Sunday, January 21, 2007

Resensi Bintang edisi 803

I Love You, Om

Kisah Cinta Anak Kecil dengan Om-om


Oleh Ade Irwansyah

Banyak orang mengalaminya sewaktu kecil: punya perasaan suka pada orang yang lebih tua. Entah pada guru di sekolah, guru di tempat les, atau tetangga sebelah rumah. Nah, perasaan cinta model itu yang coba diaduk-aduk lewat film ini, I Love You, Om. Dari judulnya saja sudah bisa ketahuan kira-kira kisahnya seperti apa. Tapi, alangkah baiknya bila diceritakan kembali—meski barang sedikit saja. Alkisah, hiduplah Dion (Rachel Amanda), dara cilik yang baru beranjak 12 tahun. Dion anak orang kaya. Ia tinggal hanya bersama ibunya (diperankan Ira Wibowo). Hidup Dion tak bahagia. Ibunya yang bertugas mencari nafkah nyaris tak punya waktu buat Dion. Dion malah disuruh ikut les macam-macam oleh ibunya.

Di rumah, Dion berkenalan dengan Gaza (Restu Sinaga), pria 35 tahun yang jadi tukang laundry langganan ibunya. Gaza bersimpati pada Dion yang selalu dimarahi ibunya. Oleh Gaza, Dion diajak berkeliling kota naik vespa, ke Dufan, sampai diajak nonton konser band The Upstairs. Syahdan, timbullah perasaan itu: Dion menaruh hati pada Gaza! Cukup. Ceritanya sampai di situ dulu. Film ini punya satu hal yang pasti: temanya tak biasa. Bila film lain mengangkat kisah cinta anak remaja atau orang dewasa dengan orang dewasa lainnya, film ini mencoba lain sendiri.
Namun demikian, keberanian mengangkat tema yang berani saja barulah langkah awal.

Langkah lainnya pada tingkat eksekusi alias hasil akhir filmnya. Pertanyaanpun menyeruak: apakah film ini mampu menggambarkan ketakbiasaan dari tema yang diangkatnya? Sebelum menjawabnya, mari sejenak menengok film yang punya tema mirip-mirip: Malena (2000) garapan Guiseppe Tornatore. Kisahnya seputar perasaan cinta seorang bocah puber pada wanita bernama Malena. Di situ, Tornatore menyorot sosok Malena dari bocah yang mencintainya. Realitas seorang bocah yang merindu pada sosok yang lebih tua digambarkan amat mengena pada Malena. Si bocah tak pernah menyatakan cintanya, tapi ia mengamatinya dari kejauhan, mengintip rumahnya, memimpikannya, hingga mencuri celana dalamnya.
Itulah yang mungkin dilakukan seorang bocah yang baru puber. Tapi, lihatlah yang dilakukan Dion. Bocah itu mengejar pria pujaannya bak seorang dewasa yang sedang jatuh cinta. Dion mendatangi tempat kerja Gaza, datang ke rumahnya, menyatakan cinta, hingga mencari Gaza ke diskotek (Ya Tuhan, bagaimana mungkin anak usia 12 tahun bisa masuk diskotek! Sendirian pula!). Belum lagi dandanan Dion yang mirip cewek dewasa. Ya, kemana-mana Dion pakai baju tank top—suatu kali lengkap dengan buntelan payudara palsu. Puncaknya, di pesta ultahnya, Dion pakai gaun putih yang hanya pantas dipakai wanita berusia di atas 20-an tahun. Oke, boleh-boleh saja anak kecil pakai baju orang dewasa, tapi tentunya ada kecanggungan saat seorang anak-anak memakai baju yang tak biasa dipakainya sehari-hari. Hal ini yang luput dari penceritaan sutradaranya, Widy Wijaya (biasa menggarap sinetron macam Inikah Rasanya) dan penulis skenario, Aviv Elham.

Maka, I Love You, Om tak lebih dari pameran “kegilaan” cinta seorang anak kecil pada om-om, tanpa muatan psikis yang kompleks. Tak ada tuh pergolakan batin yang dirasakan Dion. Pun tak ada pergolakan batin yang dirasakan Gaza, yang ternyata, diam-diam punya perasaan pada Dion. Oh, andai bagian ini bisa digarap lebih baik. Sayang beribu sayang, bagian tak biasa ini hasilnya malah jadi mirip sinetron. Yang terekspos berlebihan justru bagian hidup yang lain: Gaza dikejar Nayla (Karenina dalam tampilan yang mengganggu), mantan pacarnya yang memacari cewek lesbian demi uang. Duh, bagian yang tak penting ini sungguh mengganggu konsentrasi menonton. Rasanya, tokoh itu dihilangkan pun tak apa-apa. Lalu, komedi yang coba dibangun lewat teman sepermainan Dion yang menaruh hati malah makin menegaskan aroma sinetron dari film ini. Dengan semua cacat cela itu, walhasil, I Love You Om tak lebih dari film yang punya tema tak biasa, dengan hasil akhir biasa-biasa saja. ***

No comments: