Mengangkat Legenda Urban Rumah Hantu
Oleh Ade Irwansyah
Era kebangkitan film horor nasional boleh jadi ditandai kesuksesan Jelangkung (2001). Film itu dibuat seadanya oleh duet sutradara yang biasa membuat video klip, Rizal Mantovani dan Jose Poernomo. Tanpa promosi besar-besaran, Jelangkung mampu menyihir 1,3 juta orang datang ke bioskop. Sukses itu membuat banyak orang percaya kalau film horor masih punya tempat di hati penonton. Jelangkung disandingkan jadi film horor legendaris setelah film-film Suzanna. Sukses Jelangkung juga menyulut istilah baru: urban legend—legenda urban alias perkotaan. Ternyata, bukan cuma Pantai Selatan Jawa yang punya mitos mistis (ingat, dong Nyi Roro Kidul). Kota megapolitan Jakarta juga punya Suster Ngesot.
Nah, salah satu legenda urban itu di antaranya sebuah rumah angker di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sekitar September 2002, ada cerita seorang tukang nasi goreng raib di depan rumah tak berpenghuni itu. Cerita lain, ada supir taksi yang ditolong penghuni rumah kala taksinya mogok di depan rumah itu. Cerita-cerita seram itu mengundang orang tertarik melihat rumah kosong itu. Jalanan depan rumah kontan jadi macet. Legenda urban itu kemudian diangkat ke layar lebar jadi Rumah Pondok Indah.
Alkisah, sepasang suami istri, Rudi (Rama M. Nalapraya) dan Misye (Selvi Rani K), serta putra tunggal mereka, Rio (Nathan Dippos Fajar) menempati sebuah rumah mewah tak berpenghuni di kawasan Pondok Indah. Rio dan Misye membeli rumah lengkap dengan isinya—termasuk sebuah patung wanita. Sejak awal sudah kelihatan tanda-tanda kalau rumah itu angker, misalnya, melihat hantu tukang nasi goreng. Kemudian, ada pula Mimin (Arie Timmy), sang pembantu berseragam hitam yang punya gerak-gerik mencurigakan.
Patung wanita di rumah itu rupanya menyimpan misteri. Matanya menitikkan air mata darah. Suatu kali, Rio tewas tersetrum saat tengah main di dekat patung itu. Rudi dan Misye segera melarikan Rio ke rumah sakit. Sayang saat baru keluar rumah, mobil mereka diterjang bus Metromini. Rumah itu kembali tak berpenghuni.
Syahdan, ada lagi yang menginginkan rumah itu, Firdha (Chintami Atmananegara), seorang ibu beranak dua, Elsie (Asha Shara) dan Ian (Ricky Harun). Ia langsung mau menempati rumah itu saat tawaran sekenanya (cuma 500 juta rupiah dari tawaran semula 5 miliar rupiah) disetujui pemilik aslinya, Tio (Arswendi Nasution), pematung yang tinggal di Bali. Setelah tinggal di rumah itu, Elsie mulai merasa ada keanehan. Ia merasa dihantui makhluk halus. Sementara itu, adiknya Ian malah sering menjahili Elsie yang mudah ketakutan.
Kemudian, setelah berkali-kali hantu rumah itu menampakkan diri, Elsie karasukan. Ia dirasuki sosok Maya (Amelia) yang berasal dari patung wanita di rumah itu. Dokter menganggap Elsie sudah sakit jiwa. Atas saran Mimin, Elsie ditolong seorang dukun (Titi Qadarsih). Dari situ terkuak misteri kematian Maya yang melibatkan Tio dan patung wanita di rumah itu.
Dari awal penonton sudah diberi kesan kalau ini film seram. Banyak adegan yang berlangsung malam hari. Musik horor menghentak setiap kali ada adegan yang bikin kaget. Parahnya, adegan macam ini ada banyak. Irwan Siregar, sang sutradara, rasanya digaji khusus buat bikin kaget orang. Ini yang membuat tontonan terasa dangkal: menakut-nakuti orang ya dengan membuatnya kaget. Oleh karena itu, sampai-sampai ada peringatan di poster film ini yang bilang kalau penderita penyakit jantung dan ibu hamil sebaiknya jangan ikutan nonton (mirip iklan rokok saja, ya).
Di luar hal-hal yang bikin kaget, Rumah Pondok Indah tak memberi alasan lebih untuk membuat orang berduyun-duyun datang menonton seperti Jelangkung dulu. Akting para pemainnya, sorry to say, masih kelas sinetron. Dibuat-buat alias tidak alami. Belum lagi kamera digunakan bukan seluloid. Selain itu, banyak bagian film ini yang menghilangkan segi logika. Kakak beradik Elsie dan Ian, misalnya, tak pernah kelihatan sekolah. Main melulu, padahal tak ada penjelasan kalau ceritanya berlangsung saat liburan sekolah. Kemudian, para pemainnya tetap berdandan menor meski sedang tidur di malam hari. Hal-hal seperti ini membuat Rumah Pondok Indah terasa seperti FTV (film televisi) yang diputar di bioskop. Yang terasa beda mungkin beberapa adegan panas yang mulai jarang kita saksikan di film nasional, kini muncul lagi di Rumah Pondok Indah. hal in patut dapat catatan khusus. Di tengah riuh-rendah gerakan anti pornografi dan pornoaksi masih ada film yang berani menyelipkan adegan seks yang terbilang hot. Tapi, jangan dulu bersemangat buat menonton film ini bila cuma ingin melihat adegan panasnya. Sebab, alih-alih terangsang, Anda malah jadi jijik. Coba, siapa yang tak jijik melihat perempuan melumat tangan pria yang kotor setelah membuat patung dari adonan semen.
Dimuat Bintang Indonesia edisi 775/Tahun XV/Minggu Keempat Februari 2006
Era kebangkitan film horor nasional boleh jadi ditandai kesuksesan Jelangkung (2001). Film itu dibuat seadanya oleh duet sutradara yang biasa membuat video klip, Rizal Mantovani dan Jose Poernomo. Tanpa promosi besar-besaran, Jelangkung mampu menyihir 1,3 juta orang datang ke bioskop. Sukses itu membuat banyak orang percaya kalau film horor masih punya tempat di hati penonton. Jelangkung disandingkan jadi film horor legendaris setelah film-film Suzanna. Sukses Jelangkung juga menyulut istilah baru: urban legend—legenda urban alias perkotaan. Ternyata, bukan cuma Pantai Selatan Jawa yang punya mitos mistis (ingat, dong Nyi Roro Kidul). Kota megapolitan Jakarta juga punya Suster Ngesot.
Nah, salah satu legenda urban itu di antaranya sebuah rumah angker di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sekitar September 2002, ada cerita seorang tukang nasi goreng raib di depan rumah tak berpenghuni itu. Cerita lain, ada supir taksi yang ditolong penghuni rumah kala taksinya mogok di depan rumah itu. Cerita-cerita seram itu mengundang orang tertarik melihat rumah kosong itu. Jalanan depan rumah kontan jadi macet. Legenda urban itu kemudian diangkat ke layar lebar jadi Rumah Pondok Indah.
Alkisah, sepasang suami istri, Rudi (Rama M. Nalapraya) dan Misye (Selvi Rani K), serta putra tunggal mereka, Rio (Nathan Dippos Fajar) menempati sebuah rumah mewah tak berpenghuni di kawasan Pondok Indah. Rio dan Misye membeli rumah lengkap dengan isinya—termasuk sebuah patung wanita. Sejak awal sudah kelihatan tanda-tanda kalau rumah itu angker, misalnya, melihat hantu tukang nasi goreng. Kemudian, ada pula Mimin (Arie Timmy), sang pembantu berseragam hitam yang punya gerak-gerik mencurigakan.
Patung wanita di rumah itu rupanya menyimpan misteri. Matanya menitikkan air mata darah. Suatu kali, Rio tewas tersetrum saat tengah main di dekat patung itu. Rudi dan Misye segera melarikan Rio ke rumah sakit. Sayang saat baru keluar rumah, mobil mereka diterjang bus Metromini. Rumah itu kembali tak berpenghuni.
Syahdan, ada lagi yang menginginkan rumah itu, Firdha (Chintami Atmananegara), seorang ibu beranak dua, Elsie (Asha Shara) dan Ian (Ricky Harun). Ia langsung mau menempati rumah itu saat tawaran sekenanya (cuma 500 juta rupiah dari tawaran semula 5 miliar rupiah) disetujui pemilik aslinya, Tio (Arswendi Nasution), pematung yang tinggal di Bali. Setelah tinggal di rumah itu, Elsie mulai merasa ada keanehan. Ia merasa dihantui makhluk halus. Sementara itu, adiknya Ian malah sering menjahili Elsie yang mudah ketakutan.
Kemudian, setelah berkali-kali hantu rumah itu menampakkan diri, Elsie karasukan. Ia dirasuki sosok Maya (Amelia) yang berasal dari patung wanita di rumah itu. Dokter menganggap Elsie sudah sakit jiwa. Atas saran Mimin, Elsie ditolong seorang dukun (Titi Qadarsih). Dari situ terkuak misteri kematian Maya yang melibatkan Tio dan patung wanita di rumah itu.
Dari awal penonton sudah diberi kesan kalau ini film seram. Banyak adegan yang berlangsung malam hari. Musik horor menghentak setiap kali ada adegan yang bikin kaget. Parahnya, adegan macam ini ada banyak. Irwan Siregar, sang sutradara, rasanya digaji khusus buat bikin kaget orang. Ini yang membuat tontonan terasa dangkal: menakut-nakuti orang ya dengan membuatnya kaget. Oleh karena itu, sampai-sampai ada peringatan di poster film ini yang bilang kalau penderita penyakit jantung dan ibu hamil sebaiknya jangan ikutan nonton (mirip iklan rokok saja, ya).
Di luar hal-hal yang bikin kaget, Rumah Pondok Indah tak memberi alasan lebih untuk membuat orang berduyun-duyun datang menonton seperti Jelangkung dulu. Akting para pemainnya, sorry to say, masih kelas sinetron. Dibuat-buat alias tidak alami. Belum lagi kamera digunakan bukan seluloid. Selain itu, banyak bagian film ini yang menghilangkan segi logika. Kakak beradik Elsie dan Ian, misalnya, tak pernah kelihatan sekolah. Main melulu, padahal tak ada penjelasan kalau ceritanya berlangsung saat liburan sekolah. Kemudian, para pemainnya tetap berdandan menor meski sedang tidur di malam hari. Hal-hal seperti ini membuat Rumah Pondok Indah terasa seperti FTV (film televisi) yang diputar di bioskop. Yang terasa beda mungkin beberapa adegan panas yang mulai jarang kita saksikan di film nasional, kini muncul lagi di Rumah Pondok Indah. hal in patut dapat catatan khusus. Di tengah riuh-rendah gerakan anti pornografi dan pornoaksi masih ada film yang berani menyelipkan adegan seks yang terbilang hot. Tapi, jangan dulu bersemangat buat menonton film ini bila cuma ingin melihat adegan panasnya. Sebab, alih-alih terangsang, Anda malah jadi jijik. Coba, siapa yang tak jijik melihat perempuan melumat tangan pria yang kotor setelah membuat patung dari adonan semen.
1 comment:
ihh, emg pas shooting beneran adaa apa?? hiiih...
Post a Comment