Wednesday, July 25, 2007

About The Chronicles of Narnia

Menjelajah Semesta Narnia


Dongeng karangan C.S. Lewis, The Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe diangkat ke layar lebar. Novelnya disebut majalah Time sebagai salah satu dari 100 novel terbaik abad 20. Di Barat sana, novel keluaran 1950 itu telah memikat jutaan pembaca. Sayang, di sini masih kalah populer dengan Harry Potter. Benarkah kisahnya membawa nilai-nilai Kristiani?


Oleh Ade Irwansyah


Dulu ada kakak beradik bernama Peter, Susan, Edmund, dan Lucy. Kisah ini bercerita tentang apa yang terjadi waktu mereka dikirim keluar London karena sering terjadi serangan udara di sana (waktu itu Perang Dunia II tengah berlangsung). Mereka tinggal di rumah seorang profesor tua di pedesaan. Suatu ketika, si bungsu Lucy menyelinap sendirian ke sebuah kamar kosong. Di kamar itu cuma ada lemari pakaian besar. Lucy tergerak buat mencari tahu apa yang ada dalam lemari. Ia masuk ke dalam dan membiarkan pintunya terbuka—karena ia tahu sungguh bodoh jika membiarkan dirinya sampai berada dalam lemari tertutup, apalagi sampai terkunci di dalamnya.


Semula Lucy cuma merasakan mantel-mantel bulu, semakin jauh melangkah ia tercekat. Terasa ada yang berderak karena terinjak kakinya. Dia kemudian membungkuk dan meraba ke bawah kakinya. Ternyata tangannya tak menyentuh dasar lemari kayu yang keras, melainkan sesuatu yang lembut, seperti bubuk, dan terasa sangat dingin. “Aneh sekali,” katanya dalam hati. Sejenak kemudian Lucy menyadari bahwa yang membelai wajah dan tangannya bukan lagi bulu-bulu mantel yang halus, melainkan sesuatu yang keras dan kasar, bahkan rasanya berujung tajam. “Lho, seperti ranting pohon!” seru Lucy.


Kemudian tampak olehnya seberkas cahaya di depan. Bukan hanya beberapa sentimeter di hadapannya sebagaimana seharusnya ia berada di dinding lemari, akan tetapi nun di kejauhan sana. Sesuatu yang dingin dan lembut menimpanya. Sesaat kemudian baru Lucy menyadari bahwa ia kini berada di tengah sebuah hutan, di malam hari. Kakinya menginjak es, sementara butiran salju terus berjatuhan di sekelilingnya.


Demikian C.S. Lewis melukiskan saat Lucy pertama kali tiba di Narnia—negeri dongeng rekaannya, tempat yang diselimuti salju musim dingin selama seratus tahun namun Natal tak pernah datang karena kutukan Penyihir Putih. Dongeng itu lahir di masa Perang Dunia II. Kala itu, banyak anak-anak London dikirim keluar kota oleh orangtuanya buat menghindari serangan udara Nazi Jerman yang semakin mengganas. Di antara anak-anak itu ada 4 orang anak yang dikirim buat tinggal bersama Lewis di Kilns, wilayah pedesaan luar kota London. Lantaran terkesan pada daya khayal tamu-tamu kecilnya, Lewis yang profesor sastra di universitas Oxford (di sana Lewis berteman dengan JRR Tolkien, pengarang The Lord of the Rings) tergerak buat menulis kisah tentang 4 orang anak—waktu itu ia menamai mereka Ann, Martin, Rose, dan Peter—yang dikirim orangtuanya buat tinggal bersama seorang profesor tua.


Kala itu Lewis yang akrab disapa Jack cuma menulis kalimat pembuka di atas. Beberapa tahun kemudian ia kembali lagi menengok kisah itu. Tulisnya, anak-anak itu (ia mengganti nama mereka jadi Peter, Susan, Edmund, dan Lucy) menemukan jalan menuju dunia lain—dunia yang dinamainya Narnia. Syahdan, kisah petualangan 4 kakak beradik keluarga Pevensie itu dibukukan pada 1950 dengan judul The Chronicles of Narnia: The Lion, the Witch and the Wardrobe dengan tambahan ilustrasi Pauline Baynes. Kemudian kisah dari negeri Narnia berlanjut jadi 6 buku lain, yakni: The Magician’s Nephew, The Horse and His Boy, Prince Caspian, The Voyage of the Dawn Treader, The Silver Chair, dan The Last Battle.


Kalah pamor dari Harry Potter?

Di barat sana, kisah dari negeri Narnia telah memikat jutaan anak-anak. Majalah People menyebut novel-novel kisah negeri Narnia laku 85 juta kopi di seluruh dunia. Sedangkan situs majalah Time menyebut The Lion, the Witch, and the Wardrobe di daftar 100 novel terbaik abad 20. Konon pula, JK Rowling sang pengarang kisah Harry Potter mengail ide dari Lewis. Rowling tak menampik ketika kecil getol membaca cerita-cerita fantasi, termasuk karya Lewis. The Lion... buku favorit Rowling dari seluruh kisah negeri Narnia.


Akan tetapi, nama Lewis kalah pamor buat pembaca sini dibanding Rowling. Kalau buku-buku terjemahan Harry Potter sudah dicetak belasan kali setiap edisi, buku terjemahan Lewis yang diterbitkan Gramedia (penerbit sama dengan kisah Harry Potter) baru masuk cetakan kedua. Itu artinya, kalau sekali cetak rata-rata berjumlah 3 ribu buku, totalnya baru 6 ribu yang dicetak. Padahal, Lewis sudah lebih dulu menyapa pembaca Indonesia ketimbang Rowling. Asal tahu saja, buku terjemahan Harry Potter pertama, Harry Potter dan Batu Bertuah pertama kali diterbitkan 2000 lalu. Sedangkan kisah negeri Narnia pernah diterbitkan lengkap oleh penerbit Dian Rakyat pada 1992. Bisa jadi, waktu itu tak banyak orang tahu siapa C.S. Lewis, pengarangnya. Nah, seiring seri pertama Narnia difilmkan tahun ini, Gramedia menerbitkan lagi ketujuh seri itu lengkap.


Kisah dongeng dari negeri Narnia ditujukan buat pembaca anak-anak. Lantaran ditujukan buat pembaca cilik, kisah Narnia dibuat Lewis amat sederhana. Makanya, novel Narnia lebih tipis. Versi filmnya yang tengah di putar pun ditujukan buat anak-anak. Maaf saja, kalau ingin melihat keganasan makhluk semisal Orc atau troll sebaiknya menonton trilogi Lord of the Rings saja. Jangankan ada adegan kepala putus diterjang gada, seberkas darah muncrat pun tak nampak di layar yang cerah ceria—bukan gelap kelam. Bahkan, sebenarnya, sang sutradara Andrew Adamson terbilang menambahi adegan peperangan di film ini buat kepentingan cerita biar tambah seru ditonton. Sebab, di novelnya adegan peperangan cuma disinggung sedikit sekali.


Seperti halnya Lord of the Rings, kisah pertama dongeng Narnia yang diangkat ke layar lebar ini, The Lion... mengambil lokasi syuting di Selandia Baru. Di sana, Adamson membangun ulang dunia Narnia dalam hutan buatan seluas lapangan bola plus animasi komputer buat menghidupkan makhluk fantasi semisal faun, unikorn, centaur, atau Aslan sang singa perkasa penguasa Narnia.


Saat mengambil gambar Georgia Henley, pemeran Lucy, masuk ke negeri Narnia pertama kali, Georgia ingat betul kalau dibimbing selangkah demi selangkah menuju Kelly Park, sebuah kebun raya di Selandia Baru tempat hutan buatan Narnia dibuat. “Mata saya ditutup, dan begitu dibuka, saya sangat terkesan,” kata Georgia. “Jadi, reaksi Lucy waktu pertama kali masuk Narnia benar-benar reaksi saya sendiri.”


Georgia tak sendirian dipenuhi kesan. “Pembuatan film ini sendiri mirip perjalanan lewat lemari menuju dunia baru,” komentar Anna Popplewell, pemeran Susan. “Pergi melanglang buana ke negeri yang jauh, melakukan hal-hal aneh. Sangat menggembirakan, sekaligus sedikit menakutkan,” tambah William Mosley, pemeran Peter, saudara kandung Susan. “Kami (berempat) merasa seperti kakak beradik benaran. Kami jadi merasa dekat.”


Buat Adamson yang menyutradarainya, syuting The Lion... merupakan langkah besar buat kariernya. Adamson baru berpengalaman membuat dua film panjang, Shrek dan lanjutannya, Shrek 2. Dua film itu total dibuatnya di alam maya lantaran semuanya animasi komputer. “Di film animasi, sebagai sutradara, harus memikirkan semuanya,” catat Adamson, “Sutradara harus memikirkan kedipan, debu, atau hujan yang mesti turun. Sedang di film hidup semua hal itu bisa didapat gratis,” lanjutnya lagi menjelaskan.



Adamson menjelaskan pula butuh waktu 2,5 tahun buat menghidupkan Aslan sang singa lewat rekaan komputer. “Saya ingin Aslan benar-benar terlihat nyata secara fisik, hingga penonton betul-betul percaya kalau tokoh itu memang ada. Penonton menerimanya sebagaimana adanya, kehadirannya di layar jadi sangat terasa,” jelasnya.


Namun, punya singa rekaan komputer bertampang asli saja baru setengah memenangi pertarungan. Aslan juga butuh suara kuat buat mendukung tampangnya. Pilihan Adamson jatuh pada aktor Liam Neeson (Schindler’s List, Batman Begins, Kingdom of Heaven). “Liam sendiri yang minta peran itu. Dia datang dan menawarkan diri buat membaca naskah di depan saya. Tapi mendengarkan suaranya di telepon saja, saya sudah merasakan gema, kehangatan yang benar-benar cocok buat mengisi suara Aslan,” kata Adamson penuh kesan.


Nilai Kristiani dalam dongeng Narnia
Adamson berhasil membuat dongeng Narnia jadi lebih hidup. Hal ini sudah diwanti-wanti produsernya, Mark Johnson. Sejak jauh hari Johnson sudah diperingati fans berat C.S. Lewis. Katanya, “Saya nggak bisa bilang berapa orang yang berkata, ‘Jangan kacaukan kisahnya!’” Buat banyak orang kisah negeri Narnia tak sekadar dongeng belaka. Kisah itu bisa dibaca sebagai cerita yang mengusung moralitas Kristiani. Tokoh Aslan misalnya, sering dibilang perwujudan Yesus di Narnia. Aslan yang rela berkorban buat dosa orang lain, lalu dibangkitkan mirip dengan kisah Yesus. Apalagi bila menilik satu bagian dari buku The Voyage of the Dawn Treader. Di situ, Aslan berujar pada Lucy dan Edmund kalau keduanya bakal bertemu dengannya di dunia kita. “Tapi di sana aku punya nama lain. Kalian harus belajar mengenalku dengan nama itu,” kata Aslan. Nah, banyak orang yang menganggap nama lain yang dimaksud itu Yesus.


Namun, di mata pembuat filmnya, kisah Narnia tak ditujukan buat penonton Kristen saja. “Kami ingin filmnya ditonton sebanyak mungkin orang dari beragam latar belakang (agama),” catat Dennis Rice, petinggi humas Disney, studio film yang bareng Walden Media mengeluarkan kocek 150 juta dolar buat menghidupkan dongeng Narnia. “Saya juga tak memikirkan aspek religius dari kisahnya,” timpal Adamson, “Memang, C.S. Lewis membuat kisah perumpamaan dari agama yang dipercayainya, dan banyak orang yang menangkap pesannya ... kami hanya membuat film sesuai bukunya. Jadi, kalau menemukan pesan agama di bukunya, semoga menemukannya juga di film,” kata Adamson lagi.


Well, kisah Narnia terbuka buat dibaca siapa saja dari kalangan agama manapun. Sebab, seperti dikutip Time, Lewis menulis dongeng Narnia dengan ketajaman buat merekam bayangan gelap jiwa, dosa, dan nafsu manusia. Dan pembaca dari agama manapun, tulis Time lagi, bakal terpukau pada kepiawaian Lewis menyajikan daya khayal fantasinya. Silakan buktikan sendiri dengan membaca lengkap dongeng dari negeri Narnia. *** Bahan dihimpun dari berbagai sumber
Dimuat BINTANG INDONESIA edisi 765.

No comments: