Mengapa 5 film berikut ini layak ditonton?
Oleh Ade Irwansyah
Tahu tidak, selama setahun terakhir film Indonesia tak pernah luput ditulis tabloid ini. Dan, hore! Mumpung di saat akhir tahun begini bolehlah saatnya bagi kami menentukan film-film apa saja yang kami sebut layak tonton sepanjang tahun ini. Kami mencatat, kebanyakan film yang beredar masih jauh untuk disebut bagus. Pekan film Indonesia tak lepas dari cacat cela. Ada yang skenarionya bagus, tapi lemah dalam teknik penggarapan. Ada yang teknik sinematografinya bagus, tapi ceritanya seadanya. Kendati begitu, kami tak mau pesimis dan bilang film nasional rilisan 2006 buruk semua. Ada saatnya kok kala kami ke bioskop seolah menemukan mutiara di antara lautan lepas yang kusam dan kotor. Di bioskop kami tertawa segar, dan sepulangnya tersenyum puas, sambil pikiran penuh kenyamanan. Inilah dia 5 mutiara itu yang membuat kami percaya kalau film Indonesia masih punya harapan untuk dapat tempat layak di bioskop. ***
1. Opera Jawa
Produksi: Karya Set Film
Sutradara: Garin Nugroho
Pemain: Artika Sari Devi, Martinus Miruto, Eko Supriyanto
Sekali lagi, Garin Nugroho membuktikan diri sebagai sineas paling berbakat yang dipunyai negeri ini. Untuk ukuran zaman sekarang, tak ada sutradara yang punya reputasi dan nama besar seperti dimiliki Garin. Namanya harum di luar negeri lewat berbagai penghargaan yang ia koleksi. Masalahnya, film buatan Garin lebih sering susah dimengerti penonton di negerinya sendiri. "Mau omong apa sampeyan, Mas Garin?" demikian sebuah artikel di koran terkemuka negeri ini menggugat film-film Garin yang tak komunikatif dengan penonton.
Tapi, itu rasanya masa lalu. Garin membuktikan diri belajar dari kritikan yang menderanya. Hasilnya, jadilah Opera Jawa. Film ini layak disebut istimewa lantaran dua hal: Pertama, Garin tak perlu mundur, seolah menurut pada kritikan untuk membuat film yang bebas dari bahasa visual penuh simbol. Lewat Opera Jawa, ia tetap seorang Garin yang lebih nyaman bercerita lewat bahasa gambar. Kedua, gambar-gambar simbolis yang Garin suguhkan lebih mudah dimengerti penonton awam, tanpa penonton yang sok tahu seni merasa terlalu diremehkan. Artinya, Garin berhasil mempertemukan dua entitas pecinta filmyang berada di dua kutub berbeda, pecinta film seni dan penyuka film ringan yang bercerita linear, tak mau dibuat pusing ketika menonton film.
Film ini juga layak kami sebut film terbaik tahun ini lantaran pencapaian teknik penggarapan yang dilakukan Garin, para kru dan semua pemainnya. Film ini berhasil memberi tontonan memukau. Garin mengaduk-aduk hampir semua elemen kesenian dalam satu medium seni, film. Ada tari-tarian tradisional berikut tembang Jawa, ada tari kontemporer, ada seni instalasi, ada seni patung, hingga wayang. Tambahan lagi, film disajikan layaknya sebuah opera (berdialog lewat nyanyi dan tari) dalam bahasa Jawa. Tapi itu semua bukan hadir untuk sok nyentrik, sebab Garin tak lupa menyuguhkan elemen penting yang mesti ada di sebuah film: konflik. Konflik para tokohnya (tentang cinta, kesetiaan, ketidakadilan) sudah begitu kita akrabi. Jadi, bayangkan Anda tengah menonton film Phantom of the Opera tapi dengan pengantar bahasa Jawa. ***
2. Berbagi Suami
Produksi: Kalyana Shira Film
Sutradara: Nia Dinata
Pemain: Jajang C. Noer, Shanty, Dominique, El Manik, Lukman Sardi
Nia Dinata memang paling jago menggarap film bertema sosial. Setelah berhasil menyorot kehidupan hipokrit kalangan jetset lewat Arisan! (2004), ia menyoroti sebuah fenomena yang ada di masyarakat, poligami. Selama 1,5 tahun Nia gigih meriset layaknya seorang peneliti. Dan hasilnya sungguh suguhan yang menyegarkan. Nia tak membuat tema besar ini jadi lebih berat. Ia menguliknya jadi komei satir, mengajak kita tertawa getir lalu kemudian memikirkannya dalam-dalam.
Nah, dengan cara begitu niat Nia menyampakan pesan lewat filmnya dijamin bakal lebih kena ke penonton. Selain itu, film Nia bebas nilai. Ia bertindak layaknya seorang jurnalis melaporkan berita, tak memihak, hanya menyuguhkan fakta. Hal ini konon yang membuat filmnya tak masuk hitungan nominator film terbaik FFI tahun ini. Juri seleksi FFI menganggap film garapan Nia tak diimbuhi pesan moral.
Kami bukannya tak peduli pada urusan pesan moral. Tapi, menurut kami pesan moral tak perlu disampaikan secara verbal ke depan penonton. Pilihan bebas nilai yang disajikan Nia justru membuatnya punya nilai lebih di mata kami. Nia tak ingin menggurui. Ia cukup memberi penjelasan pada kita atas nasib 3 wanita yang jadi korban poligami, Salma (Jajang C. Noer), Siti (Shanty), dan Ming (Dominique). Nia menganggap kita, penonton, sudah dewasa. Untuk itu kami layak menghargainya. ***
3. Denias: Senandung di Atas Awan
Produksi: Alinia Pictures
Sutradara: John De Rantau
Pemain: Albert Fakdawer, Marcella Zalianty, Ari Sihasale, Minus Karoba
Denias: Senandung di Atas Awan adalah sebuah kejutan menyegarkan di akhir tahun buat kami. Menonton film ini seolah menemukan oase di padang pasir. Setelah kehausan lantaran lelah menonton film-film tak layak tonton, dahaga kami seakan hilang begitu nonton Denias. Kami tertawa segar di bioskop-terutama saat tokoh Enos (Minus Karoba) muncul. Tapi, filmnya sendiri berisi pesan moral yang amat baik: betapa pentingnya sebuah pendidikan. "Kalau kau pintar, gunung pun akan takut padamu," begitu ibu Denias berpesan.
Bagi penonton kota yang serba diberi kemudahan, menonton Denias memberi arti tersendiri. Tenyata, buat orang di pedalaman begitu sulit mendapat pendidikan yang layak. Tapi, mereka tak putus asa. Justru menghadapinya dengan bersahaja (lengkap dengan keluguan khasnya), sambil terus berjuang meraih cita-cita. Selain itu, film ini patut diberi kredit lebih lantaran menyuguhkan panorama indah alam Papua yang jarang disentuh sineas tanah air. Inilah film yang dpersembahkan orang Papua bagi kita, saudara mereka yang jarang bertemu, apalagi peduli. ***
4. Maskot
Produksi: Random Pictures
Sutradara: Robin Moran
Pemain: Ariyo Wahab, El Manik, Butet Kertaradjasa
Maskot adalah film bagus yang tak diketahui banyak orang. Masa edarnya di bioskop begitu singkat. Saat filmnya beredar, dan diberi review bagus di berbagai media, plus promosi dari mulut ke mulut, banyak orang yang baru punya niatan menonton mesti kecewa lantaran filmnya sudah tak edar lagi. Padahal, mestinya film ini dapat tempat yang layak dibanding puluhan film yang dipromosikan jor-joran, tapi kualitasnya diragukan.
Di mata kami (ya, beruntung kami sempat menontonnya!) Maskot punya tempat tersendiri. Ide ceritanya segar (apa yang lebih jenius dari ide cerita mencari maskot perusahaan berwujud ayam jago?), skenarionya jempolan (ada kalimat yang begitu kami ingat, "Carilah ayam di sebuah lembah di antara dua gunung kembar, dekat sungai berwarna hitam tempat bidadari mandi yang mengalir ke seribu anak sungai."), plus akting menawan nan mencuri perhatian (kami terpukau setiap kali melihat akting Butet atau Epi Kusnandar, pemeran Sapari). Inilah film yang tak coba jadi besar dengan mengangkat tema-tema berat, tapi hasilnya malah ringan mirip bulu ayam. Film ini sekadar hadir untuk bercerita. Tidak lebih. Dan kesegaran humornya seolah bonus yang amat berharga saat kami mendapatkannya. ***
5. Jomblo
Produksi: SinemArt
Sutradara: Hanung Bramantyo
Pemain: Ringgo Agus Rahman, Christian Sugiono, Dennis Adishwara, Rizky Hanggono
Penonton Jomblo terbagi dalam dua kubu. Ada yang membenci filmnya, menganggapnya menjijikkan, tak berkelas. Tapi ada pula yang menyukainya, tertawa segar oleh suguhan komedinya, dan merasa puas melihat kisah romantisnya. Maaf sebelumnya, kami termasuk golongan orang yang suka saat menonton film ini. Memang, kami akui kalau pada beberapa bagian filmnya menjijikkan (saat Dennis menggaruk-garuk kemaluannya, misalnya), atau akting Rizky yang kaku membuat film ini punya nilai minus. Tapi, apa hendak dikata, kami tertawa segar saat menontonnya. Lalu, kami juga terharu biru melihat kisah cinta segitiga antara Agus (Ringgo) dengan Rita (Richa Novisha) dan Lani (Nadia Shapira). Atau pada kisah tragis nan dramatis antara Doni (Christian) dengan Olip (Rizky) yang mendamba cinta Asri (Rianti Cartwright).
Menonton Jomblo, penonton seolah diajak menyelami masa-masa indah saat kuliah dulu. Saat persahabatan mesti diuji oleh cinta pada lawan jenis. Film ini pun diakhiri dengan manis. Filmnya tak menggiring pada kita untuk lebih memilih mana, sahabat atau cinta. Tapi, menyuguhkan kita untuk jadi dewasa atas setiap keputusan yang diambil. Film ini mengajarkan kita jadi dewasa, dan karenanya mendapat tempat yang layak di hati kami. ***
Dimuat BINTANG INDONESIA, No.818, TH-XVI, MINGGU KEEMPAT DESEMBER 2006.