Antrean macam film Eiffel, apalagi sampai ada yang terluka segala tak pernah terjadi lagi.

film laris masa lalu
Bila menengok film laris masa lampau bolehlah menyebut Tiga Dara (1956). Film Usmar Ismail yang mengikuti selera pasar itu nyatanya banyak ditonton orang untuk ukuran saat itu. Pada masa itu pula lahir film laris lain semisal Hari Libur (1957, sutradara AW Uzhara) dan Djandjiku (1956, BK Raj, seorang India). Memasuki akhir 50-an hadir Djendral Kantjil (1958). Film yang dibintangi Achmad Albar saat masih berumur 12 tahun itu tergolong laris di masanya.

Menginjak 1970-an, lebih banyak film yang laris hadir. Di tahun-tahun itu bioskop diisi film-film populer bertema drama percintaan, seks, maupun komedi. Maka, di masa itu film seperti Cinta (1975, Wim Umboh) yang dibintangi Ratno Timoer dan Marini, banyak ditonton orang. Dalam catatan Perfin, lembaga yang menghitung jumlah penonton ke bioskop di Jakarta, film itu tak kurang ditonton 117.806 orang. Setahun kemudian, film Inem Pelayan Sexy (1976) jadi film terlaris di Jakarta pada 1977. Film itu ditonton 371.369 orang. Bila kemudian menyebut film lain di era itu yang di antaranya ada Akibat Pergaulan Bebas (1977, 311.286 penonton), Ali Topan Anak Jalanan (1977, 144.547 orang), Suci Sang Primadona (1978, 146.479 orang), Betty Bencong Slebor (1978, 133.258 penonton), atau Binalnya Anak Muda (1978, 171.849 penonton). Di era itu pula, film-film komedi yang dibintangi Ateng tergolomg digenari. Tradisi film yang menjual nama Ateng dimulai pada 1974, lewat Ateng Raja Penyamun. Film Ateng Bikin Pusing (1977) jadi film terlaris ketiga, ditonton 135.000 orang. Di masa itu, sutradara yang biasa membuat film bermutu seperti Teguh Karya juga ikut membuat film pop. Hasilnya, jadilah Badai Pasti Berlalu (1977). Film itu jadi film terlaris kedua dengan jumlah penonton 212.551 orang.

film propaganda jadi yang terlaris
Memasuki 1980-an, Rano Karno dan Yesy Gusman jadi bintang idola berkat Gita Cinta dari SMA (1979). Film itu laris manis ditonton 162.050 orang. Selepas sukses Gita Cinta, Rano dan Yessy mendominasi film-film remaja awal 1980-an. Banyak film remaja dibuat dengan formula mirip-mirip Gita Cinta. Di awal 1980-an, film mistik juga digemari. Nyi Blorong (1982) yang dibintangi Suzanna, misalnya, jadi film terlaris ditonton 354.790 orang. Film yang laris juga di masa itu antara lain Arie Hanggara (1985, ditonton 382.708 orang) dan film-film yang dibintangi pelawak Warkop (Dono, Kasino, Indro). Film Kesempatan dalam Kesempitan (1985), misalnya, ditonton 536.335 orang. Menjelang penghujung 1980-an, popularitas Rano dan Yessy digantikan o­ngky Alexander dan Merriam Bellina. Keduanya jadi idola baru remaja lewat Catatan si Boy (1987). Film itu jadi film laris ketiga ditonton 313.516 orang.

Yang fenomenal dan patut dapat catatan tersendiri mungkin film Pengkhiatan G-30-S PKI (1982) karya Arifin C. Noer. Film itu memecahkan rekor penonton dengan angka 699.282 orang. Angka yang baru terkalahkan kala film Indonesia bangkit lagi awal 2000-an oleh Jelangkung. Kendati super laris, dulu ada kewajiban menonton film propaganda Orde Baru itu. Saat beredar dahulu setiap murid sekolah digiring masuk bisokop menonton film berdurasi 271 menit itu. Kemudian propaganda tak berhenti di situ. TVRI, stasiun teve milik pemerintah tak kurang memutar film itu selama 14 tahun berturut-turut, setiap 30 September.

Kini, tak ada lagi kewajiban nonton film ke bioskop buat anak sekolah. Sekarang setiap orang berhak menonton film apa saja yang dimaui. Tanpa paksaan, asal ada uang. Namun, di tengah film nasional yang menjamur, hanya sedikit yang bisa untung menangguk penonton di kisaran 1 juta orang. Terakhir, film Virgin (2004) yang memperoleh angka 1 juta penonton dan dapat Piala Antemas, piala buat film unggulan FFI yang paling banyak ditonton. Di tengah ramainya film nasional produser sulit bisa dapat untung seperti beberapa tahun lalu. “Bisa dapat 300-400 ribu penonton saja sudah bagus,” ujar Erwin Arnada, bos Rexinema yang membuat Jelangkung. Jika demikian adanya akankah ada lagi film yang bisa ditonton lebih dari 3 juta orang? Semoga saja ada. ***
Dimuat dalam rangka ultah ke-15 tablod Bintang Indonesia, tahun 2006

Yang Terbaik Sepanjang Masa

25 Film Indonesia Terbaik Sepanjang Masa

Apa saja film-film Indonesia terbaik pilihan wartawan dan pengamat film?

