Mendadak Dangdut
Suguhan Menghibur dari Rudi Soedjarwo
Oleh Ade Irwansyah
tersebutlah Petris (Titi Kamal), seorang penyanyi pop terkenal. Ia dikagumi bukan hanya karena suara merdunya, tapi juga lirik-lirik penuh makna yang ia ciptakan. Kendati pintar, Petris sombong bukan main. Ia mempekerjakan kakaknya, Yulia (Kinaryosih), sebagai manajer. Petris memperlakukan kakaknya bak seorang babu yang bisa seenaknya disuruh-suruh.
Suatu kali, usai memperlihatkan sikap menyebalkan lewat sebuah wawancara radio, Yulia mengambil jalan pintas menuju rumahnya. Sial, rupanya polisi sedang merazia. Sialnya lagi, pacar Yulia, Gerry yang semobil bareng mereka, membawa narkoba. Sebelum disatroni polisi, Gerry kabur. Tak ayal lagi Petris dan Yulia jadi tersangka pemilik narkoba itu. Keduanya digiring ke kantor polisi.
Lantaran ngeri pada ancaman hukuman mati buat pemilik narkoba, Petris dan Yulia nekat kabur. Keduanya terdampar di sebuah perkampungan di pinggiran Jakarta. Tak ada yang mengenali Petris sebagai penyanyi pop ternama. Petris heran. Yulia cuma berujar pendek, “Nggak semua orang nonton MTV.”
Oke, nggak semua orang menonton MTV. Tapi, rasanya semua orang menonton infotainment. Walau tak pernah melihat video klip seorang artis, tak mungkin mereka tak pernah melihat seorang artis ternama muncul di infotainment.
Hmmm, jadi film ini dimulai oleh sesuatu yang kelogisannya diragukan. Tapi, jangan mengernyit atau mencibir dulu. Makin diikuti, film ini lumayan menghibur. Petris dan Yulia bergabung dengan sebuah grup organ tunggal bernama Senandung Citayam, pimpinan Rizal (Dwi Sasono). Biar tak terlacak polisi, Yulia mengganti nama Petris jadi Iis. Petris jadi penyanyi dangdut grup organ tunggal itu. Belajar dangdut rupanya tak mudah. Petris susah menimbulkan cengkok dangdut. Asal tahu saja, setelah belajar berkali-kali, Petris (baca Titi Kamal) masih belum kelihatan punya cengkok dangdut yang mantap. Ya, suara Titi belum dangdut banget. Tapi, sekali lagi, ini bukan film yang mengandalkan aktornya mesti sempurna bernyanyi dangdut. Titi dimaafkan.
Syahdan, Petris yang kemudian punya nama beken Iis Maduma jadi idola dangdut di pinggiran Jakarta. Tidak ada yang mengenalinya, walaupun berita soal Petris muncul di banyak tabloid. Hmmm, rupanya tak ada orang kampung yang baca tabloid. Duh, sedemikian parahkah tingkat melek huruf orang Indonesia? Tabloid, alih-alih dibaca, malah diubah jadi kapal mainan dari kertas.
Oke, satu lagi kekuranglogisan di film ini. Tapi, jangan mengernyit dulu. Kita disuguhi kalau Petris yang sukanya main suruh-suruh, bergaya bossy, lantas tersadar kalau orang lain yang selama ini membantunya amat berarti. Petris yang acuh tak acuh jadi perasa. Lewat rangkaian gambar yang disuguhi Rudi dan dialog khas film-film Hollywood yang ditulis Monty Tiwa, Anda diajak tertawa sekaligus menangis. Rudi dan Monty menutup filmnya dengan hal melankolis. Petris menyerahkan diri ke polisi. Gambar disyut Rudi dengan gaya mirip filmnya terdahulu, Mengejar Matahari dan 9 Naga. Agak berlebihan, sih. Tapi, sekali lagi, jangan mengernyit dulu. Sungguh, film ini menghibur. Segala ketaklogisan filmnya, maupun akting kaku polisi di awal cerita (ini jadi catatan tambahan buat sineas sini: jangan merekrut polisi sungguhan main film. Mereka selalu tampil kaku dan merusak film) bisa dimaafkan. ***
Dimuat Tabloid BINTANG INDONESIA edisi 798.
Friday, August 11, 2006
Thursday, June 01, 2006
Resensi "Rantai Bumi"
Rantai Bumi
Kala Paranormal Jadi Produser (dan Main) Film
Oleh Ade Irwansyah
Dalam hierarki produksi sebuah film, produser pegang peran kunci. Tanpa produser, mustahil sebuah film diproduksi. Ya, walau punya naskah skenario yahud, sudah ada sutradara beken mau menyutradarai, plus sudah mengasting aktor keren, film bisa tidak jadi dibuat jika tak ada produser yang mau mengucurkan uang. Lantaran sudah mengeluarkan uang banyak, produser merasa perlu tahu bagaimana uangnya digunakan. Itu yang dilakukan Jerry Bruckheimer, sang produser kondang dari Hollywood sana. Ia dikenal sebagai produser yang suka wara-wiri di lokasi syuting merecoki kerja sutradara. Ia begitu percaya diri menaruh kata-kata "a Jerry Bruckheimer production" di setiap film yang diproduserinya.
Di Indonesia sini langkah Jerry nampaknya ditiru Ki Kusumo, seorang paranormal. Sebagai anak bangsa, Ki Kusumo terpanggil memajukan perfilman tanah air. Ia rela merogoh koceknya demi memproduksi sebuah film. Judulnya, Rantai Bumi. Memang, Ki Kusumo tak seperti Jerry menaruh namanya besar-besar. Namun, dari nama rumah produksi yang tercantum (Putra Kusuma Production), jelas-jelas Ki Kusumo pemiliknya.
Nah, beda dengan Jerry Bruckheimer yang cuma mengucurkan uang dan merecoki lokasi syuting, Ki Kusumo bertindak lebih jauh. Ia jadi bintang utama film yang diproduserinya. Nggak cukup sampai situ, ia menuntut poster film memajang wajahnya paling besar di banding pemain lain (Duh, Ki Kusumo pasti berpikir wajahnya setampan Tom Cruise). Sah-sah saja, sih. Toh, itu semua uangnya sendiri.
Sebagai paranormal, Ki Kusumo tentu mengangkat realitas yang paling dekat dengannya: dunia mistik. Di filmnya, ia mengasting dirinya jadi paranormal. Rantai Bumi (disutradarai Purnomo Chakil) jelas-jelas film yang diperuntukkan bagi Ki Kusumo seorang. Ia digambarkan sebagai paranormal bernama Adhi Kusuma (Duh, apa nggak terpikir nama lain?) yang bisa menyembuhkan orang kerasukan hingga menggagalkan aksi teroris. Adhi digambarkan nyaris sempurna (termasuk men-dubbing suaranya biar terdengar lebih bagus). Selain sakti mandraguna, Adhi juga religius. Ia paranormal yang taat beribadah. Dalam film, ada 2 adegan Adhi sholat—pertama di kamar, kedua di atas kolam renang (Duh, apa nggak ada tempat lain untuk sholat?).
Kisahnya seputar mitos jimat sakti bernama Rantai Bumi. Dengan jimat itu: "Aku bisa menguasai dunia," kata Hans (Toro Margens sekali lagi berakting berlebihan), gembong mafia yang ingin memilikinya. Hans terkesan pada kesaktian Rantai Bumi setelah melihat aksi Ki Guntur Sewu (Marcellino) meledakkan sebuah mal. Pada penasihat spiritualnya, Ki Lodaya Sakti (Brata Santosa), Hans memberi perintah untuk meraih jimat itu.
Sayang, cerita lalu ngawur, Lodaya malah membangkitkan mayat dan mengubahnya jadi wanita cantik untuk diajak berdansa-dansi. Ki Guntur Sewu sekali lagi ingin meledakkan mal dengan bom. Beruntung, Adhi berhasil menggagalkannya. Adhi lantas terlibat pertarungan dengan Ki Guntur Sewu. Lodaya juga ikut. Saat itulah muncul tokoh lain Ki Sabdo (Dart Budiman) entah dari mana. Ki Sabdo ini datang dari masa lampau untuk menjemput kekasihnya yang bereinkarnasi pada sosok Maya (Kiki Amalia), istri Hans. Keempat orang sakti itu saling bertarung, hingga mengguncang angkasa. Siapa yang akhirnya mendapat jimat Rantai Bumi itu, mesti Anda cari sendiri jawabnya.
Namun, jangan lelah bila susah mengikuti alur ceritanya. Entah sengaja atau tidak, kisahnya dibuat membingungkan. Penonton tak pernah dijelaskan secara rinci apa itu jimat Rantai Bumi. Hans yang dibilang mafia, tak pernah dijelaskan apa bisnis kejahatannya. Maya, istri Hans, bisa tiba-tiba kecantol Lodaya. Ki Guntur, Lodaya, dan Ki Sabdo berpakaian a la Keanu Reeves di film The Matrix. Padahal, mereka dikisahkan dari masa lalu. Rasanya, baju model pendekar silat lebih cocok dengan cerita. Lalu, buat menarik perhatian, film ini mesti pula menyodorkan adegan panas (Ada siluet cewek berganti pakaian dan beberapa lainnya). Sayang, yang tersaji serba nanggung.
Nampaknya, Ki Kusumo tak ambil pusing soal cerita dan ketaklogisan filmnya. Buat dia, mungkin, yang penting film itu memberi citra baik bagi dirinya. Untuk satu hal ini ia berhasil. Ki Kusumo digambarkan nyaris sempurna sendirian. ***
Kala Paranormal Jadi Produser (dan Main) Film
Oleh Ade Irwansyah
Dalam hierarki produksi sebuah film, produser pegang peran kunci. Tanpa produser, mustahil sebuah film diproduksi. Ya, walau punya naskah skenario yahud, sudah ada sutradara beken mau menyutradarai, plus sudah mengasting aktor keren, film bisa tidak jadi dibuat jika tak ada produser yang mau mengucurkan uang. Lantaran sudah mengeluarkan uang banyak, produser merasa perlu tahu bagaimana uangnya digunakan. Itu yang dilakukan Jerry Bruckheimer, sang produser kondang dari Hollywood sana. Ia dikenal sebagai produser yang suka wara-wiri di lokasi syuting merecoki kerja sutradara. Ia begitu percaya diri menaruh kata-kata "a Jerry Bruckheimer production" di setiap film yang diproduserinya.
Di Indonesia sini langkah Jerry nampaknya ditiru Ki Kusumo, seorang paranormal. Sebagai anak bangsa, Ki Kusumo terpanggil memajukan perfilman tanah air. Ia rela merogoh koceknya demi memproduksi sebuah film. Judulnya, Rantai Bumi. Memang, Ki Kusumo tak seperti Jerry menaruh namanya besar-besar. Namun, dari nama rumah produksi yang tercantum (Putra Kusuma Production), jelas-jelas Ki Kusumo pemiliknya.
Nah, beda dengan Jerry Bruckheimer yang cuma mengucurkan uang dan merecoki lokasi syuting, Ki Kusumo bertindak lebih jauh. Ia jadi bintang utama film yang diproduserinya. Nggak cukup sampai situ, ia menuntut poster film memajang wajahnya paling besar di banding pemain lain (Duh, Ki Kusumo pasti berpikir wajahnya setampan Tom Cruise). Sah-sah saja, sih. Toh, itu semua uangnya sendiri.
Sebagai paranormal, Ki Kusumo tentu mengangkat realitas yang paling dekat dengannya: dunia mistik. Di filmnya, ia mengasting dirinya jadi paranormal. Rantai Bumi (disutradarai Purnomo Chakil) jelas-jelas film yang diperuntukkan bagi Ki Kusumo seorang. Ia digambarkan sebagai paranormal bernama Adhi Kusuma (Duh, apa nggak terpikir nama lain?) yang bisa menyembuhkan orang kerasukan hingga menggagalkan aksi teroris. Adhi digambarkan nyaris sempurna (termasuk men-dubbing suaranya biar terdengar lebih bagus). Selain sakti mandraguna, Adhi juga religius. Ia paranormal yang taat beribadah. Dalam film, ada 2 adegan Adhi sholat—pertama di kamar, kedua di atas kolam renang (Duh, apa nggak ada tempat lain untuk sholat?).
Kisahnya seputar mitos jimat sakti bernama Rantai Bumi. Dengan jimat itu: "Aku bisa menguasai dunia," kata Hans (Toro Margens sekali lagi berakting berlebihan), gembong mafia yang ingin memilikinya. Hans terkesan pada kesaktian Rantai Bumi setelah melihat aksi Ki Guntur Sewu (Marcellino) meledakkan sebuah mal. Pada penasihat spiritualnya, Ki Lodaya Sakti (Brata Santosa), Hans memberi perintah untuk meraih jimat itu.
Sayang, cerita lalu ngawur, Lodaya malah membangkitkan mayat dan mengubahnya jadi wanita cantik untuk diajak berdansa-dansi. Ki Guntur Sewu sekali lagi ingin meledakkan mal dengan bom. Beruntung, Adhi berhasil menggagalkannya. Adhi lantas terlibat pertarungan dengan Ki Guntur Sewu. Lodaya juga ikut. Saat itulah muncul tokoh lain Ki Sabdo (Dart Budiman) entah dari mana. Ki Sabdo ini datang dari masa lampau untuk menjemput kekasihnya yang bereinkarnasi pada sosok Maya (Kiki Amalia), istri Hans. Keempat orang sakti itu saling bertarung, hingga mengguncang angkasa. Siapa yang akhirnya mendapat jimat Rantai Bumi itu, mesti Anda cari sendiri jawabnya.
Namun, jangan lelah bila susah mengikuti alur ceritanya. Entah sengaja atau tidak, kisahnya dibuat membingungkan. Penonton tak pernah dijelaskan secara rinci apa itu jimat Rantai Bumi. Hans yang dibilang mafia, tak pernah dijelaskan apa bisnis kejahatannya. Maya, istri Hans, bisa tiba-tiba kecantol Lodaya. Ki Guntur, Lodaya, dan Ki Sabdo berpakaian a la Keanu Reeves di film The Matrix. Padahal, mereka dikisahkan dari masa lalu. Rasanya, baju model pendekar silat lebih cocok dengan cerita. Lalu, buat menarik perhatian, film ini mesti pula menyodorkan adegan panas (Ada siluet cewek berganti pakaian dan beberapa lainnya). Sayang, yang tersaji serba nanggung.
Nampaknya, Ki Kusumo tak ambil pusing soal cerita dan ketaklogisan filmnya. Buat dia, mungkin, yang penting film itu memberi citra baik bagi dirinya. Untuk satu hal ini ia berhasil. Ki Kusumo digambarkan nyaris sempurna sendirian. ***
Sunday, May 28, 2006
Artikel film soal Cannes
Film Indonesia di Ajang Festival Film Cannes 2006
Oleh Ade Irwansyah
Cannes, sebuah kota wisata pantai di Prancis selatan, 1988. Chen Kaige, sutradara pembaharu dari China, datang bersama filmnya, King of the Children yang masuk kompetisi ke Festival Film Cannes (biasa disingkat Cannes saja) tahun itu. Chen kalah. “Saya tak tahu apa pun tentang festival ini. Saya pikir bakal menang Palem Emas, tapi tidak. Dan itu membuat saya kecewa,” katanya. Namun demikian, Chen takkan melupakan momen pertamanya di Cannes itu. “Saya kagum atas perlakuan festival ini pada pembuat film—maksudnya, orang film benar-benar dapat perlakuan istimewa pakai karpet merah segala. Dan yang agak lucu saat saya, mengenakan tuksedo, duduk di depan bendera Republik Rakyat China. Saya benar-benar merasa datang mewakili orang China.”
Chen bukan main bangganya bisa datang ke Cannes bersama filmnya yang ikut kompetisi—apalagi pada 1993 Chen memboyong pulang piala utama, Palem Emas, ke China lewat filmnya yang lain, Farewell My Concubine. Festival Film Cannes jadi hajatan besar insan sinema dunia. Kalau insan olahraga punya olimpiade, orang film punya Cannes. Di kota kecil tepi Pantai Riviera itu banyak orang berdatangan dari penjuru dunia. Konon, populasi penduduk kota Cannes membengkak 50 persen saat festival berlangsung medio Mei saban tahun.
Orang Asia sudah berkali- kali membuktikan diri sebagai pembuat film andal di Cannes. Selain Farewell dari China, film-film buata Iran dan Jepang berkali-berkali lolos kompetisi dan beberapa di antaraya, memenangi piala Palem Emas. Tahun ini, lagi-lagi Asia diberi kehormatan di Cannes. Wong Kar Wai, peraih sutradara terbaik di Cannes lewat Happy Together (1997), didaulat jadi ketua dewan juri tahu ini. Selain Wong yang sudah 4 kali memboyong filmnya ke Cannes buat ikut kompetisi, panitia Cannes juga mendapuk Zhang Zi Yi, bintang Memoirs of Geisha asal China, jadi salah satu anggota juri.
Kiprah sineas Indonesia
Lantas, bagaimana kiprah Indonesia di ajang Cannes? Kita boleh berbangga. Pada 2002, seorang anak negeri, Christine Hakim, didapuk jadi salah satu anggota juri Cannes saat itu. Christine duduk satu meja bersama juri lain dari berbagai negara di antaranya, sutradara AS David Lynch yang jadi ketua, bintag Hollywood Sharon Stone, artis Hong Kong kelahiran Malaysia Michelle Yeoh, hingga sutradara Denmark Bille August.
Selain jadi juri, film buatan orang Indonesia juga pernah diundang buat berlaga di Cannes. Tercatat, film besutan Eros Djarot, Tjoet Nja Dhien (1986, dibintangi Christine Hakim) diikutsertakan dalam pekan kritik internasional, sesi yang dikhususkan bagi karya pertama sutradara pada Cannes 1989. Film lain, Daun di Atas Bantal (1997, juga dibintangi Christine) besutan Garin Nugroho, juga diundang ke Cannes. Tahun lalu, Indonesia menyertakan film pendek buatan Edwin, sutradara muda lulusan IKJ, berjudul Kara anak Sebatang Pohon ke ajang Cannes untuk sesi Director’s Fortnight.
Tak susah buat mengirim film ke Cannes. Menurut peraturan di situs resmi Cannes, siapa saja berhak mengikutsertakan filmnya. Asalkan, filmnya dirilis tak kurang dari 12 bula sebelum festival berlangsung, film itu beredar di negara asal, film itu belum pernah ikut kompetisi di ajang festival film internasional lain, film itu belum pernah diputar di Internet. Khusus untuk film pendek, durasinya minimal 15 menit termasuk credit title. Sedangkan untuk film panjang, durasinya minimal 60 menit.
Ikut Festival Film Cannes 2006
Pekan-pekan kemarin tersiar kabar kalau sejumlah film buatan anak negeri diikutsertakan ke ajang Cannes tahun ini. Film-film itu yakni: Belahan Jiwa (2005, Multivisionplus Pictures), Berbagi Suami (2006, Kalyana Shira), dan Heart (2006, Starvision). Menurut Groza, manejer humas Multivision, pihaknya sudah mendaftarkan film Belahan Jiwa ke Cannes sejak 3 bulan lalu. Rencananya, saat festival berlangsung bulan depan, tepatnya 17-28 Mei, bos Multivision Ram J. Punjabii akan bertolak ke Cannes.
Bos Starvision, Chand Parwez, juga sudah medaftarkan filmnya ke Cannes. Selain mengirim buat lolos seleksi resmi, Parwez juga mengirim Heart ke sesi Director’s Fortnight. Kabarnya, walau panitia sudah menutup pengiriman film untuk seleksi pada 21 Maret, namun khusus buat film Heart, panitianya, Laurent Rivoire bersedia memberi kelonggaran sampai 27 Maret. “Mereka terkesan dengan karya kami sebelumnya, Virgin,” kata Parwez. “Mereka cukup surprise ada karya seperti itu dari Indonesia.” Virgin (2004) film yang mengangkat tema pergaulan bebas di kalangan remaja Indonesia disutradarai Hanny R. Saputra. Heart yang diikutsertakan tahun ini juga karya Hanny. Parwez berujar, biaya buat menikutsertakan filmnya tak mahal. “Saya cuma diminta bayar 300 euro,” kataya. Jika dirupiahkan nilainya tak sampai 3,5 juta rupiah.
Sementara itu, pihak Kalyana Shira yang memproduksi Berbagi Suami berterusterang kalau filmnya tak diikutsertakan untuk lolos kompetisi resmi. Namun, seperti diungkap Ade, publicist Kalyana, mengatakan Berbagi Suami diundang khusus kementerian luar negeri Prancis buat dapat sesi pertunjukkan khusus di Cannes. “Diundang begitu saja kami sangat senang,” ujar Ade. “Ini kan festival yang sangat bergengsi.” Ade berujar, sutradara Berbagi Suami Ni Dinata akan berangkat ke Prancis bersama dua bintangnya, Shanty dan Dominique bulan depan.
Pada Kamis, 20 April kemarin, panitia Cannes mengumumkan film-film yang lolos seleksi resmi. Tak ada film dari Indonesia yang lolos seleksi buat dapat kategori utama. Yang lolos antara lain film-film besutan sutradara ternama macam Pedro Almodovar (Volver), Sofia Coppola (Marie-Antoinette), hingga Alejandro Gonzalez Inarritu (Babel). Sekali lagi Indonesia gigit jari. Tapi bukan berarti putus asa. “Target saya masuk kategori film berbahasa asing terbaik ajang Oscar tahun depan,” sesumbar Parwez.
Oleh Ade Irwansyah
Cannes, sebuah kota wisata pantai di Prancis selatan, 1988. Chen Kaige, sutradara pembaharu dari China, datang bersama filmnya, King of the Children yang masuk kompetisi ke Festival Film Cannes (biasa disingkat Cannes saja) tahun itu. Chen kalah. “Saya tak tahu apa pun tentang festival ini. Saya pikir bakal menang Palem Emas, tapi tidak. Dan itu membuat saya kecewa,” katanya. Namun demikian, Chen takkan melupakan momen pertamanya di Cannes itu. “Saya kagum atas perlakuan festival ini pada pembuat film—maksudnya, orang film benar-benar dapat perlakuan istimewa pakai karpet merah segala. Dan yang agak lucu saat saya, mengenakan tuksedo, duduk di depan bendera Republik Rakyat China. Saya benar-benar merasa datang mewakili orang China.”
Chen bukan main bangganya bisa datang ke Cannes bersama filmnya yang ikut kompetisi—apalagi pada 1993 Chen memboyong pulang piala utama, Palem Emas, ke China lewat filmnya yang lain, Farewell My Concubine. Festival Film Cannes jadi hajatan besar insan sinema dunia. Kalau insan olahraga punya olimpiade, orang film punya Cannes. Di kota kecil tepi Pantai Riviera itu banyak orang berdatangan dari penjuru dunia. Konon, populasi penduduk kota Cannes membengkak 50 persen saat festival berlangsung medio Mei saban tahun.
Orang Asia sudah berkali- kali membuktikan diri sebagai pembuat film andal di Cannes. Selain Farewell dari China, film-film buata Iran dan Jepang berkali-berkali lolos kompetisi dan beberapa di antaraya, memenangi piala Palem Emas. Tahun ini, lagi-lagi Asia diberi kehormatan di Cannes. Wong Kar Wai, peraih sutradara terbaik di Cannes lewat Happy Together (1997), didaulat jadi ketua dewan juri tahu ini. Selain Wong yang sudah 4 kali memboyong filmnya ke Cannes buat ikut kompetisi, panitia Cannes juga mendapuk Zhang Zi Yi, bintang Memoirs of Geisha asal China, jadi salah satu anggota juri.
Kiprah sineas Indonesia
Lantas, bagaimana kiprah Indonesia di ajang Cannes? Kita boleh berbangga. Pada 2002, seorang anak negeri, Christine Hakim, didapuk jadi salah satu anggota juri Cannes saat itu. Christine duduk satu meja bersama juri lain dari berbagai negara di antaranya, sutradara AS David Lynch yang jadi ketua, bintag Hollywood Sharon Stone, artis Hong Kong kelahiran Malaysia Michelle Yeoh, hingga sutradara Denmark Bille August.
Selain jadi juri, film buatan orang Indonesia juga pernah diundang buat berlaga di Cannes. Tercatat, film besutan Eros Djarot, Tjoet Nja Dhien (1986, dibintangi Christine Hakim) diikutsertakan dalam pekan kritik internasional, sesi yang dikhususkan bagi karya pertama sutradara pada Cannes 1989. Film lain, Daun di Atas Bantal (1997, juga dibintangi Christine) besutan Garin Nugroho, juga diundang ke Cannes. Tahun lalu, Indonesia menyertakan film pendek buatan Edwin, sutradara muda lulusan IKJ, berjudul Kara anak Sebatang Pohon ke ajang Cannes untuk sesi Director’s Fortnight.
Tak susah buat mengirim film ke Cannes. Menurut peraturan di situs resmi Cannes, siapa saja berhak mengikutsertakan filmnya. Asalkan, filmnya dirilis tak kurang dari 12 bula sebelum festival berlangsung, film itu beredar di negara asal, film itu belum pernah ikut kompetisi di ajang festival film internasional lain, film itu belum pernah diputar di Internet. Khusus untuk film pendek, durasinya minimal 15 menit termasuk credit title. Sedangkan untuk film panjang, durasinya minimal 60 menit.
Ikut Festival Film Cannes 2006
Pekan-pekan kemarin tersiar kabar kalau sejumlah film buatan anak negeri diikutsertakan ke ajang Cannes tahun ini. Film-film itu yakni: Belahan Jiwa (2005, Multivisionplus Pictures), Berbagi Suami (2006, Kalyana Shira), dan Heart (2006, Starvision). Menurut Groza, manejer humas Multivision, pihaknya sudah mendaftarkan film Belahan Jiwa ke Cannes sejak 3 bulan lalu. Rencananya, saat festival berlangsung bulan depan, tepatnya 17-28 Mei, bos Multivision Ram J. Punjabii akan bertolak ke Cannes.
Bos Starvision, Chand Parwez, juga sudah medaftarkan filmnya ke Cannes. Selain mengirim buat lolos seleksi resmi, Parwez juga mengirim Heart ke sesi Director’s Fortnight. Kabarnya, walau panitia sudah menutup pengiriman film untuk seleksi pada 21 Maret, namun khusus buat film Heart, panitianya, Laurent Rivoire bersedia memberi kelonggaran sampai 27 Maret. “Mereka terkesan dengan karya kami sebelumnya, Virgin,” kata Parwez. “Mereka cukup surprise ada karya seperti itu dari Indonesia.” Virgin (2004) film yang mengangkat tema pergaulan bebas di kalangan remaja Indonesia disutradarai Hanny R. Saputra. Heart yang diikutsertakan tahun ini juga karya Hanny. Parwez berujar, biaya buat menikutsertakan filmnya tak mahal. “Saya cuma diminta bayar 300 euro,” kataya. Jika dirupiahkan nilainya tak sampai 3,5 juta rupiah.
Sementara itu, pihak Kalyana Shira yang memproduksi Berbagi Suami berterusterang kalau filmnya tak diikutsertakan untuk lolos kompetisi resmi. Namun, seperti diungkap Ade, publicist Kalyana, mengatakan Berbagi Suami diundang khusus kementerian luar negeri Prancis buat dapat sesi pertunjukkan khusus di Cannes. “Diundang begitu saja kami sangat senang,” ujar Ade. “Ini kan festival yang sangat bergengsi.” Ade berujar, sutradara Berbagi Suami Ni Dinata akan berangkat ke Prancis bersama dua bintangnya, Shanty dan Dominique bulan depan.
Pada Kamis, 20 April kemarin, panitia Cannes mengumumkan film-film yang lolos seleksi resmi. Tak ada film dari Indonesia yang lolos seleksi buat dapat kategori utama. Yang lolos antara lain film-film besutan sutradara ternama macam Pedro Almodovar (Volver), Sofia Coppola (Marie-Antoinette), hingga Alejandro Gonzalez Inarritu (Babel). Sekali lagi Indonesia gigit jari. Tapi bukan berarti putus asa. “Target saya masuk kategori film berbahasa asing terbaik ajang Oscar tahun depan,” sesumbar Parwez.
Resensi "Gue Kapok Jatuh Cinta"
Gue Kapok Jatuh Cinta
Karya Perdana Thomas Nawilis di Bangku Sutradara
Oleh Ade Irwansyah
Pertama, percayalah, jadi sutradara itu tak gampang. Dalam produksi sebuah film, sutradara bak kepala suku, mengatur sana-sini, mengarahkan pemain yang aktingnya sekaku batu biar kelihatan bagus; sampai menentukan seperti apa sudut gambar yang mau diambil. Mulai sekarang, sebaiknya Anda menghargai setiap kerja sutradara. Bagaimanapun hasil kerjanya. Maka, begitu Anda menonton film yang menurut Anda jelek, percayalah, sutradaranya sudah berusaha sekeras mungkin biar filmnya jadi bagus.
Rasanya, sikap menghargai hasil kerja orang lain itu mesti ditanamkan saat menonton Gue Kapok Jatuh Cinta, film pertama pesinetron Thomas Nawilis di bangku
sutradara. Di film pertamanya, Thomas berbagi bangku bareng temannya, Awi Suryadi. Thomas baru terjun ke dunia akting pada 2001 lewat Tersanjung 6 lalu beberapa sinetron lain hingga main film layar lebar Tusuk Jelangkung (2003). Buat Thomas, dunia film bukanlah hal asing. Ia lulusan jurusan sinematografi di New York Film Academy tahun 1999. Nah, ilmu yang ditimba di New York itu, Thomas praktekkan buat film pertamanya.
Lantas bagaimana hasil kerja Thomas? Sebelum menjawabnya, mending tilik dulu kisahnya. Film ini berkisah seputar David (Oka Antara) yang baru saja diputus cinta oleh kekasihnya. David merana bukan main. Ia mengurung diri di kamar, dan jadi ogah makan. Pantas saja, sih David begitu. Sebab, David pikir, mantan kekasihnya itu “the one”—cewek terakhir tempatnya melabuhkan cinta. Apalagi David rela kembali ke Jakarta meninggalkan kehidupannya di Los Angeles, demi ceweknya.
Beruntung, David punya sahabat yang peduli padanya. Mereka, Once (Teuku Wisnu), Andi (Big Dicky), Eddie “Tompel” (Stan Lee), dan Piyu (Dude Harlino), tak sekadar jadi tempat David mencurahkan isi hati, tapi juga mengajak David bangkit dari kesedihan. Syahdan, David diajak keluar dari kamarnya buat menikmati hidup di Jakarta sebagai jomblo. Oleh sahabatnya, David diajak ke diskotek, panti pijat, mandi sauna, hingga menenggak obat-obatan. Ia terheran-heran, Jakarta yang ditinggalkannya bertahun-tahun lalu sudah berubah sama sekali. Dulu, ia ingat betul, di Jakarta tempat hiburan tak menjamur seperti sekarang.
Di sinilah Thomas tak mengukur logika saat membuat filmnya. David digambarkan begitu lugu. Gugup melihat kehidupan malam Jakarta. Padahal di awal film diceritakan David baru pulang dari Los Angeles. Masak sih selama bertahun-tahun di sana David nggak bergaul, clubbing atau sekadar minum-minum. Memangnya di Los Angeles sana David tinggal di pesantren, ya?
Kemudian cerita berkembang pada kisah cinta yang dialami tokoh lain. Rupanya, sahabat-sahabat David, terutama Once, Eddie, dan Andi sudah kapok jatuh cinta gara-gara pengalaman cinta yang pahit di masa lalu. Once yang punya ayah super kaya (ada di urutan ke-3 orang terkaya se-Asia versi majalah Forbes) ternyata cuma dimanfaatkan ceweknya yang matre. Eddie jadi penyebab kematian ceweknya yang tewas saat kecelakaan mobil waktu menyetir usai mabuk-mabukan. Sedang Andi yang punya postur super besar selalu ditolak cewek. Hanya Piyu saja yang kelihatan bahagia dan tak kapok jatuh cinta lantaran sudah menemukan tambatan hati—bahkan bersiap-siap untuk menikah segala.
Di tengah jalan, David sekonyong-konyong bisa melupakan mantan kekasihnya. Ia terantuk pada seorang wanita bergaun pengantin yang jalan-jalan sambil bawa sebongkah batu bata. Wanita itu rupanya ditinggalkan pengantin pria saat di pelaminan. David nyatanya bisa dekati wanita itu. Mereka berpacaran. Sementara itu, sebelumnya, ada cerita soal Piyu yang meragukan cinta kekasihnya lantaran pernah berciuman dengan Eddie. Cerita Piyu dan ceweknya berakhir bahagia. Piyu akhirnya menerima kenyataan kalau tak bisa berpisah dari ceweknya. Keduanya pun menikah. David juga menemukan cintanya kembali. Para pria itu tak lagi kapok buat jatuh cinta.
Jangan kapok buat jatuh cinta rasanya pesan yang ingin disampaikan Thomas dan Awi lewat film ini. Sayang, buat sampai ke pesan itu, Thomas dan Awi mengajak penonton berlama-lama sampai kelelahan. Sungguh. Saat menonton film ini ingin rasanya menekan remote control. Supaya adegan yang dibuat berlama-lama tapi nggak penting (dan adegan ini ada banyak) bisa dipercepat. Sayangnya, Anda tak bisa melakukan itu. Selain itu, pengadegannya pun amburadul. Anda pasti bakal berpikir kalau cerita berakhir begitu Piyu berbaikan dengan kekasihnya. Nyatanya tidak. Masih ada David yang harus diceritakan.
Oleh karena itu, saat menonton film ini, cobalah melihatnya dari sudut pandang kalau Thomas sudah bersusah payah membuat filmnya. Ingat, tak seperti di Hollywood yang punya tradisi aktor-aktornya jago membikin film (ingat dong nama-nama semisal Clint Eastwood, Kevin Costner, Mel Gibson, sampai George Clooney), pefilman negeri ini cuma sedikit mencatat ada bintang film yang berani duduk di kursi sutradara. Selain Thomas, rasanya cuma aktor sekaliber Deddy Mizwar yang berani membuat film (Kiamat Sudah Dekat dan Ketika).
Cobalah juga buat percaya kalau kisah yang pada beberapa bagian nggak logis ini pernah ditolak oleh penulisnya, Awi, saat hendak dibeli oleh sebuah perusahaan film di Hollywood sana. Buat Thomas, sebaiknya Anda buka lagi buku-buku teori membuat film yang dulu pernah dipelajari di New York (terutama pelajaran soal angle kamera biar nggak monoton, tata musik biar film nggak sepi, hingga skenario yang runut dari awal sampai klimaks), biar film berikut yang akan dibuat nanti tak lagi seburuk ini. Ayo, Thomas, jangan kapok bikin film!***
Karya Perdana Thomas Nawilis di Bangku Sutradara
Oleh Ade Irwansyah
Pertama, percayalah, jadi sutradara itu tak gampang. Dalam produksi sebuah film, sutradara bak kepala suku, mengatur sana-sini, mengarahkan pemain yang aktingnya sekaku batu biar kelihatan bagus; sampai menentukan seperti apa sudut gambar yang mau diambil. Mulai sekarang, sebaiknya Anda menghargai setiap kerja sutradara. Bagaimanapun hasil kerjanya. Maka, begitu Anda menonton film yang menurut Anda jelek, percayalah, sutradaranya sudah berusaha sekeras mungkin biar filmnya jadi bagus.
Rasanya, sikap menghargai hasil kerja orang lain itu mesti ditanamkan saat menonton Gue Kapok Jatuh Cinta, film pertama pesinetron Thomas Nawilis di bangku
sutradara. Di film pertamanya, Thomas berbagi bangku bareng temannya, Awi Suryadi. Thomas baru terjun ke dunia akting pada 2001 lewat Tersanjung 6 lalu beberapa sinetron lain hingga main film layar lebar Tusuk Jelangkung (2003). Buat Thomas, dunia film bukanlah hal asing. Ia lulusan jurusan sinematografi di New York Film Academy tahun 1999. Nah, ilmu yang ditimba di New York itu, Thomas praktekkan buat film pertamanya.
Lantas bagaimana hasil kerja Thomas? Sebelum menjawabnya, mending tilik dulu kisahnya. Film ini berkisah seputar David (Oka Antara) yang baru saja diputus cinta oleh kekasihnya. David merana bukan main. Ia mengurung diri di kamar, dan jadi ogah makan. Pantas saja, sih David begitu. Sebab, David pikir, mantan kekasihnya itu “the one”—cewek terakhir tempatnya melabuhkan cinta. Apalagi David rela kembali ke Jakarta meninggalkan kehidupannya di Los Angeles, demi ceweknya.
Beruntung, David punya sahabat yang peduli padanya. Mereka, Once (Teuku Wisnu), Andi (Big Dicky), Eddie “Tompel” (Stan Lee), dan Piyu (Dude Harlino), tak sekadar jadi tempat David mencurahkan isi hati, tapi juga mengajak David bangkit dari kesedihan. Syahdan, David diajak keluar dari kamarnya buat menikmati hidup di Jakarta sebagai jomblo. Oleh sahabatnya, David diajak ke diskotek, panti pijat, mandi sauna, hingga menenggak obat-obatan. Ia terheran-heran, Jakarta yang ditinggalkannya bertahun-tahun lalu sudah berubah sama sekali. Dulu, ia ingat betul, di Jakarta tempat hiburan tak menjamur seperti sekarang.
Di sinilah Thomas tak mengukur logika saat membuat filmnya. David digambarkan begitu lugu. Gugup melihat kehidupan malam Jakarta. Padahal di awal film diceritakan David baru pulang dari Los Angeles. Masak sih selama bertahun-tahun di sana David nggak bergaul, clubbing atau sekadar minum-minum. Memangnya di Los Angeles sana David tinggal di pesantren, ya?
Kemudian cerita berkembang pada kisah cinta yang dialami tokoh lain. Rupanya, sahabat-sahabat David, terutama Once, Eddie, dan Andi sudah kapok jatuh cinta gara-gara pengalaman cinta yang pahit di masa lalu. Once yang punya ayah super kaya (ada di urutan ke-3 orang terkaya se-Asia versi majalah Forbes) ternyata cuma dimanfaatkan ceweknya yang matre. Eddie jadi penyebab kematian ceweknya yang tewas saat kecelakaan mobil waktu menyetir usai mabuk-mabukan. Sedang Andi yang punya postur super besar selalu ditolak cewek. Hanya Piyu saja yang kelihatan bahagia dan tak kapok jatuh cinta lantaran sudah menemukan tambatan hati—bahkan bersiap-siap untuk menikah segala.
Di tengah jalan, David sekonyong-konyong bisa melupakan mantan kekasihnya. Ia terantuk pada seorang wanita bergaun pengantin yang jalan-jalan sambil bawa sebongkah batu bata. Wanita itu rupanya ditinggalkan pengantin pria saat di pelaminan. David nyatanya bisa dekati wanita itu. Mereka berpacaran. Sementara itu, sebelumnya, ada cerita soal Piyu yang meragukan cinta kekasihnya lantaran pernah berciuman dengan Eddie. Cerita Piyu dan ceweknya berakhir bahagia. Piyu akhirnya menerima kenyataan kalau tak bisa berpisah dari ceweknya. Keduanya pun menikah. David juga menemukan cintanya kembali. Para pria itu tak lagi kapok buat jatuh cinta.
Jangan kapok buat jatuh cinta rasanya pesan yang ingin disampaikan Thomas dan Awi lewat film ini. Sayang, buat sampai ke pesan itu, Thomas dan Awi mengajak penonton berlama-lama sampai kelelahan. Sungguh. Saat menonton film ini ingin rasanya menekan remote control. Supaya adegan yang dibuat berlama-lama tapi nggak penting (dan adegan ini ada banyak) bisa dipercepat. Sayangnya, Anda tak bisa melakukan itu. Selain itu, pengadegannya pun amburadul. Anda pasti bakal berpikir kalau cerita berakhir begitu Piyu berbaikan dengan kekasihnya. Nyatanya tidak. Masih ada David yang harus diceritakan.
Oleh karena itu, saat menonton film ini, cobalah melihatnya dari sudut pandang kalau Thomas sudah bersusah payah membuat filmnya. Ingat, tak seperti di Hollywood yang punya tradisi aktor-aktornya jago membikin film (ingat dong nama-nama semisal Clint Eastwood, Kevin Costner, Mel Gibson, sampai George Clooney), pefilman negeri ini cuma sedikit mencatat ada bintang film yang berani duduk di kursi sutradara. Selain Thomas, rasanya cuma aktor sekaliber Deddy Mizwar yang berani membuat film (Kiamat Sudah Dekat dan Ketika).
Cobalah juga buat percaya kalau kisah yang pada beberapa bagian nggak logis ini pernah ditolak oleh penulisnya, Awi, saat hendak dibeli oleh sebuah perusahaan film di Hollywood sana. Buat Thomas, sebaiknya Anda buka lagi buku-buku teori membuat film yang dulu pernah dipelajari di New York (terutama pelajaran soal angle kamera biar nggak monoton, tata musik biar film nggak sepi, hingga skenario yang runut dari awal sampai klimaks), biar film berikut yang akan dibuat nanti tak lagi seburuk ini. Ayo, Thomas, jangan kapok bikin film!***
Resensi "Heart"
Heart
Mengundang Sedih yang Tak Kunjung Datang
Oleh Ade Irwansyah
Pemuda yang sedang dirundung cinta itu mengetuk pintu rumah gadis yang ditaksirnya. Sang gadis membuka pintu rumah. Terkejutlah ia. Si pemuda datang membawa gabus berbentuk hati. Pemuda itu lalu menyatakan cintanya lengkap dengan embel-embel yang intinya begini: “Kalau kamu terima cinta saya, tolong ambil hati ini. Kalau kamu tolak, patahkan hati ini.”
Eh, apa adegan itu acara Katakan Cinta yang tayang saban Minggu di RCTI? Bukan. Itu salah satu adegan di film Heart (produksi Star Vision). O ya, yang diutarakan sang pemuda bernama Farel (diperankan Irwansyah) itu masih ada lanjutannya: “Kalau kamu tolak, di belakang ada mobil yang siap menabrak saya.” Semula, sang gadis, Luna (Acha Septriasa) ogah menjawab. Tapi Farel memaksa minta jawaban hari itu juga. Duh, makin mirip Katakan Cinta saja.
Luna memberi jawaban. Ia mematahkan gabus hati yang diberi Farel. Adegan berikutnya: Farel benar-benar dikejar mobil hingga lari tunggang langgang. Sorry to say, adegan lari-lari dikejar mobil yang mirip Forrest Gump itu konyol dan out of context.
Selebihnya, film ini utamanya berkisah seputar cinta dan persahabatan antara Farel, Luna, dan Rachel (diperankan Nirina Zubir). Alkisah, Farel dan Rachel bersahabat sejak kecil. Lapangan basket di bawah pohon besar—lengkap dengan rumah pohon di atasnya—jadi saksi persahabatan keduanya.
Persahabatan itu berlangsung hingga Farel dan Rachel beranjak remaja. Farel tumbuh jadi pemuda tampan, sedang Rachel jadi cewek tomboi. Pada suatu hari, hidup Farel berubah kala melihat sosok Luna di luar kios komik langganannya. Luna itu pengarang komik yang berkisah tentang peri kesepian. Farel langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Farel lantas bercerita pada Rachel soal Luna. Ia meminta Rachel membantunya menggaet Luna. Sebagai sahabat, Rachel bersedia membantu.
Nah, yang terjadi kemudian, sampailah pada adegan nembak yang mirip Katakan Cinta itu. Luna punya alasan menolak Farel. Tak tahunya, Luna mengidap penyakit sirosis (kanker hati). Penyakit yang ia idap sudah parah. Hidupnya takkan lama lagi berakhir. Ia tak mau jadi kekasih Farel, tapi kemudian mesti dipisahkan maut. Farel tetap memohon cinta Luna.
Hati Luna luluh juga. Keduanya jadi sepasang kekasih. Hidup Luna yang diliputi kesedihan perlahan berubah ceria. Namun, diam-diam Rachel tak bahagia melihat sahabatnya menemukan tambatan hati. Rupanya, Rachel memendam cinta pada Farel. Di depan Farel ia pura-pura senang. Padahal hatinya teriris sembilu. Di depan Farel, ia mengaku sudah punya pacar. Padahal, ia main basket sendirian. Bukannya berpacaran. Hingga, pada suatu kali, Rachel memakai pakaian feminin. Tujuannya, buat menarik perhatian Farel. Sayang, Farel malah menertawai Rachel.
Sementara itu, penyakit Luna makin parah. Saat berciuman dengan Farel, Luna muntah darah. Luna mesti dilarikan ke rumah sakit. Nah, saat Farel dan Luna berciuman tak sengaja Rachel memergoki. Hati Rachel makin hancur. Ia berlari buat mengubur kesedihan. Di tengah pelarian, Rachel terperosok ke jurang.
Nasib Luna makin kritis. Ia takkan bisa hidup lebih lama kecuali ada orang yang mau mendonorkan hatinya. Di lain pihak, Rachel ternyata juga terluka. Kakinya mesti diamputasi. Ia kehilangan gairah hidup. Yang terjadi kemudian (maaf kalau spoiler ini mesti dibeberkan), Rachel merelakan hatinya buat Luna. Lho, bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Mengapa Rachel tiba-tiba diceritakan mati (tanpa dijelaskan matinya bagaimana)? Inilah hal tak logis yang luput dijelaskan. Penonton cuma diceritakan kalau Rachel ogah makan saat di rumah sakit.
Setiap suapan ibunya atau Farel ditolak. Apa iya hanya gara-gara itu Rachel mati? Apa rumah sakit itu tak menyediakan infus? Lalu, apa ibunda Rachel tak sekalipun bisa memaksa anaknya menyantap makanan? Tak ada jawaban yang tersedia buat pertanyaan-pertanyaan itu.
Namun, demikianlah yang terjadi. Rachel mati. Luna hidup bahagia dengan Farel. Klimaks itu rasanya puncak dari kesedihan yang coba dibangun Heart dengan susah payah. Film ini maunya bikin penontonnya sedih melulu. Tapi, alih-alih terbawa sedih, Anda pasti bakal dibuat bengong, bertanya-tanya: bagian mana ya yang saya mesti menangis? Atau bisa juga mengeluh: Aduh, kok menangis itu begitu susah ya?
Dalam rilisan yang dibagi ke pers, film arahan Hanny R. Saputra, pembesut Virgin (2004) dan Mirror (2005), ini mengklaim menyajikan mood “keagungan cinta yang menggenang.” Maksudnya, tentang cinta yang tertahan lantaran tak bisa diekspresikan lebih bebas (lantaran tak penah dikatakan seperti Rachel, atau yang dirasa percuma karena sebentar lagi dijemput maut macam Luna). Buat menceritakan mood ini, Hanny berhasil pada satu segi: ia menyajikan gambar-gambar indah yang sedap dipandang mata (lanskap yang dipilih sesuai buat tema cerita), serta busana pemain yang mengingatkan penonton pada komik serial cantik dari Jepang macam Candy Candy dan sejenisnya. Musik dari Anto Hoed dan Melly Goeslow juga sudah bersusah payah mengundang penonton sedih (O ya, para pemainnya juga rela jadi penyanyi dadakan biar Anda makin terhanyut pada cerita, lho). Lantas, dengan segala upaya itu, mengapa pula film ini tak kunjung membuat penontonnya menangis?
Jawabnya sederhana saja: cerita yang disuguhkan tak cukup meyakinkan orang bersedih. Kisahnya belum membuat penontonnya terhanyut ikut merasakan kesedihan tokoh-tokohnya. Masih ada jarak antara penonton dengan film. Sayang, memang, sebab setiap unsur film ini sudah berupaya mengundang sedih.***
Dimuat Bintang Indonesia edisi 786, minggu keempat Mei 2006
Mengundang Sedih yang Tak Kunjung Datang
Oleh Ade Irwansyah
Pemuda yang sedang dirundung cinta itu mengetuk pintu rumah gadis yang ditaksirnya. Sang gadis membuka pintu rumah. Terkejutlah ia. Si pemuda datang membawa gabus berbentuk hati. Pemuda itu lalu menyatakan cintanya lengkap dengan embel-embel yang intinya begini: “Kalau kamu terima cinta saya, tolong ambil hati ini. Kalau kamu tolak, patahkan hati ini.”
Eh, apa adegan itu acara Katakan Cinta yang tayang saban Minggu di RCTI? Bukan. Itu salah satu adegan di film Heart (produksi Star Vision). O ya, yang diutarakan sang pemuda bernama Farel (diperankan Irwansyah) itu masih ada lanjutannya: “Kalau kamu tolak, di belakang ada mobil yang siap menabrak saya.” Semula, sang gadis, Luna (Acha Septriasa) ogah menjawab. Tapi Farel memaksa minta jawaban hari itu juga. Duh, makin mirip Katakan Cinta saja.
Luna memberi jawaban. Ia mematahkan gabus hati yang diberi Farel. Adegan berikutnya: Farel benar-benar dikejar mobil hingga lari tunggang langgang. Sorry to say, adegan lari-lari dikejar mobil yang mirip Forrest Gump itu konyol dan out of context.
Selebihnya, film ini utamanya berkisah seputar cinta dan persahabatan antara Farel, Luna, dan Rachel (diperankan Nirina Zubir). Alkisah, Farel dan Rachel bersahabat sejak kecil. Lapangan basket di bawah pohon besar—lengkap dengan rumah pohon di atasnya—jadi saksi persahabatan keduanya.
Persahabatan itu berlangsung hingga Farel dan Rachel beranjak remaja. Farel tumbuh jadi pemuda tampan, sedang Rachel jadi cewek tomboi. Pada suatu hari, hidup Farel berubah kala melihat sosok Luna di luar kios komik langganannya. Luna itu pengarang komik yang berkisah tentang peri kesepian. Farel langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Farel lantas bercerita pada Rachel soal Luna. Ia meminta Rachel membantunya menggaet Luna. Sebagai sahabat, Rachel bersedia membantu.
Nah, yang terjadi kemudian, sampailah pada adegan nembak yang mirip Katakan Cinta itu. Luna punya alasan menolak Farel. Tak tahunya, Luna mengidap penyakit sirosis (kanker hati). Penyakit yang ia idap sudah parah. Hidupnya takkan lama lagi berakhir. Ia tak mau jadi kekasih Farel, tapi kemudian mesti dipisahkan maut. Farel tetap memohon cinta Luna.
Hati Luna luluh juga. Keduanya jadi sepasang kekasih. Hidup Luna yang diliputi kesedihan perlahan berubah ceria. Namun, diam-diam Rachel tak bahagia melihat sahabatnya menemukan tambatan hati. Rupanya, Rachel memendam cinta pada Farel. Di depan Farel ia pura-pura senang. Padahal hatinya teriris sembilu. Di depan Farel, ia mengaku sudah punya pacar. Padahal, ia main basket sendirian. Bukannya berpacaran. Hingga, pada suatu kali, Rachel memakai pakaian feminin. Tujuannya, buat menarik perhatian Farel. Sayang, Farel malah menertawai Rachel.
Sementara itu, penyakit Luna makin parah. Saat berciuman dengan Farel, Luna muntah darah. Luna mesti dilarikan ke rumah sakit. Nah, saat Farel dan Luna berciuman tak sengaja Rachel memergoki. Hati Rachel makin hancur. Ia berlari buat mengubur kesedihan. Di tengah pelarian, Rachel terperosok ke jurang.
Nasib Luna makin kritis. Ia takkan bisa hidup lebih lama kecuali ada orang yang mau mendonorkan hatinya. Di lain pihak, Rachel ternyata juga terluka. Kakinya mesti diamputasi. Ia kehilangan gairah hidup. Yang terjadi kemudian (maaf kalau spoiler ini mesti dibeberkan), Rachel merelakan hatinya buat Luna. Lho, bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Mengapa Rachel tiba-tiba diceritakan mati (tanpa dijelaskan matinya bagaimana)? Inilah hal tak logis yang luput dijelaskan. Penonton cuma diceritakan kalau Rachel ogah makan saat di rumah sakit.
Setiap suapan ibunya atau Farel ditolak. Apa iya hanya gara-gara itu Rachel mati? Apa rumah sakit itu tak menyediakan infus? Lalu, apa ibunda Rachel tak sekalipun bisa memaksa anaknya menyantap makanan? Tak ada jawaban yang tersedia buat pertanyaan-pertanyaan itu.
Namun, demikianlah yang terjadi. Rachel mati. Luna hidup bahagia dengan Farel. Klimaks itu rasanya puncak dari kesedihan yang coba dibangun Heart dengan susah payah. Film ini maunya bikin penontonnya sedih melulu. Tapi, alih-alih terbawa sedih, Anda pasti bakal dibuat bengong, bertanya-tanya: bagian mana ya yang saya mesti menangis? Atau bisa juga mengeluh: Aduh, kok menangis itu begitu susah ya?
Dalam rilisan yang dibagi ke pers, film arahan Hanny R. Saputra, pembesut Virgin (2004) dan Mirror (2005), ini mengklaim menyajikan mood “keagungan cinta yang menggenang.” Maksudnya, tentang cinta yang tertahan lantaran tak bisa diekspresikan lebih bebas (lantaran tak penah dikatakan seperti Rachel, atau yang dirasa percuma karena sebentar lagi dijemput maut macam Luna). Buat menceritakan mood ini, Hanny berhasil pada satu segi: ia menyajikan gambar-gambar indah yang sedap dipandang mata (lanskap yang dipilih sesuai buat tema cerita), serta busana pemain yang mengingatkan penonton pada komik serial cantik dari Jepang macam Candy Candy dan sejenisnya. Musik dari Anto Hoed dan Melly Goeslow juga sudah bersusah payah mengundang penonton sedih (O ya, para pemainnya juga rela jadi penyanyi dadakan biar Anda makin terhanyut pada cerita, lho). Lantas, dengan segala upaya itu, mengapa pula film ini tak kunjung membuat penontonnya menangis?
Jawabnya sederhana saja: cerita yang disuguhkan tak cukup meyakinkan orang bersedih. Kisahnya belum membuat penontonnya terhanyut ikut merasakan kesedihan tokoh-tokohnya. Masih ada jarak antara penonton dengan film. Sayang, memang, sebab setiap unsur film ini sudah berupaya mengundang sedih.***
Dimuat Bintang Indonesia edisi 786, minggu keempat Mei 2006
Tuesday, May 16, 2006
Maskot
Mencari Ayam Jago Simbol Perusahaan
Oleh Ade Irwansyah
Sineas negeri ini pernah begitu mahir membuat film bertema komedi situasi yang jauh dari kesan slapstick, seperti Inem Pelayan Sexy (1977), Kejarlah Daku Kau Tangkap (1985) atau Naga Bonar (1986). Itu film-film berisi humor cerdas yang tak mengundang tawa lantaran melihat tingkah konyol pemain, melainkan tertawa melihat akting, jalinan cerita dan dialog para tokohnya. Sekarang, muncul lagi film yang maunya menyajikan humor cerdas macam film-film Indonesia dahulu. Judulnya, Maskot.
Maskot lahir dari tangan sineas yang sebelumnya tak bersentuhan dengan film komedi situasi era dulu. Film ini bukan lahir dari Chaarul Umam yang menggarap Kejarlah Daku Kau Kutangkap dengan kuat, plus skenario cerdas milik mendiang Asrul Sani. Lantas, dari siapa Maskot lahir? Sutradaranya, Robin Moran, lulusan luar negeri (Northeastern University) dan baru pertamakali menyutradarai film panjang (sebelumnya bikin video klip dan jadi editor Miles Productions).
Walau datang dari tangan debutan, Maskot berangkat dari skenario yang lumayan oke—buatan Ari M. Syarif dan Joko Nugroho yang baru pertama menulis skenario film panjang. Ceritanya berawal dari Sasmita yang tertegun menatap ayam jago berwarna putih berdiri tegap di atas meja. Ayam jago itu satu-satunya ayam yang selamat dari wabah yang melanda peternakannya. Ayam jago itu menginspirasi Asmita membuka usaha kecap dengan bendera: “Ketjap Tjap Ajam Medja”.
Usaha pabrik kecap Sasmita sukses. Sang ayam tetap dipelihara dan diperlakukan bak raja karena dianggap sebagai simbol perusahaan yang membawa keberuntungan. Namun, sebuah kecelakaan di pabrik menewaskan ayam jago itu. Sasmita shock hingga meninggal. Sebelum menghembuskan napas terakhir, ia berpesan pada anaknya, Widjaja (El Manik) agar meneruskan usaha dan merawat keturunan ayam jago itu.
Lewat beberapa tahun, Widjaja mampu membangkitkan kembali usaha kecap dan membangun pabrik yang lebih modern. Ayam jago keturunan sang ayam simbol dahulu kembali diaanggap keramat. Namun, seakali lagi, kecelakaan terjadi. Ayam jago itu tewas. Perusahaan kehilangan simbol. Widjaja shock hingga terserang stroke. Dari pembaringan, ia meminta anaknya, Dennis (Ariyo Wahab) dipanggil pulang dari Jepang untuk meneruskan bisnis keluarga.
Sebelum Dennis memimpin pabrik, harus ada ayam baru buat jadi simbol perusahaan menggantikan yang terdahulu. Atas saran penasihat spiritual keluarga, Markan (Otig Pakis), Dennis mesti mencari ayam di “sebuah lembah di antara dua gunung kembar, dekat sungai berwarna hitam tempat bidadari mandi yang mengalir ke seribu anak sungai.”
Maka, pergilah Dennis mencari ayam itu.
Perburuan bukannya tanpa masalah. Tempat yang dicari jelas tak tercantum di peta. Dennis sampai keliling pulau Jawa mencari lokasi itu, bertanya sana-sini, tinggal di rumah penduduk, hingga kehabisan bensin. Selain itu, bersama Dennis ikut pula Misran (Butet Kertarajasa) dan sopirnya. Misran punya agenda tersembunyi menemani Dennis. Karyawan senior di perusahaan Ketjap Tjap Ayam Medja ini mengincar posisi yang ditinggalkan Widjaja. Ia tak rela Dennis memimpin perusahaan. Ia bertekad membuat Dennis gagal mencari ayam simbol.
Syahdan, Dennis dan rombongan tiba di desa mirip lokasi yang dideskripsikan Markan. Desa itu memang punya ayam jago berwarna putih yang dianggap keramat. Ayam jago itu dipercaya membawa kesuburan dan kemakmuran pada desa itu. Di desa itu pula, Dennis berkenalan dengan Maruti (Ulie Auliani), kembang desa yang ditaksir Sapari (Epy Kusnandar), carik desa setempat. Kedekatan Dennis dengan Maruti membuat Sapari cemburu. Ayah Maruti, Sadri (Wawan Wanisar) jadi penjaga ayam keramat. Niatan Dennis meminta ayam itu ditolak Sadri dengan halus. Cara lain yang bisa ditempuh: mencuri ayam itu. Maruti bersedia membantu. Padanya, Dennis berjanji hanya meminjam lalu mengembalikan sang ayam keramat. Tapi, rencana Dennis dan Maruti tak mulus. Ada Misran yang bersekongkol dengan Sapari demi menggagalkan usaha Dennis.
Kelucuan demi kelucuan tersaji sepanjang film. Ya, film ini sungguh mengundang tawa. Bukan menertawai kejanggalan yang ada di layar, tapi memang filmnya benar-benar lucu. Simak misalnya, saat Widjaja memarahi sutradara bule di lokasi syuting iklan. Atau, bagaimana tak menahan tawa melihat polah Sapari yang dibakar cemburu.
Moran beruntung didukung aktor-aktor yang membuat skenario film ini jadi berkekuatan ganda. Ini rasanya yang patut disyukuri. Film ini punya Butet Kertarajasa dan Epy Kusnandar yang membuat film jadi segar, membikin terbahak. Artis anyar Ulie Auliani juga mampu berakting wajar. Sementara itu, Ariyo Wahab yang berakting terbata-bata di film pertamanya, Biarkan Bintang Menari (2002), sudah makin bagus main film. Jadi, niatan pembuat film menyajikan film bertema komedi situasi mirip film era dulu bolehlah dibilang nyaris berhasil. Dibilang nyaris karena masih ada cacat teknis di sana-sini (gambar-gambar lanskap tak perlu serta seting miskin seperti di pabrik). Namun, itu semua tertutup akting jempolan para pemain.
Mencari Ayam Jago Simbol Perusahaan
Oleh Ade Irwansyah
Sineas negeri ini pernah begitu mahir membuat film bertema komedi situasi yang jauh dari kesan slapstick, seperti Inem Pelayan Sexy (1977), Kejarlah Daku Kau Tangkap (1985) atau Naga Bonar (1986). Itu film-film berisi humor cerdas yang tak mengundang tawa lantaran melihat tingkah konyol pemain, melainkan tertawa melihat akting, jalinan cerita dan dialog para tokohnya. Sekarang, muncul lagi film yang maunya menyajikan humor cerdas macam film-film Indonesia dahulu. Judulnya, Maskot.
Maskot lahir dari tangan sineas yang sebelumnya tak bersentuhan dengan film komedi situasi era dulu. Film ini bukan lahir dari Chaarul Umam yang menggarap Kejarlah Daku Kau Kutangkap dengan kuat, plus skenario cerdas milik mendiang Asrul Sani. Lantas, dari siapa Maskot lahir? Sutradaranya, Robin Moran, lulusan luar negeri (Northeastern University) dan baru pertamakali menyutradarai film panjang (sebelumnya bikin video klip dan jadi editor Miles Productions).
Walau datang dari tangan debutan, Maskot berangkat dari skenario yang lumayan oke—buatan Ari M. Syarif dan Joko Nugroho yang baru pertama menulis skenario film panjang. Ceritanya berawal dari Sasmita yang tertegun menatap ayam jago berwarna putih berdiri tegap di atas meja. Ayam jago itu satu-satunya ayam yang selamat dari wabah yang melanda peternakannya. Ayam jago itu menginspirasi Asmita membuka usaha kecap dengan bendera: “Ketjap Tjap Ajam Medja”.
Usaha pabrik kecap Sasmita sukses. Sang ayam tetap dipelihara dan diperlakukan bak raja karena dianggap sebagai simbol perusahaan yang membawa keberuntungan. Namun, sebuah kecelakaan di pabrik menewaskan ayam jago itu. Sasmita shock hingga meninggal. Sebelum menghembuskan napas terakhir, ia berpesan pada anaknya, Widjaja (El Manik) agar meneruskan usaha dan merawat keturunan ayam jago itu.
Lewat beberapa tahun, Widjaja mampu membangkitkan kembali usaha kecap dan membangun pabrik yang lebih modern. Ayam jago keturunan sang ayam simbol dahulu kembali diaanggap keramat. Namun, seakali lagi, kecelakaan terjadi. Ayam jago itu tewas. Perusahaan kehilangan simbol. Widjaja shock hingga terserang stroke. Dari pembaringan, ia meminta anaknya, Dennis (Ariyo Wahab) dipanggil pulang dari Jepang untuk meneruskan bisnis keluarga.
Sebelum Dennis memimpin pabrik, harus ada ayam baru buat jadi simbol perusahaan menggantikan yang terdahulu. Atas saran penasihat spiritual keluarga, Markan (Otig Pakis), Dennis mesti mencari ayam di “sebuah lembah di antara dua gunung kembar, dekat sungai berwarna hitam tempat bidadari mandi yang mengalir ke seribu anak sungai.”
Maka, pergilah Dennis mencari ayam itu.
Perburuan bukannya tanpa masalah. Tempat yang dicari jelas tak tercantum di peta. Dennis sampai keliling pulau Jawa mencari lokasi itu, bertanya sana-sini, tinggal di rumah penduduk, hingga kehabisan bensin. Selain itu, bersama Dennis ikut pula Misran (Butet Kertarajasa) dan sopirnya. Misran punya agenda tersembunyi menemani Dennis. Karyawan senior di perusahaan Ketjap Tjap Ayam Medja ini mengincar posisi yang ditinggalkan Widjaja. Ia tak rela Dennis memimpin perusahaan. Ia bertekad membuat Dennis gagal mencari ayam simbol.
Syahdan, Dennis dan rombongan tiba di desa mirip lokasi yang dideskripsikan Markan. Desa itu memang punya ayam jago berwarna putih yang dianggap keramat. Ayam jago itu dipercaya membawa kesuburan dan kemakmuran pada desa itu. Di desa itu pula, Dennis berkenalan dengan Maruti (Ulie Auliani), kembang desa yang ditaksir Sapari (Epy Kusnandar), carik desa setempat. Kedekatan Dennis dengan Maruti membuat Sapari cemburu. Ayah Maruti, Sadri (Wawan Wanisar) jadi penjaga ayam keramat. Niatan Dennis meminta ayam itu ditolak Sadri dengan halus. Cara lain yang bisa ditempuh: mencuri ayam itu. Maruti bersedia membantu. Padanya, Dennis berjanji hanya meminjam lalu mengembalikan sang ayam keramat. Tapi, rencana Dennis dan Maruti tak mulus. Ada Misran yang bersekongkol dengan Sapari demi menggagalkan usaha Dennis.
Kelucuan demi kelucuan tersaji sepanjang film. Ya, film ini sungguh mengundang tawa. Bukan menertawai kejanggalan yang ada di layar, tapi memang filmnya benar-benar lucu. Simak misalnya, saat Widjaja memarahi sutradara bule di lokasi syuting iklan. Atau, bagaimana tak menahan tawa melihat polah Sapari yang dibakar cemburu.
Moran beruntung didukung aktor-aktor yang membuat skenario film ini jadi berkekuatan ganda. Ini rasanya yang patut disyukuri. Film ini punya Butet Kertarajasa dan Epy Kusnandar yang membuat film jadi segar, membikin terbahak. Artis anyar Ulie Auliani juga mampu berakting wajar. Sementara itu, Ariyo Wahab yang berakting terbata-bata di film pertamanya, Biarkan Bintang Menari (2002), sudah makin bagus main film. Jadi, niatan pembuat film menyajikan film bertema komedi situasi mirip film era dulu bolehlah dibilang nyaris berhasil. Dibilang nyaris karena masih ada cacat teknis di sana-sini (gambar-gambar lanskap tak perlu serta seting miskin seperti di pabrik). Namun, itu semua tertutup akting jempolan para pemain.
Wednesday, May 03, 2006
Resensi film D'Girlz Begins
D’Girlz Begins
Debut Penyutradaraan Tengku Firmansyah
Oleh Ade Irwansyah
Andai Anda merasa sudah kelebihan uang, dan punya idealisme ikut membangkitkan perfilman Tanah Air, Anda pasti ingin ambil bagian di dalamnya. Bentuknya, ya memproduksi sebuah film. Namun, pesan kami, jangan sekali-kali memberi segepok uang pada sutradara baru buat bikin film. Kalau tak mau hasilnya seperti film ini, D’Girlz Begins. Hancur. Rusak. Buang-buang uang percuma.
Maaf kalau terlalu kasar. Namun, demikianlah adanya. Film ini dibuat sebagai hadiah dari PT Softex Indonesia, produsen pembalut wanita, bagi pemenang kontes Super Deluxe Girls 2005. Itu kontes macam pemilihan bintang-bintang Softex yang dijaring dari orang awam, bukan artis. Dari ribuan yang mendaftar, terpilihlah 3 kontestan juara sesuai dengan imej cewek yang diinginkan Softex: Sabrina, Disa, dan Dheana. Mereka cocok jadi cewek bertipe sporty, super smart DJ (disc jockey), dan the super stylish.
Pihak Softex meneruskan niat buat memfilmkan kisah seputar 3 karakter cewek di atas. Bintang-bintang baru yang masih bau kencur dan belum pernah menginjak dunia hiburan (termasuk main sinetron sebagai ajang latihan akting) didapuk buat jadi pemeran utama. Cerita pun disusun. Setelah jadi, tinggal memilih siapa yang bakal menyutradarai film ini. Dari nama-nama sutradara besar negeri ini semisal Garin Nugroho, Riri Riza, Rudi Soedjarwo, atau Nia Dinata, pilihan Softex jatuh pada Tengku Firmansyah.
Mengapa Tengku? Alasannya sederhana saja. Seperti dimuat situs resmi film ini (dan diulang lagi oleh Tengku saat wawancara), pihak Softex terkesan melihat Tengku membuat game akting saat memandu acara yang dibuat Softex. Dalam benak pihak Softex mungkin berpikir begini, “Hm, kalau dia bisa bikin lomba akting, pasti dia juga bisa mengarahkan orang main film. Pria gondrong ini pasti cocok buat jadi sutradara.” Aduh, naif sekali. Tengku belum punya track record sebagai sutradara film panjang. Selama ini ia dikenal sebagai bintang sinetron (antara lain Cerita Cinta). Ia baru sekali dua menyutradarai video klip.
Tengku rupanya tipe pria yang suka tantangan. Ia menerima tawaran itu. Beban seberat jadi sutradara film layar lebar ia pikul. Sementara itu, pihak Softex sungguh serius membuat film. Buat sutradara debutan, dan bintang utama yang semuanya baru pertama kali main film, mereka menyediakan rol film 35 mm. Ya Tuhan, untuk membuat film dengan rol seluloid ukuran itu paling nggak butuh uang di atas 3 miliar rupiah.
Masa bodoh, begitu mungkin pikir mereka. Yang penting perfilman Indonesia tetap jaya selalu. “Hidup perfilman Indonesia!!” pekik mereka lantang.
Syahdan, Tengku membuat film. Ia membuka filmnya dengan adegan yang maunya mengundang tawa, tapi malah bikin jijik dan membuat hampir muntah (maaf, terlalu menjijikkan buat diungkapkan). Lalu pindah pada persoalan besar: memburu seorang gembong narkoba nomor wahid di Asia, Ricardo Monte Carlo (Rudy Wowor, anyway gembong narkoba Asia kok, namanya bergaya latin, ya?).
Ricardo begitu sulit ditangkap. Entah atas alasan logis apa, polisi berpikiran kalau untuk menangkap Ricardo bisa lewat peracik narkoba bawahannya, Ari Ristanto (Nizar Zulmi dalam dandanan mirip Mario Bros). Rupanya, cuma dia seorang yang tahu persembunyian Ricardo. Namun, Ari dikabarkan menghilang. Jejaknya cuma bisa diendus lewat anak semata wayangnya, Cassandra (Kirana) yang kuliah di Institut Kesenian Indonesia.
Polisi lantas mengirim polwan bernama Alexa (Sabrina) menyamar jadi mahasiswa buat mendekati Cassandra. Alexa ini tipe cewek sporty seperti yang digambarkan salah satu tipe cewek Softex. Dalam beberapa hari kuliah di kampus, Alexa sudah punya dua sahabat, Nicky (Disa) si cewek bertipe the super stylish—paling gaya dan Amanda (Dhena), si super smart DJ. Ini dua tipe cewek Softex lainnya. Alexa juga sempat naksir Randy (Andhika, Nicholas Saputra wannabe dengan hasil jayus), cowok paling ganteng sekampus. Alexa lantas makin asyik dengan hiruk pikuk dunia kampus, termasuk konfliknya dengan Melly (Rachel Maryam) dan sang dekan (Didi Petet). Hanya sesekali ia berusaha mendekati Cassandra.
Terakhir, Cassandra berhasil diajak dugem. Namun, hasilnya Cassandra malah nyaris diculik suruhan Monte Carlo yang juga mengincar ayahnya. Belakangan, Cassandra benar-benar diculik. Ari keluar dari persembunyian buat menyusyul anaknya. Ari diajak lagi bergabung oleh Monte Carlo. Ajakan itu ditolak. Ari ditembak bawahan kepercayaan Monte Carlo, Sam Sunyi (Tengku yang tetap ingin main di filmnya sendiri). Ajaibnya, tanpa bersusah payah (menyamar jadi mahasiswa segala) polisi lain berhasil menemukan markas Monte Carlo. Polisi itu melapor pada atasannya, Dicky, rekan Alexa. “Komandan, persembunyiannya di Tangerang,” lapornya. Mendadak, pistol menyalak. Ia ditembak Sam Sunyi. Tanpa sempat berkata lagi, polisi itu mati tersungkur.
Ajaibnya lagi, cuma dengan petunjuk “persembunyiannya di Tangerang” Dicky, Alexa, beserta Amanda dan Nicky menyatroni markas Monte Carlo. Ya Tuhan, Tangerang itu luas. Jika semua polisi kita sehebat itu, gembong teroris Dr. Azhari dan Nurdin M. Top pasti sudah tertangkap dari dulu. Hebatnya lagi, para jagoan kita menyerbu sarang gembong narkoba Asia itu cuma 4 orang! Tak ada polisi lain yang diajak ikut membantu. Bila menilik kisahnya, ketaklogisan ada di mana-mana. Hal ini justru mengundang tawa. Ini mungkin justru kelebihan film ini—kalau kelebihannya mau dicari. Genre aksi-komedi yang didengungkan film ini justru terasa saat melihat kebodohan demi kebodohan yang tersaji di layar. Siapa yang mesti disalahkan atas itu semua? Jangan salahkan Tengku. Sutradara debutan ini cuma diberi waktu persiapan sejak Januari lalu. Filmnya sudah punya jadwal edar akhir April. Tengku patuh pada tenggat. Ia syuting cuma 15 hari. Ini sebuah prestasi yang patut diapresiasi Museum Rekor Indonesia alias MURI: Sutradara yang film pertamanya dibuat cuma 15 hari! Hasilnya, soal lain. ***
Versi halus resensi ini dimuat di Bintang edisi 784 /Tahun XVI/minggu pertama Mei 2006
Debut Penyutradaraan Tengku Firmansyah
Oleh Ade Irwansyah
Andai Anda merasa sudah kelebihan uang, dan punya idealisme ikut membangkitkan perfilman Tanah Air, Anda pasti ingin ambil bagian di dalamnya. Bentuknya, ya memproduksi sebuah film. Namun, pesan kami, jangan sekali-kali memberi segepok uang pada sutradara baru buat bikin film. Kalau tak mau hasilnya seperti film ini, D’Girlz Begins. Hancur. Rusak. Buang-buang uang percuma.
Maaf kalau terlalu kasar. Namun, demikianlah adanya. Film ini dibuat sebagai hadiah dari PT Softex Indonesia, produsen pembalut wanita, bagi pemenang kontes Super Deluxe Girls 2005. Itu kontes macam pemilihan bintang-bintang Softex yang dijaring dari orang awam, bukan artis. Dari ribuan yang mendaftar, terpilihlah 3 kontestan juara sesuai dengan imej cewek yang diinginkan Softex: Sabrina, Disa, dan Dheana. Mereka cocok jadi cewek bertipe sporty, super smart DJ (disc jockey), dan the super stylish.
Pihak Softex meneruskan niat buat memfilmkan kisah seputar 3 karakter cewek di atas. Bintang-bintang baru yang masih bau kencur dan belum pernah menginjak dunia hiburan (termasuk main sinetron sebagai ajang latihan akting) didapuk buat jadi pemeran utama. Cerita pun disusun. Setelah jadi, tinggal memilih siapa yang bakal menyutradarai film ini. Dari nama-nama sutradara besar negeri ini semisal Garin Nugroho, Riri Riza, Rudi Soedjarwo, atau Nia Dinata, pilihan Softex jatuh pada Tengku Firmansyah.
Mengapa Tengku? Alasannya sederhana saja. Seperti dimuat situs resmi film ini (dan diulang lagi oleh Tengku saat wawancara), pihak Softex terkesan melihat Tengku membuat game akting saat memandu acara yang dibuat Softex. Dalam benak pihak Softex mungkin berpikir begini, “Hm, kalau dia bisa bikin lomba akting, pasti dia juga bisa mengarahkan orang main film. Pria gondrong ini pasti cocok buat jadi sutradara.” Aduh, naif sekali. Tengku belum punya track record sebagai sutradara film panjang. Selama ini ia dikenal sebagai bintang sinetron (antara lain Cerita Cinta). Ia baru sekali dua menyutradarai video klip.
Tengku rupanya tipe pria yang suka tantangan. Ia menerima tawaran itu. Beban seberat jadi sutradara film layar lebar ia pikul. Sementara itu, pihak Softex sungguh serius membuat film. Buat sutradara debutan, dan bintang utama yang semuanya baru pertama kali main film, mereka menyediakan rol film 35 mm. Ya Tuhan, untuk membuat film dengan rol seluloid ukuran itu paling nggak butuh uang di atas 3 miliar rupiah.
Masa bodoh, begitu mungkin pikir mereka. Yang penting perfilman Indonesia tetap jaya selalu. “Hidup perfilman Indonesia!!” pekik mereka lantang.
Syahdan, Tengku membuat film. Ia membuka filmnya dengan adegan yang maunya mengundang tawa, tapi malah bikin jijik dan membuat hampir muntah (maaf, terlalu menjijikkan buat diungkapkan). Lalu pindah pada persoalan besar: memburu seorang gembong narkoba nomor wahid di Asia, Ricardo Monte Carlo (Rudy Wowor, anyway gembong narkoba Asia kok, namanya bergaya latin, ya?).
Ricardo begitu sulit ditangkap. Entah atas alasan logis apa, polisi berpikiran kalau untuk menangkap Ricardo bisa lewat peracik narkoba bawahannya, Ari Ristanto (Nizar Zulmi dalam dandanan mirip Mario Bros). Rupanya, cuma dia seorang yang tahu persembunyian Ricardo. Namun, Ari dikabarkan menghilang. Jejaknya cuma bisa diendus lewat anak semata wayangnya, Cassandra (Kirana) yang kuliah di Institut Kesenian Indonesia.
Polisi lantas mengirim polwan bernama Alexa (Sabrina) menyamar jadi mahasiswa buat mendekati Cassandra. Alexa ini tipe cewek sporty seperti yang digambarkan salah satu tipe cewek Softex. Dalam beberapa hari kuliah di kampus, Alexa sudah punya dua sahabat, Nicky (Disa) si cewek bertipe the super stylish—paling gaya dan Amanda (Dhena), si super smart DJ. Ini dua tipe cewek Softex lainnya. Alexa juga sempat naksir Randy (Andhika, Nicholas Saputra wannabe dengan hasil jayus), cowok paling ganteng sekampus. Alexa lantas makin asyik dengan hiruk pikuk dunia kampus, termasuk konfliknya dengan Melly (Rachel Maryam) dan sang dekan (Didi Petet). Hanya sesekali ia berusaha mendekati Cassandra.
Terakhir, Cassandra berhasil diajak dugem. Namun, hasilnya Cassandra malah nyaris diculik suruhan Monte Carlo yang juga mengincar ayahnya. Belakangan, Cassandra benar-benar diculik. Ari keluar dari persembunyian buat menyusyul anaknya. Ari diajak lagi bergabung oleh Monte Carlo. Ajakan itu ditolak. Ari ditembak bawahan kepercayaan Monte Carlo, Sam Sunyi (Tengku yang tetap ingin main di filmnya sendiri). Ajaibnya, tanpa bersusah payah (menyamar jadi mahasiswa segala) polisi lain berhasil menemukan markas Monte Carlo. Polisi itu melapor pada atasannya, Dicky, rekan Alexa. “Komandan, persembunyiannya di Tangerang,” lapornya. Mendadak, pistol menyalak. Ia ditembak Sam Sunyi. Tanpa sempat berkata lagi, polisi itu mati tersungkur.
Ajaibnya lagi, cuma dengan petunjuk “persembunyiannya di Tangerang” Dicky, Alexa, beserta Amanda dan Nicky menyatroni markas Monte Carlo. Ya Tuhan, Tangerang itu luas. Jika semua polisi kita sehebat itu, gembong teroris Dr. Azhari dan Nurdin M. Top pasti sudah tertangkap dari dulu. Hebatnya lagi, para jagoan kita menyerbu sarang gembong narkoba Asia itu cuma 4 orang! Tak ada polisi lain yang diajak ikut membantu. Bila menilik kisahnya, ketaklogisan ada di mana-mana. Hal ini justru mengundang tawa. Ini mungkin justru kelebihan film ini—kalau kelebihannya mau dicari. Genre aksi-komedi yang didengungkan film ini justru terasa saat melihat kebodohan demi kebodohan yang tersaji di layar. Siapa yang mesti disalahkan atas itu semua? Jangan salahkan Tengku. Sutradara debutan ini cuma diberi waktu persiapan sejak Januari lalu. Filmnya sudah punya jadwal edar akhir April. Tengku patuh pada tenggat. Ia syuting cuma 15 hari. Ini sebuah prestasi yang patut diapresiasi Museum Rekor Indonesia alias MURI: Sutradara yang film pertamanya dibuat cuma 15 hari! Hasilnya, soal lain. ***
Versi halus resensi ini dimuat di Bintang edisi 784 /Tahun XVI/minggu pertama Mei 2006
Sunday, April 16, 2006
Artikel Film Soal "Rumah Pondok Indah"
Mengapa Rumah Pondok Indah Banyak Ditonton Orang?
Sebuah film horor dengan kualitas seadanya ternyata laris ditonton orang. Ini jawabannya.
Oleh Ade Irwansyah
Pertama, ada baiknya Anda membaca sedikit kutipan dari resensi film di tabloid ini soal Rumah Pondok Indah. Di situ tertulis, “...Rumah Pondok Indah tak memberi alasan lebih untuk membuat orang datang berduyun-duyun menonton seperti Jelangkung. Akting pemainnya, sorry to say, masih kelas sinetron. Dibuat-buat alias tidak alami.” Pada ujung paragraf, Bintang menyimpulkan, “Hal-hal seperti ini (maksudnya segala cacat film itu) membuat Rumah Pondok Indah terasa seperti FTV (film televisi) yang diputar di bioskop.”
Rumah Pondok Indah belum dapat penonton sebanyak Jelangkung (1999) dulu yang ditonton sekitar 1,6 juta pasang mata. Namun, hingga pekan ini, setelah 7 minggu diputar di bioskop, Rumah Pondok Indah tak kurang ditonton 625 ribu orang. Buat ukuran sekarang, itu angka fantastis. Di bawahnya, ada Jomblo yang tertinggal jauh dengan 400 ribu penonton. Di bawahnya lagi ada Realita Cinta dan Rock ‘n Roll dengan angka penonton 300 ribu orang. Hingga Bintang mengecek ke situs jaringan bioskop 21 Kamis (13/4) siang kemarin, Rumah Pondok Indah masih tayang di 13 bioskop yang tersebar dari Jabotabek, Bandung, Pekanbaru, Cilegon, Cirebon hingga Batam.
Segala paparan angka di atas jadi bukti kalau apa yang dikatakan resensi film tak selalu seiring sejalan dengan minat penonton. Kekhawatiran kalau sebuah resensi film (yang tujuannya memberi petunjuk buat calon penonton film, untuk menonton atau tidak) bisa membuat sebuah film tak laku rasanya berlebihan. Lihatlah Berbagi Suami, film yang dipuji di hampir semua media itu (Bintang menulis, Berbagi Suami sebuah “... hiburan berisi yang lengkap. Cerita yang baik, skenario yang bagus, dan para pemain yang berakting hampir sempurna wujud keberhasilan Nia sebagai sutradara atas filmnya ini.”) baru ditonton sekitar 200 ribu orang.
Pertanyaannya, kenapa orang berduyun-duyun menonton Rumah Pondok Indah? Bintang bertanya pada Dini (25), seorang guru SD di Jakarta Selatan yang menonton film itu. “Saya nonton film itu diajak teman,” kata Dini. Ia bercerita, menonton Rumah Pondok Indah bersama 5 temannya. “Teman saya dengar dari temannya kalau film itu seram,” bilang Dini.
Menurut produser Rumah Pondok Indah yang juga bos Indika Entertaiment Shanker RS, jumlah penonton sebanyak itu sesuai perkiraan. Di tayangan behind the scene film itu Shanker berani sesumbar kalau filmnya bakal disesaki penonton. “Saat itu saya bilang, minta maaf bila nanti timbul ketidaknyamanan saat menonton karena mesti mengantre karcis,” bilang Shanker yang dihubungi Bintang via telepon Rabu (12/4) malam.
Shanker mengaku membuat Rumah Pondok Indah dengan dana 4 miliar rupiah. Sebenarnya, angka itu terkesan terlalu dibesar-besarkan. Jika melihat hasil akhir filmnya, Rumah Pondok Indah dibuat dega kamera digital seadanya yang di-blow-up ke pita seluloid 35 milimeter (hal ini dibantah Shanker. Katanya, “Rumah Pondok Indah direkam dengan kamera high definition.”). Bila benar film itu dibuat dengan kamera digital biasa, filmnya paling besar menelan dana sekitar 2 miliar rupiah. Dengan penonton 625 ribu orang, Indika sudah dapat uang sekitar 4,3 miliar rupiah.
Sebenarnya, bukanlah hal istimewa kalau film bertema horor dapat banyak penonton. Sepanjang sejarah perfilman negeri ini, film horor selalu tergolong jadi film laris. Genre ini pun sudah tua. Hanya selang setahun setelah teknologi film ditemukan pada 1985, lahir film horor pertama Le Manoir du Diable (1986) buatan Georges Melies. Ia membangkitkan hantu-hantu dari kuburnya. Di Indonesia sendiri, menurut catatan JB Kristanto di buku Katalog Film Indonesia 1926-2005, yang disebut-sebut film horor pertama yakni Lisa (1971) karya sutradara M. Sharieffudin (ada juga yang menyebut film horor pertama itu Tengkorak Hidoep keluaran 1941). Konon, Lisa tak terlalu sukses di pasaran. Namun, ia jadi peletak dasar buat genre ini. Sejak itu, di mata pecinta film tanah air muncul genre baru buat pilihan menonton.
Genre ini mulai jadi pilihan pembuat film. Di tahun 1970-an film-film bertema horor bermunculan. Puncaknya, terjadi pada dekade 1980-an. Tak kurang sekitar 69 judul film horor buatan anak negeri sendiri disuguhkan ke khalayak. Hasilnya tak megecewaka. Bahka genre ini medatangka banyak penonton. Film macam Nyi Blorong atau Sundel Bolong laris manis ditonton orang. Bintangnya, Suzzanna ditasbihkan jadi ratu film horor—gelar yang seakan tak tergantikan hingga kini.
Setelah Jelangkung lahir, genre horor berkembang dari legenda misteri tradisional ke legenda urban (urban legend). Nah, kisah misteri sebuah rumah di kawasan Pondok Indah tergolong legenda urban. Hal itu mengundang rasa ingin tahu orang kala kisahnya diakat ke layar lebar. “Alasan kami menonton film itu pengin tahu saja kisahnya seperti apa,” kata Dini. Rasa ingin tahu rupanya begitu besar mengendap di enak orang. Hingga berbagai resensi yang mempertanyakan kualitas film itu tak dihiraukan.
Melihat kesuksesan Rumah Pondok Indah, Shanker langsung berniat mengangkat legenda urban lainnya ke layar lebar. Tak tanggung-tanggung, Shanker sedang menyiapkan lebih dari satu film horor berbasis legenda urban. Pada Bintang, Shanker berujar akan membuat film tentang mitos Rumah Kentang, Pastur Jeruk Purut, hingga Rumah Ambulans di Bandung. Kita lihat saja nanti filmnya seperti apa. ***
Sebuah film horor dengan kualitas seadanya ternyata laris ditonton orang. Ini jawabannya.
Oleh Ade Irwansyah
Pertama, ada baiknya Anda membaca sedikit kutipan dari resensi film di tabloid ini soal Rumah Pondok Indah. Di situ tertulis, “...Rumah Pondok Indah tak memberi alasan lebih untuk membuat orang datang berduyun-duyun menonton seperti Jelangkung. Akting pemainnya, sorry to say, masih kelas sinetron. Dibuat-buat alias tidak alami.” Pada ujung paragraf, Bintang menyimpulkan, “Hal-hal seperti ini (maksudnya segala cacat film itu) membuat Rumah Pondok Indah terasa seperti FTV (film televisi) yang diputar di bioskop.”
Rumah Pondok Indah belum dapat penonton sebanyak Jelangkung (1999) dulu yang ditonton sekitar 1,6 juta pasang mata. Namun, hingga pekan ini, setelah 7 minggu diputar di bioskop, Rumah Pondok Indah tak kurang ditonton 625 ribu orang. Buat ukuran sekarang, itu angka fantastis. Di bawahnya, ada Jomblo yang tertinggal jauh dengan 400 ribu penonton. Di bawahnya lagi ada Realita Cinta dan Rock ‘n Roll dengan angka penonton 300 ribu orang. Hingga Bintang mengecek ke situs jaringan bioskop 21 Kamis (13/4) siang kemarin, Rumah Pondok Indah masih tayang di 13 bioskop yang tersebar dari Jabotabek, Bandung, Pekanbaru, Cilegon, Cirebon hingga Batam.
Segala paparan angka di atas jadi bukti kalau apa yang dikatakan resensi film tak selalu seiring sejalan dengan minat penonton. Kekhawatiran kalau sebuah resensi film (yang tujuannya memberi petunjuk buat calon penonton film, untuk menonton atau tidak) bisa membuat sebuah film tak laku rasanya berlebihan. Lihatlah Berbagi Suami, film yang dipuji di hampir semua media itu (Bintang menulis, Berbagi Suami sebuah “... hiburan berisi yang lengkap. Cerita yang baik, skenario yang bagus, dan para pemain yang berakting hampir sempurna wujud keberhasilan Nia sebagai sutradara atas filmnya ini.”) baru ditonton sekitar 200 ribu orang.
Pertanyaannya, kenapa orang berduyun-duyun menonton Rumah Pondok Indah? Bintang bertanya pada Dini (25), seorang guru SD di Jakarta Selatan yang menonton film itu. “Saya nonton film itu diajak teman,” kata Dini. Ia bercerita, menonton Rumah Pondok Indah bersama 5 temannya. “Teman saya dengar dari temannya kalau film itu seram,” bilang Dini.
Menurut produser Rumah Pondok Indah yang juga bos Indika Entertaiment Shanker RS, jumlah penonton sebanyak itu sesuai perkiraan. Di tayangan behind the scene film itu Shanker berani sesumbar kalau filmnya bakal disesaki penonton. “Saat itu saya bilang, minta maaf bila nanti timbul ketidaknyamanan saat menonton karena mesti mengantre karcis,” bilang Shanker yang dihubungi Bintang via telepon Rabu (12/4) malam.
Shanker mengaku membuat Rumah Pondok Indah dengan dana 4 miliar rupiah. Sebenarnya, angka itu terkesan terlalu dibesar-besarkan. Jika melihat hasil akhir filmnya, Rumah Pondok Indah dibuat dega kamera digital seadanya yang di-blow-up ke pita seluloid 35 milimeter (hal ini dibantah Shanker. Katanya, “Rumah Pondok Indah direkam dengan kamera high definition.”). Bila benar film itu dibuat dengan kamera digital biasa, filmnya paling besar menelan dana sekitar 2 miliar rupiah. Dengan penonton 625 ribu orang, Indika sudah dapat uang sekitar 4,3 miliar rupiah.
Sebenarnya, bukanlah hal istimewa kalau film bertema horor dapat banyak penonton. Sepanjang sejarah perfilman negeri ini, film horor selalu tergolong jadi film laris. Genre ini pun sudah tua. Hanya selang setahun setelah teknologi film ditemukan pada 1985, lahir film horor pertama Le Manoir du Diable (1986) buatan Georges Melies. Ia membangkitkan hantu-hantu dari kuburnya. Di Indonesia sendiri, menurut catatan JB Kristanto di buku Katalog Film Indonesia 1926-2005, yang disebut-sebut film horor pertama yakni Lisa (1971) karya sutradara M. Sharieffudin (ada juga yang menyebut film horor pertama itu Tengkorak Hidoep keluaran 1941). Konon, Lisa tak terlalu sukses di pasaran. Namun, ia jadi peletak dasar buat genre ini. Sejak itu, di mata pecinta film tanah air muncul genre baru buat pilihan menonton.
Genre ini mulai jadi pilihan pembuat film. Di tahun 1970-an film-film bertema horor bermunculan. Puncaknya, terjadi pada dekade 1980-an. Tak kurang sekitar 69 judul film horor buatan anak negeri sendiri disuguhkan ke khalayak. Hasilnya tak megecewaka. Bahka genre ini medatangka banyak penonton. Film macam Nyi Blorong atau Sundel Bolong laris manis ditonton orang. Bintangnya, Suzzanna ditasbihkan jadi ratu film horor—gelar yang seakan tak tergantikan hingga kini.
Setelah Jelangkung lahir, genre horor berkembang dari legenda misteri tradisional ke legenda urban (urban legend). Nah, kisah misteri sebuah rumah di kawasan Pondok Indah tergolong legenda urban. Hal itu mengundang rasa ingin tahu orang kala kisahnya diakat ke layar lebar. “Alasan kami menonton film itu pengin tahu saja kisahnya seperti apa,” kata Dini. Rasa ingin tahu rupanya begitu besar mengendap di enak orang. Hingga berbagai resensi yang mempertanyakan kualitas film itu tak dihiraukan.
Melihat kesuksesan Rumah Pondok Indah, Shanker langsung berniat mengangkat legenda urban lainnya ke layar lebar. Tak tanggung-tanggung, Shanker sedang menyiapkan lebih dari satu film horor berbasis legenda urban. Pada Bintang, Shanker berujar akan membuat film tentang mitos Rumah Kentang, Pastur Jeruk Purut, hingga Rumah Ambulans di Bandung. Kita lihat saja nanti filmnya seperti apa. ***
Artikel Film Soal Cameo di Sinema Indonesia
Penampilan Cameo di Film Indonesia Makin Riuh
Kalau rajin nonton film Indonesia, pasti sering menemuka cameo di mana-mana. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Oleh Ade Irwansyah
Wajah yang tak asing itu muncul di layar. Ia duduk di antara dua wanita, Salma (diperankan Jajang C. Noer) dan seorang aktivis perempuan (diperani Dewi Irawan). Ia tengah membawakan talk show. Hari itu temanya seputar poligami. Salma hadir sebagai perempuan yang pro poligami, perempuan satu lagi bersikap anti poligami. Nah, wanita yang wajahnya tak asing itu seakan jadi penengah. Wanita itu Maudy Koesnaedy.
Potongan adegan itu muncul di film Berbagi Suami. Selain Maudy, film itu disesaki orang-orang berwajah familiar bersliweran. Ada Alvin Adam dan Lula Kamal yang menggosipi Salma di rumah sakit, Ikke Nurjanah menyanyi diawal film, Laudya Chintya Bella menangis sambil bawa bayi di akhir segmen Salma, hingga Aming jadi supir taksi. Kalau kenal siapa saja sineas tanah air, Anda pasti langsung tahu begitu Joko Anwar muncul di film ini (salah seorang pria gemuk berkacamata yang mengaudisi Ming). Atau, kalau Anda kenal kru film ini, beberapa di antara mereka muncul di Berbagi Suami (buat wartawan yang sering berhubungan dengan Kalyana Shira, rumah produksi pembuat Berbagi Suami, penampilan paling jelas saat Ade, publicist Kalyana, jadi awak studio teve tempat talk show yang dibawakan Maudy).
Apa yang kita lihat di atas rasanya jadi hal lazim film Indonesia mutakhir. Kalau Anda terbilang pecinta film nasional yang tak melewatkan setiap film yang beredar buat ditonton, pasti melihat kecenderungan itu. Film Indonesia sekarang bertabur cameo di mana-mana. Bila ingin menyebut beberapa saja, misalnya, di Ekspedisi Madewa, ada Luna Maya jadi mahasiswa. Sedangkan di Garasi, kita lihat sekelabatan orang-orang musik macam pengamat musik (Denny Sakrie) hingga pemain musik (band Cokelat, Iwa K, hingga /Rif). Atau di Ketika (2005, filmnya Deddy Mizwar), ada Rano Karno jadi supir taksi yang mengingatkan kita pada film Taksi yang dibintanginya dulu. Vina Bilang Cinta (2005) juga bertabur cameo, di antaranya ada Iwa K, Vina Panduwinata, Andi Riyanto, Memes, sampai Nania jebolan Indonesian Idol. Sebelumnya, di Arisan! (2003) kita melihat sekelebatan Nicholas Saputra dan Dian Sastro serta Ria Irawan. Sementara itu, di Andai Ia Tahu (2002) kita lihat Ikang Fawzi.
“Makin ke sini, cameo makin banyak,” simpul Ekky Imanjaya, kolumnis di situs Layarperak. Ekky sendiri pernah muncul jadi cameo buat film Kejar Jakarta (2005). “Syutingnya seharian,” bilangnya. Jika ditilik dari maknanya, situs ensiklopedi Wikipedia mendefinisikan cameo appearance (penampilan cameo) sebagai kemunculan sebentar dalam sebuah drama atau bentuk seni pertunjukkan lainnya seperti film atau serial teve. Penampilan sebentar itu tak hanya diisi aktor yang sudah punya nama, melainkan bisa pula diisi sutradara, politikus, atlt, mapun selebriti terkenal lainnya. Cameo biasanya tak muncul dalam credit title karena cuma muncul singkat—bahkan perannya mirip figuran. Cameo bisa pula sebentuk penghargaan buat seseorang atas konribusinya di masa lampau; misalnya, aktor jaman dulu yang diajak main jadi cameo di film remake filmnya terdahulu.
Tradisi cameo di Hollywood menular ke Indonesia
Di Hollywood sana, cameo sudah jadi hal lazim. Umurnya pun nyaris sama tuanya dengan umur perfilman itu sendiri. Cameo sudah muncul saat era film bisu masih berlangsung. Salah satu penampilan cameo pertama terdapat di film Entr’acte keluaran 1924. Film musikal balet karya Rene Clair itu menampilkan Erik Satie, komposer dan pianis musik klasik Prancis yang jadi penata musik balet fim itu. Selanjutnya, oran terkenal silih berganti jadi cameo. Film komedi It’s Mad, Mad, Mad World (1963), misalnya, menampilkan cameo bintang-bintang era itu seperti Jim Backus, Jack Benny, Sterling Holloway, Buster Keaton, Don knotts, Jerry lewis, dan Three Stooges. Bila ingin menyebut film era sekarang, misalnya, ada Brad Pitt muncul sebentar di Confessions of a Dangerous Minds. Sedangkan Michael Jackson muncul di Man in Black II. Sementara itu Austin Powers in Goldmember diisi cameo bintang tenar macam Tom Cruise, Gwyneth Paltrow, Kevin Spacey, Britney Spears, dan John Travolta.
Yang menarik, menyimak sutradara jadi cameo. Yang fenomenal penampilan cameo sutradara legendaris Alfred Hitchcock. Hampir di setiap filmnya, Hitchcock muncul jadi cameo. Belakangan, kebiasaan ini jadi semacam kesenangan tersendiri buat penonton. Sambil menyimak cerita tegang yang disuguhi Hitchcock, penonton mencari-cari kapan sosoknya muncul sekelebatan. Belakangan, sutradara lain juga tampil di film buatannya sendiri. Termasuk di Indonesia. Joko Anwar muncul di filmnya sendiri, Janji Joni (2004); Thomas Nawilis muncul dua kali di film buatannya sendiri, Gue Kapok Jatuh Cinta; sedangkan Hanung Bramantyo muncul di bagian akhir Jomblo.
Buat pengamat film Eric Sasono, cameo bukanlah hal yang mesti yang diributkan. “Itu hal biasa,” katanya. Baginya, penampilan cameo bukanlah bagian penting dari sebuah film. “Fokus utama tetap pada penceritaan,” ujar Eric. Kendati cerita tetap jadi fokus utama, sekarang makin banyak film pakai cameo. “Cameo bisa jadi nilai tambah daya jual sebuah film,” kata Ekky. “Ada kecenderungan di film maker kita, rasanya hebat kalau filmnya pakai banyak cameo. Itu artinya, ia punya banyak teman artis.”
Alasan pakai cameo
Memang, kebanyakan pembuat film memakai cameo selebriti teman-temannya sendiri. Hal itu diakui Nia Dinata, sutradara Arisan! dan Berbagi Suami. “Saya lebih senang pakai cameo teman-teman saya ketimbang pakai figuran tak dikenal,” aku Nia. Alasannya, Nia bilang, “Saya tak mau beli kucing dalam karung.” Memakai figuran yang tak dikenal, ia ibaratkan seperti itu. Artinya, Nia tak tahu kualitas akting figuran-figuran tak dikenal. “Saya pernah punya pengalaman buruk dengan figuran. Mereka malah merusak film saya, mebuang-buang rol film, cuma buat mengarakan mereka. Mending pakai aktor terkenal yang ketahuan jelas kualitas aktingnya,” jelas Nia panjang. Ia mencontohkan buat mensyut adegan wanita yang berselingkuh di toilet di Arisan!, Nia memakai Ria Irawan. “Ria langsung tahu saya maunya apa, tak perlu diarahkan macam-macam. Kalau pakai figuran pasti merepotkan,” ujar Nia.
Sementara itu, buat Joko Anwar film yang pakai cameo teman-teman artis sendiri terjadi lantaran bujet film yang dimiliki si pembuat film rendah. “Kalau pakai teman-teman itu bisa nggak perlu bayar,” katanya. Selain memakai cameo teman-temannya, Joko juga meminta beberapa krunya ikutan main. Buat urusan bayar-membayar para figuran ternama itu memang dibayar a la kadarnya. “Kami bayar seperti pakai figuran biasa. Kalau kami punya bujet syuting hari itu jumlahnya sekian, ya kami beri sejumlah itu,” ungkap Nia. Jika demikian adanya tren cameo rasanya takkan berhenti. Hanya saja, kata Joko, cameo paling tepat buat film-film aksi atau komedi. “Buat film serius rasanya nggak pas kalau ada cameo,” katanya. Ia mencontohkan, tak ada cameo di film 9 Naga maupun film-film Garin Nugroho yang terhitung film seni. “Kalau ada bakal merusak isi film itu,” ujar Joko.***
Dimuat Bintang Indonesia No. 781/tahun xvi/minggu kedua April 2006
Kalau rajin nonton film Indonesia, pasti sering menemuka cameo di mana-mana. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Oleh Ade Irwansyah
Wajah yang tak asing itu muncul di layar. Ia duduk di antara dua wanita, Salma (diperankan Jajang C. Noer) dan seorang aktivis perempuan (diperani Dewi Irawan). Ia tengah membawakan talk show. Hari itu temanya seputar poligami. Salma hadir sebagai perempuan yang pro poligami, perempuan satu lagi bersikap anti poligami. Nah, wanita yang wajahnya tak asing itu seakan jadi penengah. Wanita itu Maudy Koesnaedy.
Potongan adegan itu muncul di film Berbagi Suami. Selain Maudy, film itu disesaki orang-orang berwajah familiar bersliweran. Ada Alvin Adam dan Lula Kamal yang menggosipi Salma di rumah sakit, Ikke Nurjanah menyanyi diawal film, Laudya Chintya Bella menangis sambil bawa bayi di akhir segmen Salma, hingga Aming jadi supir taksi. Kalau kenal siapa saja sineas tanah air, Anda pasti langsung tahu begitu Joko Anwar muncul di film ini (salah seorang pria gemuk berkacamata yang mengaudisi Ming). Atau, kalau Anda kenal kru film ini, beberapa di antara mereka muncul di Berbagi Suami (buat wartawan yang sering berhubungan dengan Kalyana Shira, rumah produksi pembuat Berbagi Suami, penampilan paling jelas saat Ade, publicist Kalyana, jadi awak studio teve tempat talk show yang dibawakan Maudy).
Apa yang kita lihat di atas rasanya jadi hal lazim film Indonesia mutakhir. Kalau Anda terbilang pecinta film nasional yang tak melewatkan setiap film yang beredar buat ditonton, pasti melihat kecenderungan itu. Film Indonesia sekarang bertabur cameo di mana-mana. Bila ingin menyebut beberapa saja, misalnya, di Ekspedisi Madewa, ada Luna Maya jadi mahasiswa. Sedangkan di Garasi, kita lihat sekelabatan orang-orang musik macam pengamat musik (Denny Sakrie) hingga pemain musik (band Cokelat, Iwa K, hingga /Rif). Atau di Ketika (2005, filmnya Deddy Mizwar), ada Rano Karno jadi supir taksi yang mengingatkan kita pada film Taksi yang dibintanginya dulu. Vina Bilang Cinta (2005) juga bertabur cameo, di antaranya ada Iwa K, Vina Panduwinata, Andi Riyanto, Memes, sampai Nania jebolan Indonesian Idol. Sebelumnya, di Arisan! (2003) kita melihat sekelebatan Nicholas Saputra dan Dian Sastro serta Ria Irawan. Sementara itu, di Andai Ia Tahu (2002) kita lihat Ikang Fawzi.
“Makin ke sini, cameo makin banyak,” simpul Ekky Imanjaya, kolumnis di situs Layarperak. Ekky sendiri pernah muncul jadi cameo buat film Kejar Jakarta (2005). “Syutingnya seharian,” bilangnya. Jika ditilik dari maknanya, situs ensiklopedi Wikipedia mendefinisikan cameo appearance (penampilan cameo) sebagai kemunculan sebentar dalam sebuah drama atau bentuk seni pertunjukkan lainnya seperti film atau serial teve. Penampilan sebentar itu tak hanya diisi aktor yang sudah punya nama, melainkan bisa pula diisi sutradara, politikus, atlt, mapun selebriti terkenal lainnya. Cameo biasanya tak muncul dalam credit title karena cuma muncul singkat—bahkan perannya mirip figuran. Cameo bisa pula sebentuk penghargaan buat seseorang atas konribusinya di masa lampau; misalnya, aktor jaman dulu yang diajak main jadi cameo di film remake filmnya terdahulu.
Tradisi cameo di Hollywood menular ke Indonesia
Di Hollywood sana, cameo sudah jadi hal lazim. Umurnya pun nyaris sama tuanya dengan umur perfilman itu sendiri. Cameo sudah muncul saat era film bisu masih berlangsung. Salah satu penampilan cameo pertama terdapat di film Entr’acte keluaran 1924. Film musikal balet karya Rene Clair itu menampilkan Erik Satie, komposer dan pianis musik klasik Prancis yang jadi penata musik balet fim itu. Selanjutnya, oran terkenal silih berganti jadi cameo. Film komedi It’s Mad, Mad, Mad World (1963), misalnya, menampilkan cameo bintang-bintang era itu seperti Jim Backus, Jack Benny, Sterling Holloway, Buster Keaton, Don knotts, Jerry lewis, dan Three Stooges. Bila ingin menyebut film era sekarang, misalnya, ada Brad Pitt muncul sebentar di Confessions of a Dangerous Minds. Sedangkan Michael Jackson muncul di Man in Black II. Sementara itu Austin Powers in Goldmember diisi cameo bintang tenar macam Tom Cruise, Gwyneth Paltrow, Kevin Spacey, Britney Spears, dan John Travolta.
Yang menarik, menyimak sutradara jadi cameo. Yang fenomenal penampilan cameo sutradara legendaris Alfred Hitchcock. Hampir di setiap filmnya, Hitchcock muncul jadi cameo. Belakangan, kebiasaan ini jadi semacam kesenangan tersendiri buat penonton. Sambil menyimak cerita tegang yang disuguhi Hitchcock, penonton mencari-cari kapan sosoknya muncul sekelebatan. Belakangan, sutradara lain juga tampil di film buatannya sendiri. Termasuk di Indonesia. Joko Anwar muncul di filmnya sendiri, Janji Joni (2004); Thomas Nawilis muncul dua kali di film buatannya sendiri, Gue Kapok Jatuh Cinta; sedangkan Hanung Bramantyo muncul di bagian akhir Jomblo.
Buat pengamat film Eric Sasono, cameo bukanlah hal yang mesti yang diributkan. “Itu hal biasa,” katanya. Baginya, penampilan cameo bukanlah bagian penting dari sebuah film. “Fokus utama tetap pada penceritaan,” ujar Eric. Kendati cerita tetap jadi fokus utama, sekarang makin banyak film pakai cameo. “Cameo bisa jadi nilai tambah daya jual sebuah film,” kata Ekky. “Ada kecenderungan di film maker kita, rasanya hebat kalau filmnya pakai banyak cameo. Itu artinya, ia punya banyak teman artis.”
Alasan pakai cameo
Memang, kebanyakan pembuat film memakai cameo selebriti teman-temannya sendiri. Hal itu diakui Nia Dinata, sutradara Arisan! dan Berbagi Suami. “Saya lebih senang pakai cameo teman-teman saya ketimbang pakai figuran tak dikenal,” aku Nia. Alasannya, Nia bilang, “Saya tak mau beli kucing dalam karung.” Memakai figuran yang tak dikenal, ia ibaratkan seperti itu. Artinya, Nia tak tahu kualitas akting figuran-figuran tak dikenal. “Saya pernah punya pengalaman buruk dengan figuran. Mereka malah merusak film saya, mebuang-buang rol film, cuma buat mengarakan mereka. Mending pakai aktor terkenal yang ketahuan jelas kualitas aktingnya,” jelas Nia panjang. Ia mencontohkan buat mensyut adegan wanita yang berselingkuh di toilet di Arisan!, Nia memakai Ria Irawan. “Ria langsung tahu saya maunya apa, tak perlu diarahkan macam-macam. Kalau pakai figuran pasti merepotkan,” ujar Nia.
Sementara itu, buat Joko Anwar film yang pakai cameo teman-teman artis sendiri terjadi lantaran bujet film yang dimiliki si pembuat film rendah. “Kalau pakai teman-teman itu bisa nggak perlu bayar,” katanya. Selain memakai cameo teman-temannya, Joko juga meminta beberapa krunya ikutan main. Buat urusan bayar-membayar para figuran ternama itu memang dibayar a la kadarnya. “Kami bayar seperti pakai figuran biasa. Kalau kami punya bujet syuting hari itu jumlahnya sekian, ya kami beri sejumlah itu,” ungkap Nia. Jika demikian adanya tren cameo rasanya takkan berhenti. Hanya saja, kata Joko, cameo paling tepat buat film-film aksi atau komedi. “Buat film serius rasanya nggak pas kalau ada cameo,” katanya. Ia mencontohkan, tak ada cameo di film 9 Naga maupun film-film Garin Nugroho yang terhitung film seni. “Kalau ada bakal merusak isi film itu,” ujar Joko.***
Dimuat Bintang Indonesia No. 781/tahun xvi/minggu kedua April 2006
Friday, April 14, 2006
Banyak Film, Penonton Sedikit
Banyak Film Beredar, Tapi Penonton Seret
Hingga bulan ini tak kurang sudah 10 film nasional beredar tahun ini. Tak semuanya dapat penonton. Film apa yang paling banyak ditonton hingga saat ini?
Oleh Ade Irwansyah
Di bulan Maret yang baru lewat kemarin, insan film tanah air merayakan hajatan besar: hari film nasional. Hari itu jatuh 30 Maret. Pada hari itu, di tahun 1950, Usmar Ismail memulai syuting film berjudul Darah dan Doa (The Long March). Film itu jadi film pertama yang diproduksi seluruhnya oleh anak negeri sendiri. Usmar Ismail jadi sutradara sekaligus penulis skenario. Kru lainnya juga orang Indonesia. Film itu juga dibuat perusahaan milik Usmar, Perfini. Setahun sebelumnya, Usmar memang membuat Tjitra dan Harta Karun, tapi film itu masih banyak dicampuri orang Belanda yang jadi produser dan juru kamera.
Setelah lewat dari 56 tahun, dunia perfilman nasional mengalami pasang surut. Film nasional pernah mengalami booming pada 1970-an hingga kemudian mati suri selama lebih dari 10 tahun pada 1990-an. Baru pada 2000-an film nasional kembali bangkit diawali Jelangkung (1999) dan Petualangan Sherina (2000). Kedua film itu masing-masing memikat sekitar 1,6 juta orang datang ke bioskop. Sejak itu gairah membuat film bioskop kembali bangkit. Satu-persatu film nasional bermunculan di bioskop. Tahun ini bukan hal aneh lagi kalau di satu sineplek bisa nampang sekaligus lebih dari satu judul. Bahkan pernah suatu kali, belum lama dari sekarang, di satu sineplek yang memajang 6 layar, bisa 4 layar di antaranya diisi film Indonesia.
Hal itu dimungkinkan lantaran hampir setiap pekan nongol film Indonesia. Perhatikan saja, sejak 9 Naga rilis Januari kemarin, film-film nasional beredar silih berganti. Setelah 9 Naga muncul Garasi, Realita Cinta dan Rock n Roll, Gue Kapok Jatuh Cinta, Jomblo, Jatuh Cinta Lagi, Ekspedisi Madewa, Rumah Pondok Indah, Ruang, dan terakhir Berbagi Suami.
Belum ada yang tembus 1 juta penonton
Lantas, apa hal itu jadi pertanda kalau kegairahan film nasional sedang meninggi? Bolehlah bilang begitu. Menurut pengamat film Eric Sasono, setelah melihat kesuksesan film-film nasional seperti Ada Apa dengan Cinta? maupun Eiffel I’m in Love, timbul kegairahan membuat film dari sineas tanah air. Namun demikian, hal itu rupanya tak sebanding kegairahan menonton di masyarakat. Rasanya, belum ada film yang meledak sampai ditonton 3 juta orang seperti Eiffel I’m in Love 3 tahun lalu. Terakhir, film yang ditonton 1 juta orang antara lain cuma Virgin (2005) dan Apa Artinya Cinta (2005). Film Virgin yang dibintangi Laudya Chintya Bella ditonton 1,4 juta orang. Sedangkan Apa Artinya Cinta yang kembali mempertemukan Shandy Aulia dan Samuel Rizal (duet ini sebelumnya bertemu di Eiffel I’m in Love) ditonton sedikit lebih banyak dengan jumlah sekitar 1,5 juta orang.
Menurut laporan yang diterima Bintang, sampai saat ini belum ada lagi film nasional yang tembus sampai 1 juta penonton. Angka itu pula rasanya tak pantas lagi jadi patokan sebuah film dikatakan laris—lantaran amat jarang terjadi lagi. “Sekarang dapat 200-300 ribu penonton saja sudah bagus,” ujar wartawan film senior Yan Widjaya pada Bintang, Selasa (28/3) malam. Gejala ini secara terpisah dibilang Eric lantaran, “pasar penonton film Indonesia belum tumbuh benar,” katanya. “Belum ada ledakan penonton seperti pada 2001, 2002, atau 2003.”
Eric juga bilang, penonton Indonesia itu paling susah ditebak apa maunya. Disuguhi film-film dengan tema beragam penonton tanah air tetap ogah-ogahan menonton. “Akhirnya, para produser seperti main tebak-tebakan,” ujar Eric, “Mereka lempar satu film, lalu menebak-nebak kira-kira disukai atau tidak.” Lantas film apa yang paling disukai penonton Indonesia di tahun ini? Berdasar data yang dihimpun Bintang, film horor Rumah Pondok Indah produksi Indika Entertainment, paling banyak menangguk penonton. Angkanya, 550 ribu penonton. Ini tergolong angka fantastis. Sebab, filmnya dibuat seadanya dengan kamera digital. Dana pembuatannya tak sampai 2 miliar rupiah. “Produsernya sangat surprise,” bilang Yan Widjaya, “Dia bilang pada saya, setelah mencapai 300 ribu penonton dia sudah pasrah. Ternyata filmnya malah diputar terus.” Sampai pekan kemarin, Rumah Pondok Indah sudah beredar 6 minggu sejak pertama dirilis akhuir Februaeri kemarin. Di bawah Rumah Pondok Indah ada Jomblo yang sudah ditonton sekitar 400 ribu orang. Di bawahnya lagi ada Realita Cinta dan Rock anfd Roll yang sudah ditonton sekitar 300 ribu orang.
Film siap edar April dan Mei
Selain ketiga film di atas, hampir semua film Indonesia yang beredar sampai Maret kemarin tak banyak ditonton orang. Angka penonton film-film itu rata-rata tak sampai 100 ribu penonton. Jika demikian adanya, bisa jadi kegairahan produser membuat film bisa surut. Sebab, siapa lagi yang mau mengeluarkan uang sampai 7 miliar rupiah untuk membuat film, sementara penontonnya cuma 100 ribu orang? Hitung-hitungannya begini: dengan keuntungan dari tiket rata-rata 7 ribu rupiah, lalu dikali 100 ribu penonton, produser cuma dapat uang tak lebih dari 700 juta rupiah. Jika sudah begitu, menurut Yan Widjaya, hampir pasti uang produser takkan balik selamanya. “Nggak akan pernah sampai BEP (break event point, titik impas),” katanya. Lantas, ada kecenderungan dari produser untuk menekan bujet pembuatan film tak sampai 3 atau 4 miliar rupiah. “Hal itu sudah dilakukan beberapa produser,” bilang Eric. Dengan bujet sejumlah itu, produser bisa sampai titik impas bila filmnya ditonton minimal 300 ribu orang—syukur-syukur bisa sampai 500 ribu orang.
Namun ya itu tadi, penonton film Indonesia susah ditebak apa maunya. Kendati begitu, bila menilik genre 3 film laris saat ini yang disebut di atas, yang disuka penonton tetaplah film-film horor (Rumah Pondok Indah) dan film-film remaja (Jomblo, Realita Cinta dan Rock and Roll). Jika film horor dan remaja masih diminati penonton, rasanya tema-tema itu akan semakin sering dibuat. Sampai akhir tahun nanti, kira-kira akan beredar 30-an judul film. Bulan April ini ada beberapa yang bakal liris—di antaranya Maskot. Namun, ramal Yan Widjaya film-film yang dirilis April ini pun rasanya takkan mampu menjaring banyak penonton. Yang patut ditunggu justru bulan Mei depan. Saat itu film Nirina Zubir dan Irwansyah berjudul Heart bakal beredar. Itu film kisah percintaan yang mendayu-dayu. Selain Heart, ada pula Red Lentern (Lentera Merah) yang disutradarai Hanung Bramantyo dan dibintangi Laudya Chintya Bella serta Ekskul yang disutradarai Nayato Fionuala. Kita lihat saja apa film-film itu mampu bicara banyak.***
Hingga bulan ini tak kurang sudah 10 film nasional beredar tahun ini. Tak semuanya dapat penonton. Film apa yang paling banyak ditonton hingga saat ini?
Oleh Ade Irwansyah
Di bulan Maret yang baru lewat kemarin, insan film tanah air merayakan hajatan besar: hari film nasional. Hari itu jatuh 30 Maret. Pada hari itu, di tahun 1950, Usmar Ismail memulai syuting film berjudul Darah dan Doa (The Long March). Film itu jadi film pertama yang diproduksi seluruhnya oleh anak negeri sendiri. Usmar Ismail jadi sutradara sekaligus penulis skenario. Kru lainnya juga orang Indonesia. Film itu juga dibuat perusahaan milik Usmar, Perfini. Setahun sebelumnya, Usmar memang membuat Tjitra dan Harta Karun, tapi film itu masih banyak dicampuri orang Belanda yang jadi produser dan juru kamera.
Setelah lewat dari 56 tahun, dunia perfilman nasional mengalami pasang surut. Film nasional pernah mengalami booming pada 1970-an hingga kemudian mati suri selama lebih dari 10 tahun pada 1990-an. Baru pada 2000-an film nasional kembali bangkit diawali Jelangkung (1999) dan Petualangan Sherina (2000). Kedua film itu masing-masing memikat sekitar 1,6 juta orang datang ke bioskop. Sejak itu gairah membuat film bioskop kembali bangkit. Satu-persatu film nasional bermunculan di bioskop. Tahun ini bukan hal aneh lagi kalau di satu sineplek bisa nampang sekaligus lebih dari satu judul. Bahkan pernah suatu kali, belum lama dari sekarang, di satu sineplek yang memajang 6 layar, bisa 4 layar di antaranya diisi film Indonesia.
Hal itu dimungkinkan lantaran hampir setiap pekan nongol film Indonesia. Perhatikan saja, sejak 9 Naga rilis Januari kemarin, film-film nasional beredar silih berganti. Setelah 9 Naga muncul Garasi, Realita Cinta dan Rock n Roll, Gue Kapok Jatuh Cinta, Jomblo, Jatuh Cinta Lagi, Ekspedisi Madewa, Rumah Pondok Indah, Ruang, dan terakhir Berbagi Suami.
Belum ada yang tembus 1 juta penonton
Lantas, apa hal itu jadi pertanda kalau kegairahan film nasional sedang meninggi? Bolehlah bilang begitu. Menurut pengamat film Eric Sasono, setelah melihat kesuksesan film-film nasional seperti Ada Apa dengan Cinta? maupun Eiffel I’m in Love, timbul kegairahan membuat film dari sineas tanah air. Namun demikian, hal itu rupanya tak sebanding kegairahan menonton di masyarakat. Rasanya, belum ada film yang meledak sampai ditonton 3 juta orang seperti Eiffel I’m in Love 3 tahun lalu. Terakhir, film yang ditonton 1 juta orang antara lain cuma Virgin (2005) dan Apa Artinya Cinta (2005). Film Virgin yang dibintangi Laudya Chintya Bella ditonton 1,4 juta orang. Sedangkan Apa Artinya Cinta yang kembali mempertemukan Shandy Aulia dan Samuel Rizal (duet ini sebelumnya bertemu di Eiffel I’m in Love) ditonton sedikit lebih banyak dengan jumlah sekitar 1,5 juta orang.
Menurut laporan yang diterima Bintang, sampai saat ini belum ada lagi film nasional yang tembus sampai 1 juta penonton. Angka itu pula rasanya tak pantas lagi jadi patokan sebuah film dikatakan laris—lantaran amat jarang terjadi lagi. “Sekarang dapat 200-300 ribu penonton saja sudah bagus,” ujar wartawan film senior Yan Widjaya pada Bintang, Selasa (28/3) malam. Gejala ini secara terpisah dibilang Eric lantaran, “pasar penonton film Indonesia belum tumbuh benar,” katanya. “Belum ada ledakan penonton seperti pada 2001, 2002, atau 2003.”
Eric juga bilang, penonton Indonesia itu paling susah ditebak apa maunya. Disuguhi film-film dengan tema beragam penonton tanah air tetap ogah-ogahan menonton. “Akhirnya, para produser seperti main tebak-tebakan,” ujar Eric, “Mereka lempar satu film, lalu menebak-nebak kira-kira disukai atau tidak.” Lantas film apa yang paling disukai penonton Indonesia di tahun ini? Berdasar data yang dihimpun Bintang, film horor Rumah Pondok Indah produksi Indika Entertainment, paling banyak menangguk penonton. Angkanya, 550 ribu penonton. Ini tergolong angka fantastis. Sebab, filmnya dibuat seadanya dengan kamera digital. Dana pembuatannya tak sampai 2 miliar rupiah. “Produsernya sangat surprise,” bilang Yan Widjaya, “Dia bilang pada saya, setelah mencapai 300 ribu penonton dia sudah pasrah. Ternyata filmnya malah diputar terus.” Sampai pekan kemarin, Rumah Pondok Indah sudah beredar 6 minggu sejak pertama dirilis akhuir Februaeri kemarin. Di bawah Rumah Pondok Indah ada Jomblo yang sudah ditonton sekitar 400 ribu orang. Di bawahnya lagi ada Realita Cinta dan Rock anfd Roll yang sudah ditonton sekitar 300 ribu orang.
Film siap edar April dan Mei
Selain ketiga film di atas, hampir semua film Indonesia yang beredar sampai Maret kemarin tak banyak ditonton orang. Angka penonton film-film itu rata-rata tak sampai 100 ribu penonton. Jika demikian adanya, bisa jadi kegairahan produser membuat film bisa surut. Sebab, siapa lagi yang mau mengeluarkan uang sampai 7 miliar rupiah untuk membuat film, sementara penontonnya cuma 100 ribu orang? Hitung-hitungannya begini: dengan keuntungan dari tiket rata-rata 7 ribu rupiah, lalu dikali 100 ribu penonton, produser cuma dapat uang tak lebih dari 700 juta rupiah. Jika sudah begitu, menurut Yan Widjaya, hampir pasti uang produser takkan balik selamanya. “Nggak akan pernah sampai BEP (break event point, titik impas),” katanya. Lantas, ada kecenderungan dari produser untuk menekan bujet pembuatan film tak sampai 3 atau 4 miliar rupiah. “Hal itu sudah dilakukan beberapa produser,” bilang Eric. Dengan bujet sejumlah itu, produser bisa sampai titik impas bila filmnya ditonton minimal 300 ribu orang—syukur-syukur bisa sampai 500 ribu orang.
Namun ya itu tadi, penonton film Indonesia susah ditebak apa maunya. Kendati begitu, bila menilik genre 3 film laris saat ini yang disebut di atas, yang disuka penonton tetaplah film-film horor (Rumah Pondok Indah) dan film-film remaja (Jomblo, Realita Cinta dan Rock and Roll). Jika film horor dan remaja masih diminati penonton, rasanya tema-tema itu akan semakin sering dibuat. Sampai akhir tahun nanti, kira-kira akan beredar 30-an judul film. Bulan April ini ada beberapa yang bakal liris—di antaranya Maskot. Namun, ramal Yan Widjaya film-film yang dirilis April ini pun rasanya takkan mampu menjaring banyak penonton. Yang patut ditunggu justru bulan Mei depan. Saat itu film Nirina Zubir dan Irwansyah berjudul Heart bakal beredar. Itu film kisah percintaan yang mendayu-dayu. Selain Heart, ada pula Red Lentern (Lentera Merah) yang disutradarai Hanung Bramantyo dan dibintangi Laudya Chintya Bella serta Ekskul yang disutradarai Nayato Fionuala. Kita lihat saja apa film-film itu mampu bicara banyak.***
Resensi Film "Berbagi Suami"
Berbagi Suami
Mengangkat Realitas Poligami di Masyarakat
Ini kisah tentang 3 wanita. Wanita pertama Salma (Jajang C. Noer), seorang dokter ahli kandungan yang bersuamikan seorang politisi (?) sekaligus pemuka agama yang dipanggil Pak Haji (El Manik). Wanita kedua Siti (Shanty), seorang gadis dusun yang hijrah ke kota, dan mesti menetap bersama Pak Lik-nya (Lukman Sardi sekali lagi tampil bagus). Wanita ketiga bernama Ming (diperani Dominique, pendatang baru yang mencuri perhatian), seorang gadis keturunan China nan seksi yang jadi pelayan restoran bebek panggang milik Koh Abun (Tio Pakusadewo).
Salma digambarkan sebagai sosok istri yang taat dan setia pada suami—sesuai tuntutan agama. Termasuk saat suaminya memilih poligami, menikahi wanita lain bernama Indri (Nungky Kusumastuti). Dalam hati ia marah. Tapi Salma tak sampai meminta cerai. Hanya, setiap kali masuk ke rumah, Salma meminta Pak Haji mandi besar lagi. Ia sesekali hanya menyindir Pak Haji. Sikap itu membuat anak Salma, Nadim (Winky Wiryawan) jadi apatis. Ia tahu ibunya diperlakukan tak adil. Nadim amat menentang poligami. Suatu kali, Pak Haji diserang stroke. Ia lumpuh. Salma berpikir inilah saatnya ia bisa memiliki suaminya seutuhnya, merawatnya. Nyatanya tidak. Istri-istri Pak Haji yang lain (belakangan ketahuan Pak Haji punya istri lain selain Salma dan Indri) berebutan ingin merawat Pak Haji. Rumah Salma jadi riuh. Pak Haji yang tak berdaya dikelilingi istri-istrinya yang setia merawat. Sebuah pemandangan absurd. Salma dan Nadim hanya bisa saling pandang. Bahkan saat Pak Haji akhirnya meninggal. “Abah (Bapak) memang paling suka memberi kejutan, ya?” kata Nadim.
Nasib Siti lain lagi. Ia diajak Pak Lik-nya ke Jakarta buat mengubah nasib. Sebenarnya, Siti termakan omongan Pak Lik. Pria berkumis tebal itu ternyata cuma sopir sebuah rumah produksi—bukan artis sinetron atau bintang film. Tapi, Siti sudah telanjur sampai Jakarta. Ia cuma punya Pak Lik tempat berlindung. Di rumah Pak Lik, Siti menemukan pemandangan lebih absurd lagi. Pak Lik hidup bersama kedua istrinya, Sri (Ria Irawan) dan Dwi (Rieke Dyah Pitaloka). Semuanya hidup berdesakan dalam rumah sempit bersama anak-anak dari Sri dan Dwi. Secara bergantian Pak Lik tidur bersama istri yang ia inginkan. Belakangan ketahuan maksud Pak Lik mengajak Siti ke kota: Siti akan jadi istri ketiganya. Saat menikah Siti cuma bisa menangis. Pak Lik tersenyum puas. Maka, Siti pun menjalani ritual seperti kedua istri lainnya, bergiliran melayani nafsu birahi Pak Lik.
Sementara itu masih ada Ming yang harus diceritakan. Di restoran tempatnya bekerja, Ming disukai majikannya, Koh Abun. Ming diam-diam jadi kekasih Koh Abun. Ia begitu disayang Koh Abun. Sampai-sampai Koh Abun membelikan Ming apartemen dan mobil. Saat istri Koh Abun, Cik Linda (Ira Maya Sopha) pergi ke Amerika menemui anak-anaknya, Ming makin sering bersama Koh Abun. Ming melupakan seorang sutradara muda yang juga mencintainya. Namun, kebahagiaan Ming berakhir kala Cik Linda tahu. Ming diusir dari apartemennya.
Baik Salma, Siti, dan Ming disatukan nasib: sama-sama jadi korban poligami kaum Adam.
Kedukaan wanita-wanita itu yang ingin disampaikan Nia Dinata lewat film terbarunya Berbagi Suami—setelah Ca Bau Kan (2002) dan Arisan! (2003). Konon, Nia yang jadi sutradara dan penulis skenario serius meriset fenomena poligami selama 1,5 tahun. Riset selama itu menggiring Nia pada kesimpulan tak hanya mengangkat satu cerita dari sisi kehidupan poligami. Tapi 3 sekaligus. Masing-masing dengan realitasnya sendiri-sendiri.
Syahdan, cerita pun dibagi dalam 3 segmen. Segmen pertama berakhir saat Pak Haji meninggal dunia. Segmen kedua berakhir kala Siti dan Dwi kabur mengajak anak-anaknya dari rumah Pak Lik, meninggalkan Sri yang memanggil-manggil. Keabsurdan lain muncul di rumah itu saat Siti dan Dwi menunjukkan rasa saling tertarik. Benih-benih cinta tumbuh di antara mereka. Sementara itu, segmen ketiga berakhir saat Ming kembali hidup di kontrakan sempit. Membagi cerita dalam beberapa segmen bukan yang pertama dilakukan sineas negeri ini. Sebelumnya, 4 sutradara muda negeri ini (Rizal Mantovani, Nan T. Achnas, Mira Lesmana, dan Riri Riza) pernah mencoba mempraktekkannya dalam Kuldesak (1999). Film yang dianggap penanda kebangkitan film nasional itu membagi film dalam 4 cerita yang tak saling berkaitan. Kini, cara serupa dipakai Nia.
Sebelumnya juga, sutradara Steven Soderberh membagi cerita seputar realitas peredaran narkoba dari AS ke Meksiko lewat Traffic (2000) dalam 3 kisah berbeda. Tak ada kaitan antar cerita, para tokoh hanya sekelebatan muncul di segmen cerita lain. Buat membedakan ketiga cerita itu, Soderbergh membagi kisahnya dalam 3 warna berbeda. Ada warna keemasan, sepia, dan biru. Walau cerita berganti-ganti, penonton tak kelelahan mengikuti. Editing film ini begitu prima. Nia tak mengadopsi cara Soderbergh. Bisa jadi Nia tak cukup percaya diri, takut penonton bingung mengikuti alur cerita. Rupanya Nia terlalu sayang pada pesan yang ingin ia sampaikan. Lewat Berbagi Suami, ia ingin menyampaikan realitas poligami yang ada di masyarakat. Pesannya, poligami ya merepotkan, poligami ya membuat wanita menderita, poligami (dalam bentuknya pada segmen kedua) bisa menggiring wanita jadi lesbian! Pesan-pesan itu mungkin akan terasa berat bila disampaikan dengan penceritaan serius. Namun, dengan jenial Nia membalutnya jadi komedi satir. Walhasil, Anda akan dibuat tertawa getir, kemudian memikirkan maknanya dalam-dalam. Menonton Berbagi Suami Anda disuguhi hiburan berisi yang lengkap. Cerita yang baik, skenario yang bagus, dan para pemain yang berakting hampir sempurna wujud keberhasilan Nia sebagai sutradara atas filmnya ini. Berbagi Suami satu tingkat lebih bagus ketimbang Arisan! dan berkali-kali lebih bagus dibanding Ca Bau Kan. ***
Mengangkat Realitas Poligami di Masyarakat
Oleh Ade Irwansyah
Salma digambarkan sebagai sosok istri yang taat dan setia pada suami—sesuai tuntutan agama. Termasuk saat suaminya memilih poligami, menikahi wanita lain bernama Indri (Nungky Kusumastuti). Dalam hati ia marah. Tapi Salma tak sampai meminta cerai. Hanya, setiap kali masuk ke rumah, Salma meminta Pak Haji mandi besar lagi. Ia sesekali hanya menyindir Pak Haji. Sikap itu membuat anak Salma, Nadim (Winky Wiryawan) jadi apatis. Ia tahu ibunya diperlakukan tak adil. Nadim amat menentang poligami. Suatu kali, Pak Haji diserang stroke. Ia lumpuh. Salma berpikir inilah saatnya ia bisa memiliki suaminya seutuhnya, merawatnya. Nyatanya tidak. Istri-istri Pak Haji yang lain (belakangan ketahuan Pak Haji punya istri lain selain Salma dan Indri) berebutan ingin merawat Pak Haji. Rumah Salma jadi riuh. Pak Haji yang tak berdaya dikelilingi istri-istrinya yang setia merawat. Sebuah pemandangan absurd. Salma dan Nadim hanya bisa saling pandang. Bahkan saat Pak Haji akhirnya meninggal. “Abah (Bapak) memang paling suka memberi kejutan, ya?” kata Nadim.
Nasib Siti lain lagi. Ia diajak Pak Lik-nya ke Jakarta buat mengubah nasib. Sebenarnya, Siti termakan omongan Pak Lik. Pria berkumis tebal itu ternyata cuma sopir sebuah rumah produksi—bukan artis sinetron atau bintang film. Tapi, Siti sudah telanjur sampai Jakarta. Ia cuma punya Pak Lik tempat berlindung. Di rumah Pak Lik, Siti menemukan pemandangan lebih absurd lagi. Pak Lik hidup bersama kedua istrinya, Sri (Ria Irawan) dan Dwi (Rieke Dyah Pitaloka). Semuanya hidup berdesakan dalam rumah sempit bersama anak-anak dari Sri dan Dwi. Secara bergantian Pak Lik tidur bersama istri yang ia inginkan. Belakangan ketahuan maksud Pak Lik mengajak Siti ke kota: Siti akan jadi istri ketiganya. Saat menikah Siti cuma bisa menangis. Pak Lik tersenyum puas. Maka, Siti pun menjalani ritual seperti kedua istri lainnya, bergiliran melayani nafsu birahi Pak Lik.
Sementara itu masih ada Ming yang harus diceritakan. Di restoran tempatnya bekerja, Ming disukai majikannya, Koh Abun. Ming diam-diam jadi kekasih Koh Abun. Ia begitu disayang Koh Abun. Sampai-sampai Koh Abun membelikan Ming apartemen dan mobil. Saat istri Koh Abun, Cik Linda (Ira Maya Sopha) pergi ke Amerika menemui anak-anaknya, Ming makin sering bersama Koh Abun. Ming melupakan seorang sutradara muda yang juga mencintainya. Namun, kebahagiaan Ming berakhir kala Cik Linda tahu. Ming diusir dari apartemennya.
Baik Salma, Siti, dan Ming disatukan nasib: sama-sama jadi korban poligami kaum Adam.
Kedukaan wanita-wanita itu yang ingin disampaikan Nia Dinata lewat film terbarunya Berbagi Suami—setelah Ca Bau Kan (2002) dan Arisan! (2003). Konon, Nia yang jadi sutradara dan penulis skenario serius meriset fenomena poligami selama 1,5 tahun. Riset selama itu menggiring Nia pada kesimpulan tak hanya mengangkat satu cerita dari sisi kehidupan poligami. Tapi 3 sekaligus. Masing-masing dengan realitasnya sendiri-sendiri.
Syahdan, cerita pun dibagi dalam 3 segmen. Segmen pertama berakhir saat Pak Haji meninggal dunia. Segmen kedua berakhir kala Siti dan Dwi kabur mengajak anak-anaknya dari rumah Pak Lik, meninggalkan Sri yang memanggil-manggil. Keabsurdan lain muncul di rumah itu saat Siti dan Dwi menunjukkan rasa saling tertarik. Benih-benih cinta tumbuh di antara mereka. Sementara itu, segmen ketiga berakhir saat Ming kembali hidup di kontrakan sempit. Membagi cerita dalam beberapa segmen bukan yang pertama dilakukan sineas negeri ini. Sebelumnya, 4 sutradara muda negeri ini (Rizal Mantovani, Nan T. Achnas, Mira Lesmana, dan Riri Riza) pernah mencoba mempraktekkannya dalam Kuldesak (1999). Film yang dianggap penanda kebangkitan film nasional itu membagi film dalam 4 cerita yang tak saling berkaitan. Kini, cara serupa dipakai Nia.
Sebelumnya juga, sutradara Steven Soderberh membagi cerita seputar realitas peredaran narkoba dari AS ke Meksiko lewat Traffic (2000) dalam 3 kisah berbeda. Tak ada kaitan antar cerita, para tokoh hanya sekelebatan muncul di segmen cerita lain. Buat membedakan ketiga cerita itu, Soderbergh membagi kisahnya dalam 3 warna berbeda. Ada warna keemasan, sepia, dan biru. Walau cerita berganti-ganti, penonton tak kelelahan mengikuti. Editing film ini begitu prima. Nia tak mengadopsi cara Soderbergh. Bisa jadi Nia tak cukup percaya diri, takut penonton bingung mengikuti alur cerita. Rupanya Nia terlalu sayang pada pesan yang ingin ia sampaikan. Lewat Berbagi Suami, ia ingin menyampaikan realitas poligami yang ada di masyarakat. Pesannya, poligami ya merepotkan, poligami ya membuat wanita menderita, poligami (dalam bentuknya pada segmen kedua) bisa menggiring wanita jadi lesbian! Pesan-pesan itu mungkin akan terasa berat bila disampaikan dengan penceritaan serius. Namun, dengan jenial Nia membalutnya jadi komedi satir. Walhasil, Anda akan dibuat tertawa getir, kemudian memikirkan maknanya dalam-dalam. Menonton Berbagi Suami Anda disuguhi hiburan berisi yang lengkap. Cerita yang baik, skenario yang bagus, dan para pemain yang berakting hampir sempurna wujud keberhasilan Nia sebagai sutradara atas filmnya ini. Berbagi Suami satu tingkat lebih bagus ketimbang Arisan! dan berkali-kali lebih bagus dibanding Ca Bau Kan. ***
Dimuat Bintang Indonesia edisi 779/Tahun XV/Minggu kedua Maret 2006
Wednesday, April 12, 2006
Resensi Film "Rumah Pondok Indah"
Rumah Pondok Indah
Mengangkat Legenda Urban Rumah Hantu
Mengangkat Legenda Urban Rumah Hantu
Oleh Ade Irwansyah
Era kebangkitan film horor nasional boleh jadi ditandai kesuksesan Jelangkung (2001). Film itu dibuat seadanya oleh duet sutradara yang biasa membuat video klip, Rizal Mantovani dan Jose Poernomo. Tanpa promosi besar-besaran, Jelangkung mampu menyihir 1,3 juta orang datang ke bioskop. Sukses itu membuat banyak orang percaya kalau film horor masih punya tempat di hati penonton. Jelangkung disandingkan jadi film horor legendaris setelah film-film Suzanna. Sukses Jelangkung juga menyulut istilah baru: urban legend—legenda urban alias perkotaan. Ternyata, bukan cuma Pantai Selatan Jawa yang punya mitos mistis (ingat, dong Nyi Roro Kidul). Kota megapolitan Jakarta juga punya Suster Ngesot.
Nah, salah satu legenda urban itu di antaranya sebuah rumah angker di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sekitar September 2002, ada cerita seorang tukang nasi goreng raib di depan rumah tak berpenghuni itu. Cerita lain, ada supir taksi yang ditolong penghuni rumah kala taksinya mogok di depan rumah itu. Cerita-cerita seram itu mengundang orang tertarik melihat rumah kosong itu. Jalanan depan rumah kontan jadi macet. Legenda urban itu kemudian diangkat ke layar lebar jadi Rumah Pondok Indah.
Alkisah, sepasang suami istri, Rudi (Rama M. Nalapraya) dan Misye (Selvi Rani K), serta putra tunggal mereka, Rio (Nathan Dippos Fajar) menempati sebuah rumah mewah tak berpenghuni di kawasan Pondok Indah. Rio dan Misye membeli rumah lengkap dengan isinya—termasuk sebuah patung wanita. Sejak awal sudah kelihatan tanda-tanda kalau rumah itu angker, misalnya, melihat hantu tukang nasi goreng. Kemudian, ada pula Mimin (Arie Timmy), sang pembantu berseragam hitam yang punya gerak-gerik mencurigakan.
Patung wanita di rumah itu rupanya menyimpan misteri. Matanya menitikkan air mata darah. Suatu kali, Rio tewas tersetrum saat tengah main di dekat patung itu. Rudi dan Misye segera melarikan Rio ke rumah sakit. Sayang saat baru keluar rumah, mobil mereka diterjang bus Metromini. Rumah itu kembali tak berpenghuni.
Syahdan, ada lagi yang menginginkan rumah itu, Firdha (Chintami Atmananegara), seorang ibu beranak dua, Elsie (Asha Shara) dan Ian (Ricky Harun). Ia langsung mau menempati rumah itu saat tawaran sekenanya (cuma 500 juta rupiah dari tawaran semula 5 miliar rupiah) disetujui pemilik aslinya, Tio (Arswendi Nasution), pematung yang tinggal di Bali. Setelah tinggal di rumah itu, Elsie mulai merasa ada keanehan. Ia merasa dihantui makhluk halus. Sementara itu, adiknya Ian malah sering menjahili Elsie yang mudah ketakutan.
Kemudian, setelah berkali-kali hantu rumah itu menampakkan diri, Elsie karasukan. Ia dirasuki sosok Maya (Amelia) yang berasal dari patung wanita di rumah itu. Dokter menganggap Elsie sudah sakit jiwa. Atas saran Mimin, Elsie ditolong seorang dukun (Titi Qadarsih). Dari situ terkuak misteri kematian Maya yang melibatkan Tio dan patung wanita di rumah itu.
Dari awal penonton sudah diberi kesan kalau ini film seram. Banyak adegan yang berlangsung malam hari. Musik horor menghentak setiap kali ada adegan yang bikin kaget. Parahnya, adegan macam ini ada banyak. Irwan Siregar, sang sutradara, rasanya digaji khusus buat bikin kaget orang. Ini yang membuat tontonan terasa dangkal: menakut-nakuti orang ya dengan membuatnya kaget. Oleh karena itu, sampai-sampai ada peringatan di poster film ini yang bilang kalau penderita penyakit jantung dan ibu hamil sebaiknya jangan ikutan nonton (mirip iklan rokok saja, ya).
Di luar hal-hal yang bikin kaget, Rumah Pondok Indah tak memberi alasan lebih untuk membuat orang berduyun-duyun datang menonton seperti Jelangkung dulu. Akting para pemainnya, sorry to say, masih kelas sinetron. Dibuat-buat alias tidak alami. Belum lagi kamera digunakan bukan seluloid. Selain itu, banyak bagian film ini yang menghilangkan segi logika. Kakak beradik Elsie dan Ian, misalnya, tak pernah kelihatan sekolah. Main melulu, padahal tak ada penjelasan kalau ceritanya berlangsung saat liburan sekolah. Kemudian, para pemainnya tetap berdandan menor meski sedang tidur di malam hari. Hal-hal seperti ini membuat Rumah Pondok Indah terasa seperti FTV (film televisi) yang diputar di bioskop. Yang terasa beda mungkin beberapa adegan panas yang mulai jarang kita saksikan di film nasional, kini muncul lagi di Rumah Pondok Indah. hal in patut dapat catatan khusus. Di tengah riuh-rendah gerakan anti pornografi dan pornoaksi masih ada film yang berani menyelipkan adegan seks yang terbilang hot. Tapi, jangan dulu bersemangat buat menonton film ini bila cuma ingin melihat adegan panasnya. Sebab, alih-alih terangsang, Anda malah jadi jijik. Coba, siapa yang tak jijik melihat perempuan melumat tangan pria yang kotor setelah membuat patung dari adonan semen.
Dimuat Bintang Indonesia edisi 775/Tahun XV/Minggu Keempat Februari 2006
Era kebangkitan film horor nasional boleh jadi ditandai kesuksesan Jelangkung (2001). Film itu dibuat seadanya oleh duet sutradara yang biasa membuat video klip, Rizal Mantovani dan Jose Poernomo. Tanpa promosi besar-besaran, Jelangkung mampu menyihir 1,3 juta orang datang ke bioskop. Sukses itu membuat banyak orang percaya kalau film horor masih punya tempat di hati penonton. Jelangkung disandingkan jadi film horor legendaris setelah film-film Suzanna. Sukses Jelangkung juga menyulut istilah baru: urban legend—legenda urban alias perkotaan. Ternyata, bukan cuma Pantai Selatan Jawa yang punya mitos mistis (ingat, dong Nyi Roro Kidul). Kota megapolitan Jakarta juga punya Suster Ngesot.
Nah, salah satu legenda urban itu di antaranya sebuah rumah angker di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sekitar September 2002, ada cerita seorang tukang nasi goreng raib di depan rumah tak berpenghuni itu. Cerita lain, ada supir taksi yang ditolong penghuni rumah kala taksinya mogok di depan rumah itu. Cerita-cerita seram itu mengundang orang tertarik melihat rumah kosong itu. Jalanan depan rumah kontan jadi macet. Legenda urban itu kemudian diangkat ke layar lebar jadi Rumah Pondok Indah.
Alkisah, sepasang suami istri, Rudi (Rama M. Nalapraya) dan Misye (Selvi Rani K), serta putra tunggal mereka, Rio (Nathan Dippos Fajar) menempati sebuah rumah mewah tak berpenghuni di kawasan Pondok Indah. Rio dan Misye membeli rumah lengkap dengan isinya—termasuk sebuah patung wanita. Sejak awal sudah kelihatan tanda-tanda kalau rumah itu angker, misalnya, melihat hantu tukang nasi goreng. Kemudian, ada pula Mimin (Arie Timmy), sang pembantu berseragam hitam yang punya gerak-gerik mencurigakan.
Patung wanita di rumah itu rupanya menyimpan misteri. Matanya menitikkan air mata darah. Suatu kali, Rio tewas tersetrum saat tengah main di dekat patung itu. Rudi dan Misye segera melarikan Rio ke rumah sakit. Sayang saat baru keluar rumah, mobil mereka diterjang bus Metromini. Rumah itu kembali tak berpenghuni.
Syahdan, ada lagi yang menginginkan rumah itu, Firdha (Chintami Atmananegara), seorang ibu beranak dua, Elsie (Asha Shara) dan Ian (Ricky Harun). Ia langsung mau menempati rumah itu saat tawaran sekenanya (cuma 500 juta rupiah dari tawaran semula 5 miliar rupiah) disetujui pemilik aslinya, Tio (Arswendi Nasution), pematung yang tinggal di Bali. Setelah tinggal di rumah itu, Elsie mulai merasa ada keanehan. Ia merasa dihantui makhluk halus. Sementara itu, adiknya Ian malah sering menjahili Elsie yang mudah ketakutan.
Kemudian, setelah berkali-kali hantu rumah itu menampakkan diri, Elsie karasukan. Ia dirasuki sosok Maya (Amelia) yang berasal dari patung wanita di rumah itu. Dokter menganggap Elsie sudah sakit jiwa. Atas saran Mimin, Elsie ditolong seorang dukun (Titi Qadarsih). Dari situ terkuak misteri kematian Maya yang melibatkan Tio dan patung wanita di rumah itu.
Dari awal penonton sudah diberi kesan kalau ini film seram. Banyak adegan yang berlangsung malam hari. Musik horor menghentak setiap kali ada adegan yang bikin kaget. Parahnya, adegan macam ini ada banyak. Irwan Siregar, sang sutradara, rasanya digaji khusus buat bikin kaget orang. Ini yang membuat tontonan terasa dangkal: menakut-nakuti orang ya dengan membuatnya kaget. Oleh karena itu, sampai-sampai ada peringatan di poster film ini yang bilang kalau penderita penyakit jantung dan ibu hamil sebaiknya jangan ikutan nonton (mirip iklan rokok saja, ya).
Di luar hal-hal yang bikin kaget, Rumah Pondok Indah tak memberi alasan lebih untuk membuat orang berduyun-duyun datang menonton seperti Jelangkung dulu. Akting para pemainnya, sorry to say, masih kelas sinetron. Dibuat-buat alias tidak alami. Belum lagi kamera digunakan bukan seluloid. Selain itu, banyak bagian film ini yang menghilangkan segi logika. Kakak beradik Elsie dan Ian, misalnya, tak pernah kelihatan sekolah. Main melulu, padahal tak ada penjelasan kalau ceritanya berlangsung saat liburan sekolah. Kemudian, para pemainnya tetap berdandan menor meski sedang tidur di malam hari. Hal-hal seperti ini membuat Rumah Pondok Indah terasa seperti FTV (film televisi) yang diputar di bioskop. Yang terasa beda mungkin beberapa adegan panas yang mulai jarang kita saksikan di film nasional, kini muncul lagi di Rumah Pondok Indah. hal in patut dapat catatan khusus. Di tengah riuh-rendah gerakan anti pornografi dan pornoaksi masih ada film yang berani menyelipkan adegan seks yang terbilang hot. Tapi, jangan dulu bersemangat buat menonton film ini bila cuma ingin melihat adegan panasnya. Sebab, alih-alih terangsang, Anda malah jadi jijik. Coba, siapa yang tak jijik melihat perempuan melumat tangan pria yang kotor setelah membuat patung dari adonan semen.
Subscribe to:
Posts (Atom)