Film Indonesia di Ajang Festival Film Cannes 2006
Oleh Ade Irwansyah
Cannes, sebuah kota wisata pantai di Prancis selatan, 1988. Chen Kaige, sutradara pembaharu dari China, datang bersama filmnya, King of the Children yang masuk kompetisi ke Festival Film Cannes (biasa disingkat Cannes saja) tahun itu. Chen kalah. “Saya tak tahu apa pun tentang festival ini. Saya pikir bakal menang Palem Emas, tapi tidak. Dan itu membuat saya kecewa,” katanya. Namun demikian, Chen takkan melupakan momen pertamanya di Cannes itu. “Saya kagum atas perlakuan festival ini pada pembuat film—maksudnya, orang film benar-benar dapat perlakuan istimewa pakai karpet merah segala. Dan yang agak lucu saat saya, mengenakan tuksedo, duduk di depan bendera Republik Rakyat China. Saya benar-benar merasa datang mewakili orang China.”
Chen bukan main bangganya bisa datang ke Cannes bersama filmnya yang ikut kompetisi—apalagi pada 1993 Chen memboyong pulang piala utama, Palem Emas, ke China lewat filmnya yang lain, Farewell My Concubine. Festival Film Cannes jadi hajatan besar insan sinema dunia. Kalau insan olahraga punya olimpiade, orang film punya Cannes. Di kota kecil tepi Pantai Riviera itu banyak orang berdatangan dari penjuru dunia. Konon, populasi penduduk kota Cannes membengkak 50 persen saat festival berlangsung medio Mei saban tahun.
Orang Asia sudah berkali- kali membuktikan diri sebagai pembuat film andal di Cannes. Selain Farewell dari China, film-film buata Iran dan Jepang berkali-berkali lolos kompetisi dan beberapa di antaraya, memenangi piala Palem Emas. Tahun ini, lagi-lagi Asia diberi kehormatan di Cannes. Wong Kar Wai, peraih sutradara terbaik di Cannes lewat Happy Together (1997), didaulat jadi ketua dewan juri tahu ini. Selain Wong yang sudah 4 kali memboyong filmnya ke Cannes buat ikut kompetisi, panitia Cannes juga mendapuk Zhang Zi Yi, bintang Memoirs of Geisha asal China, jadi salah satu anggota juri.
Kiprah sineas Indonesia
Lantas, bagaimana kiprah Indonesia di ajang Cannes? Kita boleh berbangga. Pada 2002, seorang anak negeri, Christine Hakim, didapuk jadi salah satu anggota juri Cannes saat itu. Christine duduk satu meja bersama juri lain dari berbagai negara di antaranya, sutradara AS David Lynch yang jadi ketua, bintag Hollywood Sharon Stone, artis Hong Kong kelahiran Malaysia Michelle Yeoh, hingga sutradara Denmark Bille August.
Selain jadi juri, film buatan orang Indonesia juga pernah diundang buat berlaga di Cannes. Tercatat, film besutan Eros Djarot, Tjoet Nja Dhien (1986, dibintangi Christine Hakim) diikutsertakan dalam pekan kritik internasional, sesi yang dikhususkan bagi karya pertama sutradara pada Cannes 1989. Film lain, Daun di Atas Bantal (1997, juga dibintangi Christine) besutan Garin Nugroho, juga diundang ke Cannes. Tahun lalu, Indonesia menyertakan film pendek buatan Edwin, sutradara muda lulusan IKJ, berjudul Kara anak Sebatang Pohon ke ajang Cannes untuk sesi Director’s Fortnight.
Tak susah buat mengirim film ke Cannes. Menurut peraturan di situs resmi Cannes, siapa saja berhak mengikutsertakan filmnya. Asalkan, filmnya dirilis tak kurang dari 12 bula sebelum festival berlangsung, film itu beredar di negara asal, film itu belum pernah ikut kompetisi di ajang festival film internasional lain, film itu belum pernah diputar di Internet. Khusus untuk film pendek, durasinya minimal 15 menit termasuk credit title. Sedangkan untuk film panjang, durasinya minimal 60 menit.
Ikut Festival Film Cannes 2006
Pekan-pekan kemarin tersiar kabar kalau sejumlah film buatan anak negeri diikutsertakan ke ajang Cannes tahun ini. Film-film itu yakni: Belahan Jiwa (2005, Multivisionplus Pictures), Berbagi Suami (2006, Kalyana Shira), dan Heart (2006, Starvision). Menurut Groza, manejer humas Multivision, pihaknya sudah mendaftarkan film Belahan Jiwa ke Cannes sejak 3 bulan lalu. Rencananya, saat festival berlangsung bulan depan, tepatnya 17-28 Mei, bos Multivision Ram J. Punjabii akan bertolak ke Cannes.
Bos Starvision, Chand Parwez, juga sudah medaftarkan filmnya ke Cannes. Selain mengirim buat lolos seleksi resmi, Parwez juga mengirim Heart ke sesi Director’s Fortnight. Kabarnya, walau panitia sudah menutup pengiriman film untuk seleksi pada 21 Maret, namun khusus buat film Heart, panitianya, Laurent Rivoire bersedia memberi kelonggaran sampai 27 Maret. “Mereka terkesan dengan karya kami sebelumnya, Virgin,” kata Parwez. “Mereka cukup surprise ada karya seperti itu dari Indonesia.” Virgin (2004) film yang mengangkat tema pergaulan bebas di kalangan remaja Indonesia disutradarai Hanny R. Saputra. Heart yang diikutsertakan tahun ini juga karya Hanny. Parwez berujar, biaya buat menikutsertakan filmnya tak mahal. “Saya cuma diminta bayar 300 euro,” kataya. Jika dirupiahkan nilainya tak sampai 3,5 juta rupiah.
Sementara itu, pihak Kalyana Shira yang memproduksi Berbagi Suami berterusterang kalau filmnya tak diikutsertakan untuk lolos kompetisi resmi. Namun, seperti diungkap Ade, publicist Kalyana, mengatakan Berbagi Suami diundang khusus kementerian luar negeri Prancis buat dapat sesi pertunjukkan khusus di Cannes. “Diundang begitu saja kami sangat senang,” ujar Ade. “Ini kan festival yang sangat bergengsi.” Ade berujar, sutradara Berbagi Suami Ni Dinata akan berangkat ke Prancis bersama dua bintangnya, Shanty dan Dominique bulan depan.
Pada Kamis, 20 April kemarin, panitia Cannes mengumumkan film-film yang lolos seleksi resmi. Tak ada film dari Indonesia yang lolos seleksi buat dapat kategori utama. Yang lolos antara lain film-film besutan sutradara ternama macam Pedro Almodovar (Volver), Sofia Coppola (Marie-Antoinette), hingga Alejandro Gonzalez Inarritu (Babel). Sekali lagi Indonesia gigit jari. Tapi bukan berarti putus asa. “Target saya masuk kategori film berbahasa asing terbaik ajang Oscar tahun depan,” sesumbar Parwez.
Sunday, May 28, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment