Sunday, July 29, 2007

Tentang King Kong

King Kong dari Masa ke Masa

King Kong sudah melewati masa depresi, booming ekonomi, hingga memasuki abad 21.

Oleh Ade Irwansyah


Carl Denham, sang sutradara itu menyeruak dari kerumunan. Seorang opsir polisi berkata padanya, “Pesawat terbang menembaknya jatuh.” Opsir itu menunjuk makhluk berbulu lebat sejenis gorila berukuran raksasa. Makhluk itu terkapar diam. Mati. Tinggal mayat. Denham kemudian berucap serius, menyanggah sang opsir. “It was beauty killed the beast—Si Cantik membunuh Si Buruk Rupa,” katanya.

Demikian akhir kisah King Kong (1933). Sang gorila raksasa jatuh dari puncak Empire State Building. Pesawat terbang dengan senapan mesin menembaki sang raja kera yang membawa wanita pujaannya, si cantik Ann Darrow ke puncak gedung berlantai 102 itu. Setelah tak kuat menahan tembakan bertubi-tubi Kong jatuh dari ketinggian 381 meter. Denham memaknai peristiwa itu sebagai “beauty killed the beast.”

Konon, kalimat itu jadi legenda. Robert Armstrong sang pemeran Denham, mengucapkannya dengan penuh makna hingga sulit dilupakan. Sekarang, seiring filmnya dibuat ulang lagi oleh Peter Jackson, sutradara peraih Oscar lewat trilogi The Lord of the Rings, kalimat itu muncul lagi. Kali ini yang mengucapkannya Jack Black, pemeran Denham di King Kong versi 2005. Buat Black itu jadi momen terberat hidupnya. “Kalimat itu terlalu bersejarah,” katanya.

Sebenarnya, tadinya bukan Black yang akan mengucapkan kalimat itu. Melainkan Fay Wray pemeran Darrow dari King Kong asli. Wray sudah didekati Jackson buat tampil jadi cameo. Sayangnya, Wray keburu wafat pada Agustus 2004. “Saya tahu Pete (Peter Jackson—red) ingin Fay Wray yang mengucapkannya. Jadi saya tahu dia sedih di hari itu, karena Wray baru wafat. Saya seperti sedang membaca naskah dialog orang lain,” komentar Black.

Wray memang begitu dikenang lewat perannya di King Kong. Sepanjang kariernya, Wray sudah main 98 film dari 1923-1980. Kendati sudah main film nyaris 100 kali, banyak orang cuma kenal perannya di King Kong. Kini, Wray menyerahkan peran itu ke tangan Watts, aktris asli Australia sahabat Nicole Kidman yang sebelumnya sudah main film semisal 21 Grams atau dwilogi The Ring versi Hollywood.

Suatu kali, Jackson mengajak Watts menemui Wray di apartemennya di New York. Ketika Jackson mengenalkan Watts sebagai pemeran Ann Darrow, sambil berkelakar Wray berucap, “Sayalah Ann Darrow!” Hari itu Watts dan Jackson berbincang panjang dengan Wray. Di ujung obrolan, Wray membisiki Watts. “Ann Darrow ada di tangan yang tepat.”
Ketika Wray wafat, Jackson berkomentar, “Kecantikan khas Wray abadi di film itu, tapi buat yang beruntung pernah bertemu dengannya, ia meninggalkan pesan sebagai wanita jenaka, penuh energi, gaya, dan memikat.”

***

Film King Kong pertama lahir di masa depresi yang dimulai sejak 1929. Kala itu Amerika dilanda krisis ekonomi berkepanjangan. Bursa saham Wall Street rontok. Jutaan orang menganggur dan langsung jatuh miskin. Buat mencari hiburan, mereka pergi ke bioskop, menonton film. Belum lama berselang film menemukan teknologi baru: suara. Film tak sekadar gambar bergerak, tapi juga diisi tata musik, maupun suara dialog para tokohnya. Era film bisu Charlie Chaplin berakhir sudah.

King Kong pertama lahir dari tangan dingin duet sutradara Merian C. Cooper dan Ernest B. Schoedsack. Keduanya merangkap jadi produser. Ide awal filmnya lahir kala Schoedsack pulang sehabis mengunjungi kepulauan Galapagos. Di sana masih ada binatang yang bakal membuat Charles Darwin merevisi ulang teori evolusinya. Ia dan Cooper lantas merancang kisah yang mengambil lokasi di pulau antah berantah tempat berjenis dinosaurus semisal Brontosaurus, T-rex, atau Pterodaktil. Sayangnya, proyek itu tak disetujui. Keduanya lantas merancang kisah kalau makhluk-makhluk tadi mesti melawan raja kera raksasa, King Kong.

Butuh waktu setahun buat King Kong sebelum sampai di bioskop. RKO, perusahaan film yang membiayai King Kong mengeluarkan dana 650 ribu dollar. Kalau dibandingkan sekarang, uang itu setara dengan 8,8 juta dolar. Begitu dirilis King Kong langsung meledak. RKO untung besar. Perusahaan yang semula nyaris bangkrut itu menangguk untung 1,7 juta dollar dari King Kong. Film itu ditasbihkan sebagai box office pertama dalam sejarah perfilman. King Kong sesaat bisa melupakan orang dari kepenatan hidup gara-gara krisis ekonomi.

Sebuah edisi harian Variety terbitan 1933 dibuat terheran-heran atas kesuksesan King Kong. Harian itu menulis, “Nggak ada uang apaan! Total seluruh orang New York menghabiskan 89.931 dollar selama 4 hari buat menonton King Kong di bioskop.” Istilah “Nggak ada uang!” lazim digunakan orang buat menyebut kondisi ekonomi yang terpuruk kala itu. Bahkan, adegan kala Kong menaiki puncak Empire State Building diartikan sebagai matinya kapitalisme. Kong disamakan dengan Karl Marx dalam kostum gorila. Ada-ada saja, memang.

***

Menginjak 1970-an ekonomi AS tak lagi terpuruk. Empire State Building juga bukan lagi bangunan paling tinggi yang pernah dibuat manusia. Di era 70-an itu manusia menciptakan menara kembar WTC (World Trade Center). Gedung itu punya 110 lantai, dengan tinggi 417 meter. Seketika, menara WTC jadi simbol kekuatan ekonomi menggantikan Empire State Building.

Di era itu pula muncul keinginan untuk membuat ulang King Kong dari produser Dino De Laurentis. Buat menyutradarainya ditunjuk John Guillermin. Siapa yang memerankan “cewek Kong”? Semula, De Laurentis ingin Cher atau Barbra Streisand yang memerankannya. Kata Guillermin lagi, Streisand sudah serius tertarik buat main. “Lalu saya menemukan Jessica Lange di New York. Dia ikut sebuah agensi model. Kami menawarinya kasting. Well, dia terlihat cantik di layar,” ujar Guillermin. Syahdan, Jessica Lange yang didapuk jadi “cewek Kong.” Di ujung film ia diboyong Kong ke puncak menara WTC—bukan Empire State Building sesuai film aslinya.

Perbedaan King Kong era 1930-an dengan 1970-an tak sekadar itu. King Kong 1970-an yang lebih modern, tak menyoroti niatan sutradara gila yang ingin membuat film di pulau misterius berisi binatang pra sejarah. Melainkan, seorang industrialis yang ingin mencari pulau berisi kandungan minyak bumi tak terbatas. Well, saat itu minyak bumi yang harganya selangit—bahkan sempat mengguncang ekonomi Amerika waktu diboikot negara Arab—jadi barang paling berharga.

Perbedaan lain, bila King Kong era 1930-an dibuat dari boneka-bonekaan yang digerakkan, tak demikian dengan King Kong versi 1970-an. Memang sih, niatan semula Kong mau dibuat dari robot mekanik buatan orang Italia segala, Carlo Rambaldi dan krunya. Hanya saja, lantaran Guillermin yang tak bisa bahasa Italia sering tak nyambung dengan Rambaldi. “Akhirnya kami pakai bahasa internasional (maksuudnya Inggris),” kata Guillermin, “tapi hal itu nggak berpengaruh. Saya ingat selama 3 bulan tangan robot tak bisa digerakkan. Jari-jarinya susah digerakkan. Seperti biasanya, teknologi tak sesuai harapan.” Belakangan, juru rias peraih Oscar Rick Baker akhirnya memakai pakaian gorila memerankan Kong. De Laurentis mengeluarkan ongkos 24 juta dollar buat King Kong versinya—atau setara 82 juta dollar dengan nilai uang saat ini. Hasilnya terbilang lumayan. Kong Kong versi 1970-an meraup untung 52 juta dollar di AS saja. Kesuksesan itu mendorong Guillermin membuat sekuelnya, King Kong Lives (1986). Kali ini Kong dipertemukan dengan kera sejenisnya berkelamin betina.

***

Di mata Peter Jackson, Kong versi Guillermin tak murni lagi. Ia tak suka Kong versi 1970-an begitu pun sekuelnya. Baginya, King Kong tak sekadar film. Jackson punya kenangan tersendiri akan King Kong versi lama. Ia pertama kali menonton film itu waktu umurnya masih 9 tahun saat masih tinggal di Selandia Baru. Jackson ingat betul menangis melihat Kong jatuh dari Empire State Building. “Itu akhir yang tak menguntungkan baginya. Dia hidup melintasi manusia tapi berakhir tragis, gara-gara manusia juga,” komentarnya sedih.

Berkat King Kong pula, Jackson menancapkan cita-cita jadi sutradara. Suatu ketika, di usia 12 tahun, Jackson membuat ulang King Kong pertama kali dari kain bekas ibunya buat menutupi tubuh Kong dan kardus sebagai pengganti Empire State Building. Jackson meminjam kamera orangtuanya.

Kini, setelah trilogi The Lord of the Rings buatannya untung 2,9 miliar dollar dari seluruh dunia, kesempatan buat mewujudkan impian masa kecil jadi kenyataan. Jackson mengembalikan semangat film aslinya—dengan permak sana-sini seputar teknologi komputer, tentunya. Kong era 2000-an bukan lagi boneka, robot mekanis, maupun manusia berkostum gorila.

Kong versi Jackson dibuat berdasar gerakan tubuh Andy Serkis, aktor yang menghidupkan Gollum di trilogi Rings. Gerakan tubuhnya dibuat model animasi berbentuk Kong oleh lusinan animator komputer. Serkis sampai ke Rwanda segala meneliti tindak tanduk gorila. Sedangkan, Jackson rela merogoh koceknya sendiri buat menambahi ongkos produksi yang membengkak sampai 207 juta dollar—dari anggaran semula 150 juta dollar. Hm, kayaknya, di tangan Jackson, mengacu pada ucapan mendiang Fay Wray, “Kong ada di tangan yang tepat.” *** bahan dihimpun dari berbagai sumber
Dimuat BINTANG INDONESIA edisi 767

No comments: