Catatan Perfilman Nasional 2006
Masih Lebih Untung Bikin Film Horor dan Remaja
Oleh Ade Irwansyah
Bagaimana kita menggambarkan film Indonesia tahun ini dengan sebuah perlambang? Sesosok kuntilanak berkaki kuda? Anak kelas 6 SD pacaran dengan om-om? Anak Papua mendamba sekolah? Para pria berpoligami? Atau pula, seekor ayam sebagai maskot? Antara gaya hidup rock n' roll atau jadi jomblo? Itulah di antara keriuhan yang kita rasakan di bioskop setahun terakhir. Ya, boleh dibilang dari sekitar 32 film yang beredar tahun ini, tema yang hadir beda. Memang sih, kalau mau dihitung-hitung masih didominasi film horor dan percintaan remaja. Membuat film jenis itu terbukti lebih mendatangkan untung dibanding membuat jenis lain.
Kami tak sekadar asal ngecap, tapi angka yang bicara. Menurut data yang diperoleh dari sebuah sumber yang dekat jaringan bioskop 21, film paling laris tahun ini diraih Heart (produksi Starvision) dengan total penonton 1,3 juta orang. Diikuti Kuntilanak (Multivision Plus Pictures) dengan angka 1,2 juta penonton. Lalu ada Rumah Pondok Indah (Indika): 750 ribu penonton, Hantu Jeruk Purut dan Hantu Bangku Kosong dengan angka seri: 700 ribu penonton. Kemudian ada Jomblo (SinemArt): 600 ribu penonton.
Tanpa perlu memetakannya lebih rinci, cukup melihat judulnya saja, Anda tahu film-film di atas bergenre apa: Horor (Kuntilanak, Rumah Pondok Indah, Hantu Jeruk Purut, dan Hantu Bangku Kosong) dan percintaan remaja (Heart dan Jomblo).
Lalu, masih adakah tempat buat genre lain? Oh, masih. Begini, sineas nasional rasanya sadar betul kalau penonton nasional paling suka menonton film horor dan percintaan remaja. Ini tak bisa dipungkiri, mengingat mayoritas penonton bioskop berusia ABG. Bioskop pun paling banyak menempel di mal, pusat ABG beraktifitas. Nah, kondisi ini dihadapi para pembuat film dengan 2 strategi: ikut selera pasar atau membuat alternatif tontonan.
Yang ikut selera pasar membuat film horor dan remaja. Maka, hadirlah Lentera Merah, Rantai Bumi, KM 14, dan Dunia Lain: The Movie (horor); serta Gue Kapok Jatuh Cinta, D'Girlz Begins, Realita Cinta dan Rock 'n Roll, atau Cewek Matrepolis (percintaan remaja). Yang memilih memberi tontonan alternatif menyuguhi kita dengan 9 Naga, Berbagi Suami, Ekspedisi Madewa, Ruang, Maskot, Koper, I Love You, Om, hingga Denias: Senandung di Atas Awan.
Pilihan strategi itu menghasilkan dua hal: berhasil dan gagal total. Ukuran berhasil pun sangat relatif. Tergantung bagaimana mengartikannya. Bila ukurannya uang alias keuntungan finansial terbukti beberapa film bertema alternartif-di luar horor dan percintaan remaja-terbukti mencuri perhatian. Bila menyebut contoh, Berbagi Suami (Kalyana Shira Film, sutr. Nia Dinata) yang mengangkat tema poligami mampu menyedot penonton 350 ribu penonton. Sementara itu, Denias (tentang perjuangan anak Papua yang ingin bersekolah) tak kurang sudah ditonton sekitar 200 ribu orang. Namun, banyak juga yang flop alias jatuh merugi. Film-film semisal Koper dan 6:30 konon ditonton kurang dari 5 ribuan penonton.
Duh, hingga kiamat nanti rasanya biaya pembuatan film itu takkan pernah balik modal. Sebab, menurut hitung-hitungan film nasional bisa dikatakan BEP (break event point) kalau tak kurang ditonton 300 ribu penonton. Hitungan persisnya, jika rata-rata dari setiap karcis bioskop produser film dapat 7 ribu rupiah, setidaknya sebuah film harus menghasilkan lebih dari 2 miliar rupiah baru dibilang BEP. Ini angka konservatif paling rendah, mengingat rata-rata film nasional jaman sekarang dibuat dengan biaya 3 miliar rupiah -- film tertentu malah dibuat dengan bujet 7 miliar rupiah.
ikut arus atau bikin tontonan alternatif
Sementara itu, beberapa film bertema di luar horor dan percintaan remaja dapat perhatian festival film baik di dalam maupun luar negeri. Berbagi Suami dapat penghargaan film panjang terbaik di ajang Hawaii International Film Festival (HIFF) 2006. Sementara Denias jadi kuda hitam di Festival Film Indonesia 2006 dan meraih film terbaik di ajang sesi kompetisi Jakarta International Film Festival (Jiffest) 2006. Artinya, kendati filmnya tak selaris film horor atau remaja, toh dapat sukses lain berupa penghargaan dari festival film.
Masalahnya, tak semua film bernasib baik seperti itu. Tapi, rupanya pula pembuat film nasional kebanyakan belum kapok membuat film. Ini pertanda baik di satu sisi, tapi bisa jadi bumerang di sisi lain. Kegairahan membuat film kebanyakan berujung pada kelatahan dari para sineas. Perhatikan, para pembuat film tahun ini banyak dari kalangan pemain baru, entah sutradaranya maupun produsernya. Seorang paranormal seperti Ki Kusumo sampai terpikir membuat film yang ia produksi sekaligus bintangi sendiri, Rantai Bumi. Lalu, perusahaan pembalut wanita sampai melihat film berpotensi meningkatkan penjualan dan imej perusahaan lewat D'Girlz Begins. Terus, seorang novelis dan pemilik kios buku sampai menjual sejumlah kios bukunya untuk menambah modal bikin film.
merugi karena tak banyak ditonton
Pertanyaannya, mengapa film-film itu merugi? Jawabnya sederhana saja, filmnya tak ditonton banyak orang. Lalu, muncul pertanyaan lain lagi, kenapa pula filmnya tak ditonton? Ya, karena kebanyakan orang malas meluangkan waktu, menyisihkan uang untuk menonton filmnya. Jika mau dicari sebabnya film nasional yang beredar tahun ini banyak sekali kelemahannya. Persoalannya bukan pada menentukan apakah menyuguhi tontonan yang ikut arus (horor dan remaja) atau bikin tontonan alternatif. Melainkan pada seberapa lancar sang sineas bertutur pada penontonnya. Nah, ini yang jumlahnya jarang. Jika menilik catatan Komite Seleksi FFI 2006 setelah memilih 10 film yang layak ikut kompetisi, film Indonesia tahun ini "banyak memiliki kelemahan dramaturgi, yang berhubungan dengan keruntutan, ketajaman, ketaat-asasan cara berpikir. Ada sikap asal-asalan menyangkut hubungan sebab-akibat. Pahitnya lagi, para sineas dinilai kurang serius menggeluti logika internal film."
Hmmm, kalimat di atas terasa berat buat dimengerti? Begini saja, biar kami jelaskan lewat contoh. Saat seorang anak 12 tahun cinta mati pada om-om (lihat I Love You, Om...) hingga mengejarnya sampai ke diskotek dan pakai baju tank top segala namanya mendramatisir, bukan lagi dramaturgi. Apalagi sebelumnya tak dijelaskan betapa canggungnya anak kecil itu. Lalu, kalau tiba-tiba seorang perempuan yang diceritakan mabuk hingga tak sadar, lalu sekonyong-konyong bangun cuma buat bilang, "Eh, bocor, tuh," (lihat D'Girlz Begins) itu namanya nggak logis. Pun demikian dengan orang yang mestinya mati tapi di kamera masih kelihatan bernafas (lihat KM 14).
Belum lagi kalau melihat sejumlah film yang sejatinya tak layak masuk bioskop. Film-film itu cuma layarnya saja yang lebar, tapi kualitasnya tak lebih bagus ketimbang sinetron. Padahal bioskop dan teve dua medium berbeda. Sinetron bisa ditonton gratis di teve, tak perlu pergi ke mal, bayar parkir, hingga membeli tiket.
Melihat masih rendahnya minat menonton, produser berpikir keras buat dapat dana segar agar tak terlalu merugi. Solusinya, mereka menjual hak siar filmnya ke stasiun teve. Konon, harga jualnya mengiurkan. Makin baru, filmnya makin dihargai lebih mahal. Konon harga jualnya antara 300-500 juta rupiah per film. Coba perhatikan, ada berapa film nasional yang edar tahun ini juga sudah diputar di teve? Kami mencatat Jomblo, Rumah Pondok Indah, D'Girlz Begins, Realita Cinta dan Rock 'n Roll, dan Jatuh Cinta Lagi. Khusus menyambut tahun baru, stasiun teve seolah berlomba paling duluan menyiarkan film bioskop terbaru. Maka, kita bisa menonton gratis Heart dan Ekspedisi Madewa tanpa susah-susah ke bioskop.
Langkah taktis macam ini bukannya tanpa risiko. Sebab, lama-lama bisa timbul pkiran dari benak banyak orang, "Buat apa pergi ke bioskop nonton film nasional, kalau tak lama lagi bisa menontonnya gratis di teve?" Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tak mungkin kelesuan bakal lagi melanda gairah para sineas membuat film.
Semoga saja hal itu tak terjadi. Sebab, boleh dikatakan industri film tanah air belumlah layak dikatakan sudah benar-benar bangkit dari keterpurukannya. Produksi film nasional masih di kisaran 30-40 film per tahun. Padahal pada 1970-an dan 1980-an lampau jumlahnya rata-rata bisa 100 judul film per tahun. Maka, jika para sineas sudah malas membuat film, produksi film dipastikan melorot.
Kalau mau dicari solusi, semuanya berpulang lagi pada awal para sineas membuat film. Bisa dipastikan, awal para pembuat film bukanlah semata idealisme ingin membangkitkan perfilman tanah air, melainkan uang alias dapat untung. Para produser film macam ini dipastikan kapok bikin film lagi bila film buatannya jeblok di pasaran. Untuk produser macam ini kita tak perlu merasa tak enak hati. Kita, penonton, layak dapat suguhan berkualitas saat bertandang ke bioskop. Kalau mereka bikin film buruk, mending ke laut saja. Biar ditonton ubur-ubur dan ikan.
Dimuat BINTANG INDONESIA, No.818, TH-XVI, MINGGU KEEMPAT DESEMBER 2006,
Sunday, January 28, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment