Sunday, April 16, 2006

Artikel Film Soal "Rumah Pondok Indah"

Mengapa Rumah Pondok Indah Banyak Ditonton Orang?

Sebuah film horor dengan kualitas seadanya ternyata laris ditonton orang. Ini jawabannya.

Oleh Ade Irwansyah

Pertama, ada baiknya Anda membaca sedikit kutipan dari resensi film di tabloid ini soal Rumah Pondok Indah. Di situ tertulis, “...Rumah Pondok Indah tak memberi alasan lebih untuk membuat orang datang berduyun-duyun menonton seperti Jelangkung. Akting pemainnya, sorry to say, masih kelas sinetron. Dibuat-buat alias tidak alami.” Pada ujung paragraf, Bintang menyimpulkan, “Hal-hal seperti ini (maksudnya segala cacat film itu) membuat Rumah Pondok Indah terasa seperti FTV (film televisi) yang diputar di bioskop.”

Rumah Pondok Indah belum dapat penonton sebanyak Jelangkung (1999) dulu yang ditonton sekitar 1,6 juta pasang mata. Namun, hingga pekan ini, setelah 7 minggu diputar di bioskop, Rumah Pondok Indah tak kurang ditonton 625 ribu orang. Buat ukuran sekarang, itu angka fantastis. Di bawahnya, ada Jomblo yang tertinggal jauh dengan 400 ribu penonton. Di bawahnya lagi ada Realita Cinta dan Rock ‘n Roll dengan angka penonton 300 ribu orang. Hingga Bintang mengecek ke situs jaringan bioskop 21 Kamis (13/4) siang kemarin, Rumah Pondok Indah masih tayang di 13 bioskop yang tersebar dari Jabotabek, Bandung, Pekanbaru, Cilegon, Cirebon hingga Batam.

Segala paparan angka di atas jadi bukti kalau apa yang dikatakan resensi film tak selalu seiring sejalan dengan minat penonton. Kekhawatiran kalau sebuah resensi film (yang tujuannya memberi petunjuk buat calon penonton film, untuk menonton atau tidak) bisa membuat sebuah film tak laku rasanya berlebihan. Lihatlah Berbagi Suami, film yang dipuji di hampir semua media itu (Bintang menulis, Berbagi Suami sebuah “... hiburan berisi yang lengkap. Cerita yang baik, skenario yang bagus, dan para pemain yang berakting hampir sempurna wujud keberhasilan Nia sebagai sutradara atas filmnya ini.”) baru ditonton sekitar 200 ribu orang.
Pertanyaannya, kenapa orang berduyun-duyun menonton Rumah Pondok Indah? Bintang bertanya pada Dini (25), seorang guru SD di Jakarta Selatan yang menonton film itu. “Saya nonton film itu diajak teman,” kata Dini. Ia bercerita, menonton Rumah Pondok Indah bersama 5 temannya. “Teman saya dengar dari temannya kalau film itu seram,” bilang Dini.

Menurut produser Rumah Pondok Indah yang juga bos Indika Entertaiment Shanker RS, jumlah penonton sebanyak itu sesuai perkiraan. Di tayangan behind the scene film itu Shanker berani sesumbar kalau filmnya bakal disesaki penonton. “Saat itu saya bilang, minta maaf bila nanti timbul ketidaknyamanan saat menonton karena mesti mengantre karcis,” bilang Shanker yang dihubungi Bintang via telepon Rabu (12/4) malam.

Shanker mengaku membuat Rumah Pondok Indah dengan dana 4 miliar rupiah. Sebenarnya, angka itu terkesan terlalu dibesar-besarkan. Jika melihat hasil akhir filmnya, Rumah Pondok Indah dibuat dega kamera digital seadanya yang di-blow-up ke pita seluloid 35 milimeter (hal ini dibantah Shanker. Katanya, “Rumah Pondok Indah direkam dengan kamera high definition.”). Bila benar film itu dibuat dengan kamera digital biasa, filmnya paling besar menelan dana sekitar 2 miliar rupiah. Dengan penonton 625 ribu orang, Indika sudah dapat uang sekitar 4,3 miliar rupiah.

Sebenarnya, bukanlah hal istimewa kalau film bertema horor dapat banyak penonton. Sepanjang sejarah perfilman negeri ini, film horor selalu tergolong jadi film laris. Genre ini pun sudah tua. Hanya selang setahun setelah teknologi film ditemukan pada 1985, lahir film horor pertama Le Manoir du Diable (1986) buatan Georges Melies. Ia membangkitkan hantu-hantu dari kuburnya. Di Indonesia sendiri, menurut catatan JB Kristanto di buku Katalog Film Indonesia 1926-2005, yang disebut-sebut film horor pertama yakni Lisa (1971) karya sutradara M. Sharieffudin (ada juga yang menyebut film horor pertama itu Tengkorak Hidoep keluaran 1941). Konon, Lisa tak terlalu sukses di pasaran. Namun, ia jadi peletak dasar buat genre ini. Sejak itu, di mata pecinta film tanah air muncul genre baru buat pilihan menonton.

Genre ini mulai jadi pilihan pembuat film. Di tahun 1970-an film-film bertema horor bermunculan. Puncaknya, terjadi pada dekade 1980-an. Tak kurang sekitar 69 judul film horor buatan anak negeri sendiri disuguhkan ke khalayak. Hasilnya tak megecewaka. Bahka genre ini medatangka banyak penonton. Film macam Nyi Blorong atau Sundel Bolong laris manis ditonton orang. Bintangnya, Suzzanna ditasbihkan jadi ratu film horor—gelar yang seakan tak tergantikan hingga kini.

Setelah Jelangkung lahir, genre horor berkembang dari legenda misteri tradisional ke legenda urban (urban legend). Nah, kisah misteri sebuah rumah di kawasan Pondok Indah tergolong legenda urban. Hal itu mengundang rasa ingin tahu orang kala kisahnya diakat ke layar lebar. “Alasan kami menonton film itu pengin tahu saja kisahnya seperti apa,” kata Dini. Rasa ingin tahu rupanya begitu besar mengendap di enak orang. Hingga berbagai resensi yang mempertanyakan kualitas film itu tak dihiraukan.

Melihat kesuksesan Rumah Pondok Indah, Shanker langsung berniat mengangkat legenda urban lainnya ke layar lebar. Tak tanggung-tanggung, Shanker sedang menyiapkan lebih dari satu film horor berbasis legenda urban. Pada Bintang, Shanker berujar akan membuat film tentang mitos Rumah Kentang, Pastur Jeruk Purut, hingga Rumah Ambulans di Bandung. Kita lihat saja nanti filmnya seperti apa. ***

1 comment:

rizki's inspiration said...

Saya membutuhkan data 10 film Indonesia terlaris dari tahun 2004-2008..untuk keperluan skripsi saya.
Mohon bantuannya
Terima kasih