Tuesday, January 23, 2007

Resensi Bintang Edisi 817"Opera Jawa"

Opera Jawa
Suguhan Cerita Bergaya Opera dari Garin Nugroho


Oleh Ade Irwansyah

Hal pertama yang perlu Anda pahami: ini film Garin Nugroho! Jadi, persiapkan diri buat menonton sesuatu yang lain. Bukan film cerita biasa. Garin punya ciri khas bercerita dengan bahasa gambar. Namun, gambarnya tak mudah dicerna. Sebab, ia menuturkannya lewat bahasa simbol. Penonton mesti mencerna dulu gambar-gambar yang tersaji untuk mengerti jalan ceritanya. Tampilan gambarnya diniatkan punya kekuatan asosiatif. Seringkali, banyak film Garin minim dialog—hanya satu-dua filmnya yang bercerita lewat dialog para tokohnya. Ia berpikir, cerita tak mesti dituturkan lewat dialog, sehingga membentuk suatu lakon yang utuh atau pengaluran. Bila ingin contoh nyata, sekali waktu tontonlah Bulan Tertusuk Ilalang (1998). Kalau Anda bisa mencerna cerita filmnya tanpa kesulitan mencari arti dibalik gambar indah-simbolis-puitis-penuh makna di sana, Anda penonton hebat.

Kini, Garin kembali! Dan, ya Tuhan, lewat Opera Jawa ia lagi-lagi bercerita lewat bahasa gambar. Lagi-lagi simbolis. Lagi-lagi puitis. Lagi-lagi penuh makna. Dan, oh, ada tambahan unsur baru. Nyanyian atau tembang. Bukan nyanyi sembarang nyanyi yang karenanya ini bukan film musikal macam Petualangan Sherina atau Biarkan Bintang Menari. Namun, dialog dituturkan dalam nyanyian seperti halnya tontonan opera. Bedanya, para tokohnya menyanyi tembang Jawa. Makanya, bolehlah menyebut film ini suguhan opera dalam bahasa Jawa—sesuai judulnya.

Masih ada suguhan unsur lain di samping tembang Jawa beserta musik gamelannya. Garin seolah melengkapi filmnya dengan semua unsur kesenian. Di Opera Jawa ada tari-tarian seni kontemporer dan Jawa klasik, kostum aneh, wayang, seni rupa berbentuk patung, hingga karya seni instalasi. Semuanya dipakai buat menyampaikan jalan cerita filmnya. Pokoknya, ungkapan bahwa film karya seni paling lengkap, menemukan bentuknya dalam film ini. Mungkin bentuk eksperimen yang belum pernah dicoba bahkan oleh sutradara manapun di dunia ini sebelumnya.

Dan, ini yang utama, eksperimen Garin kali ini berhasil. Yang dimaksud berhasil, Garin menyuguhi gambar-gambar yang lebih dimengerti penonton awam. Anda tak perlu jadi ahli semiotik, sejarah, antropologi, psikologi, filsafat atau lain-lain buat mengerti filmnya. Tak perlu takut pula tak mengerti bahasa Jawa karena ada teks bahasa Indonesia lengkap untuk memahami jalan cerita. Cukuplah tahu sedikit tentang inti kisah Ramayana berikut 3 tokoh utamanya: Rama, Sinta, dan Rahwana.

Filmnya memang diadaptasi dari satu bagian dari kisah Ramayana, lakon Sinta Obong, saat Rahwana menculik Sinta ke Alengka. Lantaran adaptasi, kisahnya tak persis cerita Ramayana. Bila ingin dicari, inti kisahnya sederhana: di sebuah pedesaan Jawa hiduplah pasangan suami istri, Sita (Artika Sari Devi) dan Setio (Martinus Miruto). Keduanya mantan seniman wayang orang, biasa jadi Rama dan Sinta. Setelah berhenti menari, Setio jadi pengrajin tanah liat. Sita jadi istri yang setia menunggu suaminya berjualan gerabah di pasar. Namun, Sita kerap bermimpi didatangi makhluk berbentuk kukusan (anyaman bambu berbentuk kerucut yang biasa dipakai menanak nasi). Lalu, ada tokoh lain, Ludiro (Eko Supriyanto), tukang jagal sapi yang juga seorang pengagum Rahwana. Ia begitu sayang pada ibundanya (Retno Maruti). Pada sang bunda, Ludiro berterusterang menaruh hati pada Sita.

Suatu ketika, pasar tempat Setio berjualan ditertibkan aparat. Setio jatuh miskin. Sementara itu, Sita malah tergoda ajakan Ludiro. Dalam galau Setio meradang. Kesewenangan aparat ia lawan. Ludiro ia ajak duel. “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung (siapa berani menghalangi, akan dimusnahkan)!”

Dan Sita … oh, tak kuasa kami ceritakan nasibnya. Yang pasti, film ini menyuguhkan tragedi di akhir. Sebuiah tragedi yang bermuara pada kidung duka atas nasib manusia yang karena kekerdilan dan kepicikannya berpikir malah memnbuat darah tumpah. “Duh Gusti, bila begini ingin rasanya kembali ke rahim ibunda, meski harus bertapa 9 bulan lamanya,” begitu kira-kira jeritan hati dari film ini.

Begitu rasanya Garin menginterpretasikan komposisi Requiem gubahan Mozart. Film ini aslinya persembahan Garin untuk perayaan 250 tahun Mozart. Opera Jawa sudah memenangi beberapa penghargaan internasional dan mendapat tempat terhormat di luar negeri. Kini saatnya Anda menikmati produk lokal berkelas dunia tanpa perlu sok ngerti seni, padahal pusing tujuh keliling mencari maknanya. Kata Garin, filmnya dipastikan edar di Yogyakarta, Semarang, dan Solo. Semoga kota lain juga dapat giliran edar. ***
Dimuat BINTANG INDONESIA edisi 817.

No comments: