Wednesday, July 18, 2007

Film Indonesia Termahal & Modal Membuat Film

Mencari Artinya Cinta Sampai Lebih dari Rp 40 Miliar

Apa film Indonesia paling mahal yang pernah dibuat dan mungkinkah bakal balik modal?

Oleh Ade Irwansyah


Film itu dibuka dengan adegan yang bikin kaget. Sebuah mobil mewah, BMW serie 7 keluaran terbaru, dibuat ringsek tak karuan. Konon, mobil itu dihargai lebih dari semiliar rupiah. Jadi, buat mengambil adegan mobil dibuat ringsek saja, produser menghamburkan uang lebih dari semiliar rupiah.

Film itu, Apa Artinya Cinta? (Soraya Intercine Films (SIF), 2005), memang menebar sejumlah sensasi sepanjang durasi 134 menit. Selain mobil mewah sekelas BMW yang dibikin ringsek, ada pula adegan sang tokoh utamanya, idola berkepala plontos Samuel Rizal (memerankan Dara) memecahkan kaca mobil mewah Ferrari. Belum lagi banyak adegan kebut-kebutan mobil mewah lainnya yang tersebar di sepanjang film. Tambahan pula, tak tanggung-tanggung pihak SIF sampai memboyong pemain dan kru AAC? ke San Fransisco, AS segala buat syuting di sana. Tak cukup sampai di situ, pihak SIF juga merekrut kru asing waktu syuting di San Fransisco. David Lewis, juru kamera film Children of the Corn V: Fields of Terror (1998), didapuk buat mengarahkan AAC? di AS. Kamera yang digunkankan bukan kamera digital buat menekan biaya, melainkan kamera Panavision 35 mm yang bisa berharga ribuan dollar AS.

Menurut Dewi Yulia Razif, humas SIF yang juga jadi casting director, AAC? menghabiskan 2,5 bulan buat syuting saja. Satu bulan di antaranya dihabiskan di sekitaran San Fransisco dan Los Angeles. “Satu minggu buat mengurus kayak wardrobe dan make-up, 3 minggu sisanya khusus buat syuting,” ujar Dewi. Lantaran syuting sampai ke San Fransisco, merekrut kru asing, plus mengumbar adegan mobil-mobil mewah bersliweran dengan kamera 35 mm, AAC? kabarnya menelan biaya sampai 40 miliar rupiah untuk membuatnya saja. Angka itu dibantah SIF. Menurut Dewi bujet AAC? Tak sebesar itu. Promosi film ini juga terhitung besar-besaran. Jauh hari sebelum resmi diputar serentak 2 November lalu, poster AAC? sudah keliling Jakarta menempel di badan bus-bus ibu kota. Belum lagi 10 baliho besar di titik strategis di Jakarta sampai iklan di teve dan media cetak.

Sebelum AAC? lahir, SIF pernah mengukir sejarah lewat Eiffel ... I’m in Love (EIIL) di akhir 2003. Film yang dibintangi Shandy Aulia dan Samuel Rizal itu sukses besar ditonton 3 juta orang di bioskop. Angka itu ditasbihkan sebagai box office terbesar buat ukuran film Indonesia yang belum terpecahkan hingga kini. Sesuai novel aslinya karya Rachmania Arunita, EIIL mengangkat eksotika Paris, Prancis buat menghidupkan drama romantis. Maka, Ram Soraya, sang bos SIF pun memutuskan syuting di Paris selama 10 hari. EIIL menghabiskan ongkos produksi 10 miliar rupiah. Selain syuting di Paris, film itu juga menggunakan kamera 35 mm, bukan digital. Buat penggunaan kamera ini jelas menyedot biaya besar. Apalagi bila menghitung take sampai belasan kali setiap ada kesalahan yang menghabiskan rol film. Karenanya, film yang direkam dengan kamera 35 mm, pastilah menelan dana setidaknya di atas 4 miliar rupiah. Samuel Rizal yang jadi Adit di EIIL pernah bercerita, buat adegan ciuman bareng lawan mainnya, Shandy Aulia (jadi Tita) diulang sampai 15 kali.

Kendati banyak menguras kocek, Ram tetap jalan dengan EIIL tanpa ragu. Insting bisnisnya memandu agar proyek EIIL diteruskan hingga kelar. “Kalau saya ragu, bujet promosi akan saya kurangi. Mungkin juga kami nggak uting di Prancis, nggak pakai efek suara dolby,” jelasnya pada Bintang akhir 2003 lalu. Keraguan juga tak nampak waktu ia menuntaskan poyek AAC? hingga ke San Fransisco. “Kota San Fransisco dipilih karena tuntutan cerita, selain buat memberi gambaran berbeda pada penonton,” ujar Ram waktu jumpa peluncuran AAC? di Planet Hollywood, akhir Oktober kemarin, “Lokasi berbeda akan membuat film lebih menarik,” tambahnya.

Tanpa ragu Ram menyerahkan penyutradaraan, kursi produser, sekaligus memberi kepercayaan ikut menulis skenario pada anaknya Sunil Soraya. Di tangan Sunil uang 40 miliar rupiah dari kocek SIF habis untuk membuat AAC?. “Dana untuk syuting dan promo AAC? semuanya dari SIF,” beber Dewi, “Tidak ada bantuan dana dari sponsor,” lanjutnya.
Jika dana sebesar 40 miliar rupiah dihabiskan untuk AAC? akankah SIF bakal segera untung? Hingga tulisan ini dibuat, angka 40 miliar rupiah itu belum balik ke kas SIF. Hanya saja, kata pihak SIF, AAC? setidaknya sudah mengukir kesuksesan mirip EIIL. Menurut Dewi, sampai Kamis (10/11) penonton AAC? hampir menembus angka satu juta orang. Jika klaim tersebut benar, SIF boleh berbangga hati. Sebab, sesuai penuturan Erwin Arnada, bos Rexinema yang sukses merilis Jelangkung, di tengah ramainya perfilman Indonesia produser justru sulit untung besar kayak 3 tahun lalu. “Untuk mendapatkan 300 – 400 ribu penonton saja sudah bagus,” ujar Erwin, via telepon Kamis malam lalu. Makanya, Erwin bilang untuk film berbiaya di atas 7 miliar rupiah sulit bisa untung. “Apalagi yang biayanya di atas 10 miliar rupiah,” tukasnya. Kendati meragukan keuntungan yang diperoleh film yang bujetnya sampai 40 miliar rupiah, Erwin berujar sah saja produser mengeluarkan dana sebesar itu. Hanya saja, katanya, “Seandainya mencetak rekor penonton pun pasti tidak akan bisa mencapai titik impas apalagi untung.”

Ungkapan Erwin itu dibenarkan Adiyanto Sumarjono, direktur utama Investasi Film Indonesia (IFI), perusahaan yang khusus mencari investor buat mendanai pembuatan film. “Untuk ukuran film Indonesia, kalau ingin cari untung, bujet film tak boleh lebih dari 7 miliar rupiah,” papar Adi yang ditemui Kamis kemarin. Adi memberi hitung-hitungan. Sebuah film yang misalnya berbiaya 4 miliar rupiah butuh 500 ribu penonton untuk balik modal. Itu pun jika film itu dibuat 25 kopi dan setiap hari bioskop-bioskop melakukan 4 jadwal penayangan, dalam sehari film itu diputar 100 kali. Dan 250 kursi tiap bioskop haruslah terisi penuh, plus film itu harus di[putar paling tidak selama 20 hari (sekitar 3 minggu) biar balik modal. Kata Adiyanto, hitungan-hitungan di atas dari penayangan di bioskop saja yang menutupi 2 miliar rupiah bujet produksi. Dua miliar lagi sisanya diperoleh dari penjualan hak siar dan penjualan DVD atau VCD.
Kata Adi pula, rata-rata produser untung 7 ribu rupiah dari setiap tiket biokop. Maka, bila EIIL dikatakan ditonton 3 juta orang, tinggal angka 3 juta dikalikan 7 ribu. Hasilnya, 21 miliar. Artinya, dari penonton bioskop saja EIIL untung 21 miliar rupiah—lebih dari 100 persen bujet produksi yang 10 miliar rupiah. Bagaimana dengan AAC?, tinggal bagi saja 40 miliar dengan 7 ribu. Hasilnya, kurang lebih 5,7 juta. Biar AAC? untung film itu harus ditonton setidaknya oleh lebih dari 5,7 juta orang. Masalahnya, mungkinkah angka itu tercapai di tengah kesulitan hidup yang makin membelit gara-gara kenaikan BBM? Cuma waktu yang akan menjawabnya. *** Dibantu laporan Dwi Hapsari dan Guritno

Dari Mana Uang Untuk Membuat Film Datang?

Merogoh kocek sendiri. Pinjam sana-sini atau, yang mulai trend, mendatangi Investasi Film Indonesia (IFI). Wah, apa lagi, tuh?

Oleh Ade Irwansyah

Suatu ketika, pada 1978, mendiang Teguh Karya sang sutradara besar itu, pernah bercerita didatangi seorang produser yang menggebu-gebu ingin membuat film setaraf The Godfather-nya Francis Ford Coppola. Cerita Teguh, produser itu sudah menonton The Godfather sampai 3 kali. Produser itu juga bilang, biar gambar filmnya bagus prosesingnya di Jepang. Lantas, Teguh bertanya berapa jumlah yang disediakan untuk membuat film setaraf The Godfather itu? Sang produser menjawab 50 juta rupiah. Kontan saja, Teguh bilang dengan angka segitu tidak bisa mewujudkannya.

Kendati sang produser meyakinkan Teguh kalau setahunya film-film Indonesia (untuk ukuran tahun itu) bisa dibuat tak lebih dengan biaya 48 juta rupiah, Teguh tetap bergeming. Ia beralasan, dengan angka itu cuma akan lahir film yang sampai pada kerangka saja. Atau, dalam bahasa Teguh, film yang, “... pemainnya cuma nongol di jendela dan berbicara tanpa kita tahu apa yang ada dalam rumahnya.” Dengan kata lain, untuk membuat film sekelas The Godfather butuh dana tak sedikit.

Teguh Karya sudah membuktikannya. Saat membuat November 1828 (1979) yang berlatar Perang Diponegoro (1825-1830), Teguh membangun set semirip zaman itu. Semua pemainnya diberi pakaian sesuai busana yang lazim digunakan kala itu—baik yang memerankan serdadu Belanda maupun rakyat jelata. Teguh total memerhatikan segi artistik film itu tak ubahnya Coppola saat membuat The Godfather. Lantaran ambisi Teguh itu, November 1828 menghabiskan ongkos produksi sampai 240 juta rupiah. Konon, angka itu terhitung sangat tinggi buat ukuran waktu itu. November 1828 pun didaulat jadi film paling mahal di zamannya. Kendati menghabiskan banyak uang, jerih payah Teguh terbayar impas. November 1828 meraih 8 Piala Citra, di antaranya buat film terbaik, sutradara terbaik, sinematografi terbaik, penata artistik terbaik, hingga ilustrasi terbaik.

Seiring waktu, angka 240 juta rupiah bukan lagi bilangan besar untuk sebuah ongkos produksi film nasional. Kini, pembuatan film Indonesia lazimnya menelan biaya di atas semiliar rupiah. Itu pun kalau yang digunakan kamera digital. Bukan seluloid. Untuk jenis kamera seluloid pun bujetnya beda-beda. Yang 16 mm kira-kira menelan biaya 3-3,5 miliar rupiah. Sedangkan yang 35 mm bisa menghabiskan dana di atas 4 miliar rupiah. Aktor senior Deddy Mizwar yang membawahi rumah produksi Demi Gisela Citra Sinema membuat Kiamat Sudah Dekat (2002) dengan dana 1,5 miliar rupiah. Film itu dibuat dengan kamera digital. Pun demikian dengan filmnya yang lain, Ketika (2004)—juga berbujet 1,5 miliar rupiah.

Dari mana Deddy mendapatkan uang buat mendanai filmnya? Kata Deddy, semua filmnya kebanyakan diambil dari koceknya sendiri. Selain membuat film layar lebar, Deddy juga memproduksi sejumlah sinetron kayak Lorong Waktu yang sudah dibuat berseri-seri. Nah, keuntungan menjual sinetron pada stasiun teve itu ia pakai buat mendanai film layar lebar. “Istilahnya subsidi silang,” bilangnya saat dimintai komentar via telepon Kamis (10/11) sore.

Rumah produksi lain, SinemArt milik Leo Sutanto, juga mendanai sendiri filmnya. Serupa Demi Gisela Citra Sinema milik Deddy, SinemArt juga membuat sinetron buat tayang di teve. Sinetron yang dibuat SinemArt malah sudah lebih banyak. Sejak berdiri 2003 lalu SinemArt sudah membuat 43 sinetron. Saat ini 14 sinetronnya tersebar di berbagai stasiun teve. “Produksi kami tidak hanya film layar lebar, tapi banyak sinetron yang ditayangkan banyak stasiun teve,” kata humas SinemArt Abdul Aziz, Kamis (10/11) malam. Sinetron itu mendatangkan banyak keuntungan buat SinemArt. “Jadi perputaran uangnya tidak hanya melalui film layar lebar,” tambah Aziz lagi. Aziz berani sesumbar SinemArt tak pernah minta bantuan pihak lain bila ingin mendanai pembuatan film. “Justru SinemArt menjadi investor untuk film yang dibuat rumah produksi lain,” bebernya. Hal tersebut dilakukan pada film Gie (2005) keluaran Miles Films. “Itu terjadi karena hubungan baik antara Pak Leo dengan Mbak Mira (Mira Lesmana, pemilik Miles Films—red),” buka Aziz. Selain Gie, SinemArt juga berinvestasi di film keluaran Miles lain, Garasi yang rencananya rilis awal tahun depan.

Gie yang berupa film biografis Soe Hok Gie, tokoh gerakan mahasiswa angkatan ’66 itu menguras dana banyak. Tak kurang film itu menelan biaya 7 miliar rupiah buat pembuatannya. “Dari setingnya saja Gie mengangkat suasana 1960-an. Untuk mendapat suasana masa itu, pembuat film dituntut menyediakan segala tetek bengek yang ada kala itu. “Baju-baju, kursi, perabotan rumah, sampai alat tulis mesti persis dengan yang ada saat itu,” bilang Deddy Machdan, publicist di Miles Films, Rabu (9/10) siang. Selain itu, pengambilan gambar Gie dilakukan di Jakarta, Semarang hingga puncak gunung Pangrango segala. Kata Deddy lagi, syuting Gie menghabiskan waktu 80 hari. Tambahan pula, buat adegan demonstrasi di jalanan melibatkan 2 ribu figuran.

Untuk membiayai pembuatan Gie, sebut BusinessWeek edisi Indonesia terbitan 14 September, Mira sampai “menggadaikan” film Ada Apa dengan Cinta? (AAdC?) buatan Miles untuk dibuat versi sinetronnya. Dulu, kondisinya bikin hati lebih miris lagi. Mira pernah bercerita, saking sulitnya cari pemodal dirinya bahkan harus pinjam uang ke rentenir untuk mendanai filmnya. Sejak kemunculannya, Miles sudah merilis sejumlah film. Film pertama keluaran Miles, Petualangan Sherina (2000) dibuat dengan dana 1,5 miliar rupiah. Film itu sukses mengundang 1,6 juta orang datang ke bioskop. Sementara itu, kesuksesan AAdC? malah lebih besar lagi. AAdC? yang berbujet 4,4 miliar rupiah ditonton 2,7 juta orang di bioskop. Dari bioskop saja, tulis BusinessWeek, film itu untung 24 miliar rupiah. Kemudian keuntungan produser bertambah 10 miliar rupiah dari penjualan hak siar dan 2,5 miliar rupiah dari penjualan VCD maupun DVD.

Selain AAdC?, Jelangkung keluaran Rexinema juga terhitung untung besar. Kata Erwin Arnada, bos Rexinema, film horor itu dibuat cukup dengan dana 400 juta rupiah. Sementara itu, Jelangkung ditonton 1,6 juta orang di bioskop. Rasanya, dari penghasilan tiket bioskop saja, film itu sudah untung besar—belum lagi dari penjualan hak siar atau VCD-nya. Film lain yang terhitung sukses menyedot penonton yakni Eiffel ... I’m in Love (2003). Film keluaran Soraya Intercine Film berbiaya 10 miliar rupiah itu konon ditonton sampai 3 juta orang.

Ketiga film sukses di atas didanai sepenuhnya oleh produsernya masing-masing. Hingga keuntungan pun cukup dibagi buat produser saja. Masalahnya, sebelum meraih untung, produser mesti megap-megap mencari dana kesana kemari biar filmnya bisa dibuat. Belum lagi kalau filmnya tak untung besar. Produser mesti menunggu lama biar uang yang dikeluarkannya untuk membuat film bisa balik.

Sekarang, masalah itu bisa disiasati. Beberapa pembuat film kayak Salto Films milik Shanty Harmayn, Rexinema, atau Miles menggaet perusahaan Investasi Film Indonesia (IFI) untuk mendanai pembuatan film-film mereka. Salto dibantu saat membuat Banyu Biru (2005); Miles di film Untuk Rena (2005) dan Garasi (rilis awal 2006). Sedangkan Rexinema memakai jasa IFI saat memproduksi Alexandria (rilis 24 November). “Untuk Alexandria, Rexinema mencoba tren baru dalam produksi film Indonesia, yaitu bekerjasama dengan IFI,” aku Erwin saat diminta bercerita via telepon, Kamis (10/11) malam. Ia bilang, Rexinema menggaet IFI bukan semata-mata karena kekurangan biaya. “Kami hanya ingin tahu bagaimana kekurangan maupun kelebihan pola ini,” katanya.

Lantas, apa sebenarnya IFI itu? Bagaimana pula pola kerjanya? Bintang khusus menemui direktur utamanya, Adiyanto Sumarjono di gedung Bursa Efek Jakarta, Kamis (10/11) pagi lalu buat mencari jawaban. “IFI itu bertugas mengatur investasi buat mendanai pembuatan film,” terang Adi. Kata Adi, IFI bekerja saat ada produser yang datang menyodorkan proposal pembuatan film. Selain mengamati isi proposal yang ditawarkan, IFI utamanya melihat seperti apa skrip film yang dimaksud. “Skrip itu amat menentukan. Sebab, 90 persen kekuatan film ada pada skrip,” ujar Adi. Setelah melihat apa satu film layak buat diinvestasi atau tidak, IFI akan menyebar proposal penawaran ke berbagai investor. Saat ini, bilang Adi, IFI punya 28 investor baik perusahaan maupun perorangan yang siap mendanai pembuatan film. Selanjutnya, tinggal produser, sutradara, atau penulis skenario mempresentasikan isi film yang akan dibuatnya di hadapan investor-investor yangsudah dicari IFI. “Kalau dulu produser mesti ketok pintu satu-satu investor, sekarang biar IFI yang lakukan itu. Mereka tinggal presentasi saja di depan investor yang IFI dapat,” urai Adi. Jika para investor tertarik pada suatu proyek film, mereka tinggal uang menyetor ke IFI.

Yang patut diketahui, IFI tak mencari keseluruhan modal yang dibutuhkan produser buat mendanai film. “Kalau seorang poduser yakin filmnya bgus, mestinya ia juga rela berkorban buat keluarkan uang sendiri atau mencarinya dari pihak lain juga,” kata Adi. Umumnya, bujet yang diperlukan untuk memproduksi film dibagi rata antara IFI dan produser. “Paling tinggi kisarannya hanya sekitar 50 persen dari bujet,” buka Erwin. Selain tak mencari modal sepenuhnya, IFI juga membuat kesepakatan khusus saat mencari dana. Adi membaginya dengan sebutan best effort dan full comitment. Lebih jelas, best effort itu menurut Adi berarti, “Jika IFI mesti cari dana 50 persen dari bujet, sekitar 2 miliar rupiah, misalnya, tapi hanya dapat 1,5 miliar rupiah sampai tenggat waktu. Maka, produser yang mesti cari sendiri kekurangannya.” Sedangkan yang dimaksud full comitment, “IFI berarti berkomitmen penuh pada pendanaan 50 persen itu. jadi, walau yang didapat cuma 1,5miliar rupiah dari investor, IFI mesti menutupi kekurangan dari uang IFI sendiri,” terang Adi, “Di sini, IFI juga jadi investor film itu,” lanjutnya lagi. Apa yang membuat IFI melakukan best effort atau full comitment tergantung penilaian IFI pada sebuah proyek film.

Layaknya perusahaan, IFI tentu juga mencari keuntungan. Hal tersebut, kata Adi, didapat dari fee atau upah dari hilir mudik mencari investor. “Hitung-hitungannya adalah,” ujarnya berahasia. Saat ini, selain Garasi yang siap tayang, di kantor IFI menumpuk proposal proyek pembuatan film menunggu didanai. “Prinsipnya, kami terbuka buat siapa saja produser yang ingin membuat film,” undang Adi. Dari proposal-proposal film yang menumpuk di kantornya, ada beberapa proposal film animasi buatan anak negeri. “IFI terbuka buat semua genre film,” kata Adi, “Apalagi, di Indonesia belum ada film animasi yang benar-benar membuat heboh,” lanjutnya. Wah, kalau begitu semoga segera ada film animasi yang disetujui IFI, lalu dicarikan investornya biar kita bisa lekas menontonnya di bioskop. *** Dibantu laporan Guritno
Dimuat BINTANG INDONESIA edisi 760.

1 comment:

Drakor Bagus said...

Hallo,,,mana nih yang suka nonton film di HP,,,?
sekarang kalian gak perlu khawatir mau nonton film film pilihan dan terbaik,semuanya ada dalam satu aplikasi,yaitu aplikasi INFLIXER,aplikasi yang satu ini di jamin membuat kalian enjoy nonton film karena kualitas dan pilihan film nya yang beribu ribu pastinya seru abisss,,,rumahmu pasti akan seperti bioskop karena keasyikan nonton,,,wkwkkw
yuk download aplikasi INFLIXER,,,enjoy guys buat nonton beribu pilihan film terbaik di HPmu.