Oleh Ade Irwansyah

Di bawah daftar yang terbaik selalu ada deretan panjang para runner-up. Saat kami membuat polling ini tak kurang ada 160 judul film masuk. Tentu tak bisa semuanya dimuat. Kami hanya pilih 25 film yang paling banyak dapat suara. Film-film berikut dipilih oleh 20 pengamat dan wartawan film yakni: Yan Widjaya (wartawan film senior), Ilham Bintang (wartawan film senior), Ipik Tanojo (Bali Post), Eric Sasono (pengamat film), Arya Gunawan (pengamat film), Noorca M. Massardi (wartawan film senior), Yudhistira Massardi (Gatra), Leila S. Chudori (Tempo), Frans Sartono (Kompas), Yusuf Assidiq (Republika), Aa Sudirman (Suara Pembaruan), Taufiqurrahman (The Jakarta Post), Eri Anugerah (Media Indonesia), Sandra Kartika (wapemred tabloid Teen), Telni Rusmitantri (Cek n Ricek), Ekky Imanjaya (situs Layarperak.com), Wenang Prakasa (Movie Monthly), Orlando Jafet (Cinemags), Poernomo Gontha Ridho (Koran Tempo), dan Ekal Prasetya (Seputar Indonesia). ***

1. Tjoet Nja’ Dhien (1986)
Sutradara: Eros Djarot
Pemain: Christine Hakim, Pitrajaya Burnama, Slamet Rahardjo, Rita Zaharah
Produksi: PT Kanta Indah Film, PT Ekapraya Film

Sebuah masterpiece! Tak ada yang menyangkal Tjoet Nja’ Dhien (1986) dibilang begitu. Film debut penyutradaraan Eros Djarot itu butuh waktu dua tahun buat menyelesaikannya. Pemeran utamanya, Christine Hakim jadi legenda hidup gara-gara film ini. Berkat Tjoet Nja’ Dhien, setiap aktris muda pasti menyebutnya sebagai panutan atau bintang idola. Tak ada yang menyangkal pula, sebagai Tjoet Nja’ Dhien, Christine berakting sempurna. Tak cuma Christine saja yang serba bagus di film ini. Filmnya sendiri, sebagai sebuah kesatuan karya sinema, nyaris tanpa cacat (diganjar 8 Piala Citra di FFI 1988). Tjoet Nja Dhien tak berisi uraian biografis kehidupan pahlawan dari Tanah Rencong itu. Melainkan juga berisi drama, pengkhianatan, dan kebesaran jiwa. Tak aneh rasanya kalau Tjoet Nja’ Dhien merupakan puncak pencapaian dunia perfilman kita yang belum terlewati hingga kini. *

2. Naga Bonar (1986)
Sutradara: MT Risyaf
Pemain: Deddy Mizwar, Nurul Arifin, Roldiah Matulessy, Afrizal Anoda
Produksi: PT Parsidi Teta Film

Lewat Naga Bonar, Asrul Sani lagi-lagi membuktikan bakat besarnya sebagai salah satu penulis cerita terbaik yang pernah dipunyai negeri ini. Asrul piawai menghadirkan dialog yang memicu tawa, yang begitu dipikir lebih dalam ternyata mengandung makna luhur. Naga Bonar hadir buat berkelakar. Namun, ia tak berkelakar sembarangan. Yang jadi bahan kelakar justru pejuang negeri saat perang kemerdekaan berlangsung. Naga Bonar menyindir pemujaan pada para pahlawan. Film ini berpesan, tak semua pejuang di masa lampau itu punya niat suci membela negeri. Ada yang cuma bisa bicara saja. Nah, Jenderal Naga Bonar (diperankan dengan gemilang oleh Deddy Mizwar) pun aslinya pencopet. Tapi dari sosok inilah kemurnian perjuangan lahir. Sebagai karya sinema, Naga Bonar tampil lengkap, berisi sekaligus menghibur; tergarap dengan baik, tanpa cacat cela. Pantas rasanya bila film ini memborong 7 Piala Citra di FI 1987. *

3. Ada Apa dengan Cinta? (2001)
Sutradara: Rudi Soedjarwo
Pemain: Nicholas Saputra, Dian Sastrowardyo, Titi Kamal, Ladya Cheryl
Produksi: Miles Productions

Ada Apa dengan Cinta? (AAdC?) jadi salah satu film penting negeri ini. Melahirkan tren yang sudah lama hilang dari jagad sinema kita: film bertema remaja. Selepas AAdC? lahir film-film bertema sejenis. Tren itu juga merambah ke teve. Sejak AAdC?, datang berduyun-duyun sinetron bertema remaja. Rasanya, sejak Gita Cinta dari SMA (1979) dulu baru ada lagi film Indonesia yang begitu digandrungi remaja. AAdC? tak kurang ditonton sekitar 2,7 juta orang di bioskop. Kalau dulu Gita Cinta dari SMA melahirkan sosok Galih dan Ratna, AAdC? punya Rangga (Nicholas Saputra) dan Cinta (Dian Sastrowardoyo). AAdC? lebih unggul di atas Gita Cinta lantaran kisahnya yang kompleks -- tak cuma kisah kasih Rangga dan Cinta. Ada dilema antara persahabatan dan cinta, hingga niatan buat mencintai karya sastra (siapa yang bisa lupa kalau berkat film ini, buku langka berjudul Aku dicari, lalu dicetak ulang, dan laris manis). Selain itu, di lihat sebagai karya sinema, AAdC? juga lebih manis. Rudi Soedjarwo, sang sutradara, begitu lancar bertutur (Rudi dapat Piala Citra di FFI 2004). *

4. Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985)
Sutradara: Chaerul Umam
Pemain: Deddy Mizwar, Lydia Kandou, Ully Artha, Ikranegara
Produksi: PT Prasidi Teta Film

Film baik tak lekang dimakan zaman. Bertahun-tahun selewat peredarannya, film itu masih asyik buat ditonton. Nah, Kejarlah Daku Kau Kutangkap tipe film seperti itu. Penonton tak sekadar diajak tergelak. Semua ini berawal dari skenario cerdas yang dibuat Asrul Sani, pengarahan kuat dari Chaerul Umam, sang sutradara, yang digenapi akting prima dari Deddy Mizwar, Lydia Kandou, Ully Artha, dan Ikranegara. Hasilnya, film ini layak ditasbihkan sebagai situasi komedi terbaik yang pernah dihasilkan sineas kita. Asrul berhasil membuat kelakar jenius tentang hubungan pria dan wanita. Kejarlah daku, tapi kau yang akan kutangkap. Itu idiom cinta yang ditambahkan Asrul pada kamus cinta. Dalam film ada hubungan Ramadhan (Deddy) dan Mona (Lydia) yang berkisar antara cinta dan benci, cinta dan gengsi, hingga cinta akhirnya mengalahkan segalanya.*

5. Badai Pasti Berlalu (1977)
Sutradara: Teguh Karya
Pemain: Christine Hakim, Roy Marten, Slamet Rahardjo, Mieke Wijaya
Produksi: PT Suptan Film

Badai Pasti Berlalu jadi film Teguh Karya yang paling laris ditonton. Tak kurang, saat beredar dulu, film ini masuk urutan kedua film terlaris 1978 (ditonton 212.551 orang). Padahal buat Teguh sendiri, ia terpaksa membuat film itu. “... ingin nafas, dan balas budi dari film-film terdahulu yang kurang laku. Selain saya ingin memvisualkan sebuah novel ke dalam bahasa visual,” ujarnya seperti dimuat Pikiran Rakyat pada 1978. Badai Pasti Berlalu memang diangkat dari novel pop. Hasilnya, ya film pop. Sebelum diangkat jadi film, kisahnya memang sudah populer duluan saat dimuat bersambung oleh Kompas dan kemudian dinovelkan. Hingga saat difilmkan, orang tentu ingin menontonnya. Apalagi yang membuatnya Teguh Karya, sutradara yang piawai membuat film-film bermutu. Selain itu, yang membuat Badai Pasti Berlalu dikenang juga lantaran tata musik berikut lagu temanya yang digubah Eros Djarot. Lagu temanya abadi hingga kini. *

6. Arisan! (2003)
Sutradara: Nia DiNata
Pemain: Tora Sudiro, Cut Mini, Aida Nurmala, Surya Saputra
Produksi: Kalyana Shira Film

Untuk ukuran tahun 2000-an sekarang, Arisan! paling tepat ditunjuk sebagai film yang menelanjangi kehidupan di zamannya. Tanpa tedeng aling-aling, Arisan! menampilkan problematika hidup kaum borjuis Jakarta. Ada perselingkuhan, dilema cinta sesama jenis, hingga upaya mempertahankan nilai-nilai keluarga. Semuanya campur-aduk dalam balutan komedi segar. Kepiawaian sang sutradara, Nia DiNata, menggarap realitas ini mengingatkan kita pada kemampuan senada yang dimiliki sutradara besar lain macam Sjuman Djaya atau Asrul Sani. Nia tak cuma menghibur, ia juga mengajak penonton untuk jujur pada diri sendiri. Pesannya jelas, kehidupan kaum jetset Jakarta dipenuhi topeng alias kemunafikan. Arisan! juga jadi darah segar saat perfilman kita yang bangkit lagi dipenuhi film remaja dan horor. Di luar itu, Arisan! yang jadi film terbaik FFI 2004 ini juga melahirkan bintang baru. Tora Sudiro (pemeran Sakti yang gay) namanya.*

7. November 1828 (1978)
Sutradara: Teguh Karya
Pemain: Maruli Sitompul, Yenni Rachman, Slamet Rahardjo, Sunarti, El Manik
Produksi: PT Intersindo, PT Gemini Satria Film, PT Garuda Film

Untuk ukuran tahun itu, penghujung 1970-an, November 1828 ditasbihkan sebagai film termahal. Film itu tak kurang menelan dana 240 juta rupiah buat memproduksinya. Dana yang dihabiskan utamanya digunakan untuk membuat seting semirip zaman yang ingin diceritakan dalam film -- awal abad ke-19. Film ini melibatkan beberapa tokoh sejarah buat jadi penasihat, tukang jahit, dan entah siapa lagi buat menghidupkan realitas yang terjadi dua abad lalu. Uniknya, segala tetek bengek artistik itu tak dipakai buat banyak adegan kolosal. November 1828 bukanlah jenis film itu. Ia sebuah drama di tengah medan perang. Filmnya bertutur seputar pengepungan di rumah keluarga Kromoludiro (Maruli Sitompul), pengikut setia Sentot Prawirodirdjo, otak perang Pangeran Diponegoro. Dalam rumah itu berbagai drama yang menguras kemampuan akting setiap pemainnya berlangsung. Ada drama seputar dilema memilih menyerah pada penjajah -- lantaran keselamatan keluarga terancam -- atau berpegang teguh pada prinsip perjuangan mengusir penjajah.*

8. Gie (2005)
Sutradara: Riri Riza
Pemain: Nicholas Saputra, Sita Nursanti, Wulan Guritno, Thomas Nawilis
Produksi: Miles Productions

Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa 1960-an, telah jadi sosok bak pahlawan. Pandangan dan kisah hidupnya memikat Mira Lesmana dan Riri Riza, pemilik Miles Productions. Keduanya lantas menggagas buat mengangkat kisah hidup Gie ke layar lebar. Hasilnya jadilah Gie. Akor ganteng Nicholas Saputra didapuk memerankan Soe Hok Gie. Tentu tampang Nico yang ganteng tak mirip Gie asli, akan tetapi ia bisa berakting (buktinya Nico diganjar FFI 2005 buat aktor terbaik). Selain itu, film ini punya gagasan lebih besar dari sekadar mengisahkan kisah hidup sosok Gie. Yakni bagaimana seorang yang ikut berjuang menumbangkan rezim korup, malah menemukan rezim korup baru. Teman-temannya semasa aktivis juga ikutan korup. Gie jadi sosok kesepian. Sebuah gagasan yang mengingatkan kita pada mahakarya Usmar Ismail, Lewat Djam Malam (1954). *

9. Taksi (1990)
Sutradara: Arifin C. Noer
Pemain: Rano Karno, Meriam Bellina, Nani Widjaja,
Produksi: PT Raviman Film

JB Kristanto, penulis buku Katalog Film Nasional, menyebut Taksi sebagai akhir petualangan dan kegenitan sutradaranya, Arifin C. Noer. Kalau di film-film sebelumnya Arifin bergenit-genit ria mengusung tema besar dengan penggarapan kolosal (Serangan Fajar, Pengkhinatan G-30-SPKI, dan Jakarta 1966), lewat Taksi Arifin tampil sederhana. Tapi justru saat sederhana itu film yang ia hasilkan amat baik. Kristanto menulis, “puisi dan wajah Indonesia yang selalu ingin diraihnya malah muncul.” Taksi tampil sarat makna tanpa mesti menggurui dan membodohi penonton. Proses pencarian jati diri Giyon (Rano Karno), sang supir taksi yang sarjana filsafat dan penumpangnya, Dessy (Merriam Bellina), atas makna hidup berlangsung seadanya -- dan justru memikat.*

10. Ibunda (1986)
Sutradara: Teguh Karya
Pemain: Tuti Indra Malaon, Alex Komang, Ayu Azhari, Niniek L Karim
Produksi: PT Satria Perkasa Esthetika Film, PT Sufin

Ibunda boleh dibilang puncak pencapaian Teguh Karya atas persoalan sehari-hari. Usai berpeluh mengangkat tema besar seperti nasionalisme dalam November 1828 atau Doea Tanda Mata, Teguh seolah kembali ke bumi, mengangkat tema yang bisa saja dialami orang kebanyakan. Ibunda punya cerita sederhana. Seputar kisah seorang ibu (Tuti Indra Malaon) yang menemukan anak-anaknya disesaki masalah pelik masing-masing. Selain ceritanya sederhana, Ibunda tampil dengan dialog wajar, pas, dan, dalam bahasa Salim Said, “tanpa tanda seru yang meminta perhatian.” Tapi di sinilah justru letak keunggulan Ibunda. Salim melengkapi pujiannya atas Ibunda dengan, “cerita yang baik, skenario yang bagus, dan penyutradaraan yang teliti telah menemukan bentuknya lewat pemain yang tampil sempurna.” *

11. Tiga Dara (1956)
Sutradara: Usmar Ismail
Pemain: Mieke Wijaya, Chitra Dewi, Indriati Iskak
Produksi: Perfini

Tiga Dara ditasbihkan jadi film karya Usmar Ismail yang paling dikenal orang banyak -- mungkin karena ini film pop, bukan film berat berisi perjuangan revolusi atau kritik sosial. Tiga Dara mengisahkan kehidupan 3 perempuan kakak-beradik berikut suka-duka mereka (hubungan saudara yang kerap ribut-ribut kecil sampai problem dengan lelaki). Saat diedarkan dahulu Tiga Dara tergolong film laris di era 1950-an. Akting tiga bintang utamanya (Mieke Wijaya, Chitra Dewi, dan Indriati Iskak) sulit dilupakan. Ketiganya cantik-cantik dan muda. Mereka juga bermain bagus, diselingi nyanyian merdu (ini film musikal). Yang membuatnya abadi, flm ini masih enak ditonton hingga kini. Pantas rasanya bila Tiga Dara jadi penanda kultural untuk film remaja dari sebuah era (1950-an). *

12. Si Doel Anak Betawi (1973)
Sutradara: Sjuman Djaya
Pemain: Rano Karno, Tino Karno, Dewi Rosaria Indah, Tutie Kirana
Produksi: PT Matari Film

Saat karya sastra diangkat ke layar lebar—di antaranya Salah Asuhan (1972)—Sjuman Djaya memilih mengadaptasi novel Aman Datoek Madjoindo berjudul Si Doel Anak Betawi. Ini cerita seputar suka-duka kehidupan Doel, seorang anak Betawi asli. Doel diperani Rano Karno saat masih kecil. Suka duka kehidupan Doel yang mencari figur ayah (setelah ditinggal mati ayahnya), melawan kerasnya hidup (ia harus membantu ibunya berjualan kue buat menyambung hidup), sampai menghadapi tekanan anak-anak nakal terekam baik. Dalam buku Katalog Film Indonesia, JB Kristanto menilai Si Doel Anak Betawi sebagai film anak-anak “yang boleh dikatakan berhasil. Suasana riang novel bisa teralihkan ke film.” Di akhir film, Sjuman menekankan kalau Doel bersekolah—sebagai pesan untuk memutus lingkaran anak Betawi yang tak berpendidikan formal. Ini juga sebagai peletak buat film lanjutannya, Si Doel Anak Modern (1976). Saat Si Doel (diperani Benyamin S), karena mengenyam pendidikan, telah jadi pria modern. *

13. Kampus Biru (1976)

Sutradara: Ami Prijono
Pemain: Roy Marten, Rae Sita, Yatie Octavia, Farouk Afero
Produksi: PT Safari Sinar Sakti Film

Sebelum Kampus Biru, Roy Marten main dua film yang kurang sukses di pasaran -- Bobby (1974) dan Rahasia Gadis (1975). Nah, baru di Kampus Biru Roy menemukan momentum jadi bintang idola. “Inilah titik balik dalam perjalanan karier saya,” ujarnya suatu kali pada Bintang. Roy benar. Kampus Biru sukses besar (terlaris ketiga pada 1976, ditonton 168.456). Selain Roy, Rae Sita juga dipuji habis. Salim Said amat memuji akting Rae. Di matanya, Rae Sita adalah Dra. Yusnita sebenarnya. Yustina diceritakan sebagai dosen perawan tua di “kampus biru”, sebutan buat Universitas Gajah Mada, yang terlibat cinta dengan mahasiswanya, Anton (Roy). Ini sebuah tema berani. Ami Prijono, sang sutradara, mengangkatnya dari novel populer Ashadi Siregar. Menurut antropolog Karl G. Heider, Kampus Biru disebut sebagai film Indonesia pertama dengan adegan ciuman di bibir secara penuh. Selain itu pula, Kampus Biru juga dicatat sebagai film pertama yang merekam utuh kehidupan kampus. Hingga ia jadi tontonan wajib mahasiswa atau mantan mahasiswa masa itu. *

14. Doea Tanda Mata (1984)
Sutradara: Teguh Karya
Pemain: Alex Komang, Jenny Rachman, Sylvia Widiantono
Produksi: PT Citra Jaya Film

Nasionalisme jadi tema besar yang diusung Doea Tanda Mata. Dalam film ini Teguh Karya mengajak merenungkan kembali makna kemurnian perjuangan. Ada seorang lelaki bernama Goenadi (Alex Komang) yang terombang-ambing antara dua wanita dan pemihakan kepada bangsa sendiri atau musuh -- dalam suasana pergerakan pemuda Indonesia 1930-an. Kritikus film Marselli Sumarno menyebut Doea Tanda Mata punya cerita yang mengalir runut tapi disertai gejolak. Teguh menuturkan kisahnya mirip pembagian babak yang menyerupai naik-turunnya layar di panggung teater. Semua itu didukung gambar-gambardinamik sorotan George Kamarullah. Dengan tata artistik sempurna khas Teguh, Doea Tanda Mata dikenang sebagai film yang oleh JB Kristanto “luput dari cacat umum film Indonesia, yakni inkonsistensi dan ke-tidaktaatasas-an.” *

15. Si Doel Anak Modern (1976)
Sutradara: Sjuman Djaya
Pemain: Benyamin S, Achmad Albar, Christine Hakim, Tutie Kirana
Produksi: PT Matari Artis Film

Jakarta yang berkembang jadi kota metropolitan -- meninggalkan tradisi Betawi sebagai akarnya -- dilirik sutradara Sjuman Djaya dengan amat jenial lewat Si Doel Anak Modern. Sjuman tak membuat film sedih berisi kejamnya ibu kota. Melainkan bereksplorasi dengan geger budaya yang dialami orang Betawi asli di tengah belantara metropolitan Jakarta. Ini sekuel film Sjuman yang lain, Si Doel Anak Betawi (1973). Kalau pada film pertama Sjuman menyutradarai berdasar novel aslinya, pada film lanjutannya Sjuman berdialektika atas pikirannya sendiri. Ia mengusung tema besar, apa yang terjadi saat orang yang masih memegang tadisi lama bersentuhan dengan kehidupan modern? Kegagapan apa yang terjadi? Yang membuat Si Doel Anak Modern jadi karya besar lantaran pilihan Sjuman untuk menyampaikan pesannya dengan cara komedi. Film ini jadi tak berisi uraian berat filsafat, tapi kelucuan demi kelucuan yang dilakoni Benyamin S, pemeran Si Doel. Syahdan, saat menjadi modern, Si Doel yang anak Betawi itu makan dengan sendok garpu, lebih suka pakai motor Jepang, sampai memilih potongan rambut kribo. *

16. Petualangan Sherina (1999)
Sutradara: Riri Riza
Pemain: Sherina Munaf, Derby Romero, Uci Nurul, Mathias Muchus
Produksi: Miles Productions

Sebuah tontonan yang mengingatkan kita pada Home Alone (). Kala anak kecil mempecundangi orang dewasa. Petualangan Sherina jadi film besar lantaran dianggap sebagai penanda kebangkitan perfilman nasional. Sebelum Petualangan Sherina, bioskop tanah air melulu diisi film esek-esek. Baru setelah film ini datang, orangtua mengantre mengajak anaknya ke bioskop. Petualangan Sherina bertahan di bioskop selama berminggu-minggu. Film karya Riri Riza ini mampu mengundang 1,6 juta penonton ke bioskop. Jika Petualangan Sherina bukan film menarik, penontonnya mungkin tak sebanyak itu. Pada kenyataannya, sebagai karya sinema Petualangan Sherina bukanlah film buruk. Riri mampu bercerita dengan lancar diselingi lagu-lagu Sherina -- ini film musikal. *

17. Daun di Atas Bantal (1997)
Sutradara: Garin Nugroho
Pemain: Christine Hakim, Kahncil, Sugeng, Heru, Sarah Azhari
Produksi: PT Chritine Hakim Film

Garin Nugroho disebut-sebut sebagai salah satu sineas pembaharu negeri ini. Ia lahir menjelang film nasional mati suri dan diisi film-film seks semata. Garin hadir membuat film yang lain. Ia mengoptimalkan bahasa gambar untuk bertutur. Akan tetapi, hasilnya film Garin sering tak dimengerti penonton kebanyakan. Sementara itu, di lain pihak, film-filmnya justru menuai puja-puji dan mengoleksi beragam penghargaan dari festival film di banyak negara. Nah, baru lewat Daun di Atas Bantal Garin bertutur dalam bahasa yang lebih dimengerti penonton. Filmnya lenier. Tak mengumbar metafor atau gambar puitik yang bikin bingung. Sebaliknya, Garin justru menampilkan sisi kehidupan anak jalanan dengan menarik. Realitas anak jalanan (yang dibintangi anak jalanan sungguhan, bukan aktor) hadir memikat buat penonton bioskop yang sebagian besar kelas menengah kota. *

18. Pacar Ketinggalan Kereta (1988)
Sutradara: Teguh Karya
Pemain: Tuti Indra Malaon, Alex Komang, Nurul Arifin, o­ngky Alexander
Produksi: NV Perfini

Pacar Ketinggalan Kereta boleh jadi sebuah kompromi dari Teguh Karya atas selera masyarakat. Setelah bertahun-tahun membuat film serius macam November 1828 (1979) sampai Ibunda (1986), Teguh bersikap lumer. Kisah yang ia ceritakan lebih mudah dipahami. Selain itu, Teguh juga berkompromi menggunakan aktor-aktor yang tengah populer -- meski tetap mengandalkan bintang andalannya semisal Tuti Indra Malaon atau Alex Komang. Pilihannya jatuh pada o­ngky Alexander, tenar lewat Catatan Si Boy, dan Nurul Arifin. Hebatnya, walau mencoba kompromi, Teguh tak mengabaikan kualitas filmnya. Jurus andalannya: teliti menata artistik film sampai mengontrol gerak pemain tetap kelihatan. Walhasil, Pacar Ketinggalan Kereta mendominasi ajang FFI 1989 (memboyong 8 Piala Citra).*

19. Cinta Pertama (1973)
Sutradara: Teguh Karya
Pemain: Slamet Rahardjo, Christine Hakim, Kusno Soedjarwadi
Produksi: PT Jelajah Film

Christine Hakim lahir sebagai bintang film lewat Cinta Pertama. Buat ukuran bintang film saat itu, sosok Christine jauh dari ideal. Tubuhnya terbilang kurus. Sementara, di era itu wanita yang dicari buat jadi bintang film mestilah cantik dan berbadan bahenol. Kendati tak masuk ukuran, Christine mampu membuktikan diri kalau dirinya bisa berakting gemilang (ia diganjar Piala Citra di FFI 1974 untuk perannya). Filmnya sukses besar, ditonton banyak orang sekaligus menggondol Piala Citra (selain buat Christine) untuk film, sinematografi, musik, dan untuk Teguh Karya sebagai sutradara terbaik. Cinta Pertama unggul lantaran tak melulu berisi cerita cinta mendayu-dayu, tapi juga dipadu ketegangan yang melibatkan tembak-menembak di ujung film. Lewat Cinta Pertama, Teguh Karya membuktikan diri tak cuma bisa membuat film yang dipuji kritikus, tapi juga disukai penonton. *

20. Si Mamad (1973)
Sutradara: Sjuman Djaya
Pemain: Mang Udel, Rina Hassim, Aedy Moward, Ernie Djohan
Produksi: PT Matari Film

Sjuman Djaya menunjukkan sikap sosialnya lewat Si Mamad. Ia mengusung sebuah kisah komikal yang nyaris jadi tragedi. Sebuah tragikomik, begitu kira-kira sebutannya. Kisahnya seputar Mamad (Mang Udel) yang mengalami kesulitan hidup, lantas melakukan korupsi kecil-kecilan di kantonya. Sebagai orang kecil yang tak pernah berbuat tak jujur sebelumnya, Mamad amat merasa bersalah. Sebuah sikap yang kontras dengan sikap para petinggi yang sudah korupsi besar-besaran malah berlaku seolah tanpa dosa. Sebuah kritik sosial yang tetap aktual hingga kini. Yang membuat film ini punya nilai lebih, bila dilirik dari tahun kelahirannya, di awal Orde Baru. Buat ukuran tahun itu, kritik sosial macam begini terhitung jarang. Sjuman membalutnya jadi suguhan komedi. Sebuah langkah yang tak cuma aman, melainkan juga cerdas.*

21. Pengantin Remaja (1971)
Sutradara: Wim Umboh
Pemain: Sophan Sophiaan, Widyawati, WD Mochtar, Sofia WD, Fifi Young
Produksi: PT Aries Film

Kalau Hollywood punya film drama romantis yang berakhir tragis berjudul Love Story (1970), perfilman kita punya Pengantin Remaja. Banyak yang menyebut film karya Wim Umboh atas skenario Sjuman Djaya ini jiplakan film Hollywood itu. Wim berkelit. Katanya, Pengantin Remaja lebih mirip kisah cinta Romeo dan Juliet versi Indonesia (nama tokohnya saja Romi (Sophan Sophiaan) dan Juli (Widyawati). Lalu, kisah cinta mereka juga tak direstui orang tua). Ada juga yang bilang gagasan film ini lahir dari Sjuman Djaya. Entahlah. Yang pasti dalam resensi di Tempo pada tahun itu, Salim Said memuji film ini. Salim menulis, “Orang Indonesia juga bisa bikin film yang baik seandainya mereka sungguh-sungguh.” Pada kalimat sebelumnya ia menulis, “Agak berlebihan barangkali menyebut Pengantin Remaja sebagai salah satu film terbaik yang pernah dibikin di Indonesia sejak enam puluhan, kendati pun sulit untuk tidak berkata demikian.” Nyatanya, Pengantin Remaja memang film terbaik di eranya. Film itu meraih Golden Harvest Award untuk Film Terbaik di ajang Festifal Film Asia pada 1971. *

22. Cintaku di Rumah Susun (1987)
Sutradara: Nya Abbas Akup
Pemain: Deddy Mizwar, Rima Melati, Doyok, Eva Arnaz
Produksi: PT Parkit Film

Cermin realitas sosial selalu lekat di film Nya Abbas Akup. Cermin itu pula bisa terlihat di Cintaku di Rumah Susun. Di siang bolong di rumah susun ada yang baru pulang belanja dengan bawaan seabrek, ada yang pacaran, ada suami-istri sedang mesra-mesraan, ada yang mendengarkan siaran bola. Di situ ada pula bujangan tua, Somad (Deddy Mizwar) yang masih dilarang pacaran. Somad lantas belajar buat punya pacar. Somad lantas kenal Zuleha (Eva Arnaz) yang seksi. Kelucuan di rumah susun lantas mengalir lancar. Macam-macam karakter disodorkan buat menunjukkan kompleksitas kehidupan di rumah susun. Eva Arnaz memang tampil seksi. Ini cuma bonus. Sajian utama tetap akting jempolan pemain lain dan cerita memikat. *

23. Gita Cinta dari SMA (1979)

Sutradara: Arizal
Pemain: Rano Karno, Yessy Gusman, Shirley Malinton, Junaedy Salat, Rizal Nurdin.
Produksi: PT Tiga Sinar Mutiara Film

Kisah cinta a la Romeo dan Juliet rupanya tak lekang dimakan zaman. Bahkan laku dijual dan ikutan jadi legenda. Gita Cinta dari SMA contohnya. Saat diedarkan dahulu, film ini laris ditonton orang -- disebut Perfin sebagai film terlaris ketiga di Jakarta dengan 160.050 penonton. Selayaknya kisah gubahan Shakespeare, Gita Cinta dari SMA berkisah seputar hubungan asmara yang tak direstui antara Galih (Rano Karno) dan Ratna (Yessy Gusman). Sayangnya, Galih datang dari keluarga miskin, sedang Ratna anak orang kaya. Di mata penonton, Galih dan Ratna sosok ideal. Sempurna tanpa cacat cela. Keduanya bintang kelas, dan berperangai amat baik. Hingga, saat hubungan mereka tak direstui, mudah buat penonton untuk bersimpati. Saat beredar dulu, banyak remaja zaman itu bermimpi ingin jadi Galih atau Ratna. Soundtrack-nya yang digubah Guruh Soekarnoputra juga ikut populer. Film ini layak dicatat lantaran menciptakan tren film remaja era berikutnya. Selepas film ini, Rano Karno dan Yessy Gusman makin banyak menghiasi film remaja sejenis. *

24. Eliana, Eliana (2002)
Sutradara: Riri Riza
Pemain: Rachel Maryam, Jajang C Noer, Henidar Amroe
Produksi: Miles Productions

Eliana, Eliana bukanlah film gelap. Kendati menawarkan kemuraman di awal, di akhir film Riri memberi penutup yang manis. Ini mungkin sedikit cacat Eliana, Eliana. Namun demikian, Riri tetap menawarkan sesuatu yang istimewa di film ini. Sebagai sutradara muda, ini karyanya yang menjanjikan. Lewat Eliana, Eliana ia mencoba menelurkan karyanya yang personal. Sisi gelap Jakarta ia rekam dalam rangkaian dialog antara Eliana (Rachel Maryam), Bunda (Jajang C Noer), atau supir taksi, serta gambar kotor dan jorok pinggiran Jakarta. Memang terlalu harafiah. Namun, dari film ini, Riri mulai membuktikan diri bukan cuma sutradara yang bisa membuat film laris (Petualangan Sherina), tapi juga sineas yang menjadikan film untuk menyampaikan gagasan. Hal yang kemudian ia buktikan dengan lebih baik lewat Gie (2005).*

25. Inem Pelayan Sexy (1977)
Sutradara: Nya Abbas Akup
Pemain: Doris Callebaute, Titiek Puspa, Jalal, Yetti Surachman
Produksi: PT Candi Dewi Film

Peran babu atau pembantu rumah tangga tak bisa dilepaskan dari kehidupan Jakarta. Tanpa babu, rumah orang kaya Jakarta bisa kacau balau, berantakan, masuk kerja jadi terlambat, sampai Nyonya besar jadi tak sempat ke salon (apalagi arisan). Tapi, apa jadinya kalau babu yang dipekerjakan ternyata cantik dan seksi? Tuan rumah jadi genit. Sementara Nyonya besar mesti ronda mengawasi. Itulah realitas yang diangkat Nya Abbas Akup lewat Inem Pelayan Sexy. Kemolekan sang babu, Inem (Doris) rupanya tak cuma menarik perhatian sang tuan rumah, Cokro (Aedy Moward) melainkan juga atasan Cokro, Tuan Bronto (Jalal). Bronto yang kaya raya kemudian takluk oleh Inem. Inem lantas jadi wanita kaya raya. Dari sini, Abbas menyisipkan pesan moral: saat kaya Inem tak lupa diri (ia tak mengganti namanya jadi lebih trendi), tapi justru membela kaum miskin. Ini yang membuat Inem Pelayan Sexy tak jatuh jadi komedi biasa. Meski berlabel seksi, film ini juga tak terjebak mengumbar sensualitas porno. Inem Pelayan Sexy justru jadi tonggak tersendiri dalam perjalanan film komedi negeri ini. *