Sunday, May 28, 2006

Resensi "Gue Kapok Jatuh Cinta"

Gue Kapok Jatuh Cinta

Karya Perdana Thomas Nawilis di Bangku Sutradara


Oleh Ade Irwansyah

Pertama, percayalah, jadi sutradara itu tak gampang. Dalam produksi sebuah film, sutradara bak kepala suku, mengatur sana-sini, mengarahkan pemain yang aktingnya sekaku batu biar kelihatan bagus; sampai menentukan seperti apa sudut gambar yang mau diambil. Mulai sekarang, sebaiknya Anda menghargai setiap kerja sutradara. Bagaimanapun hasil kerjanya. Maka, begitu Anda menonton film yang menurut Anda jelek, percayalah, sutradaranya sudah berusaha sekeras mungkin biar filmnya jadi bagus.

Rasanya, sikap menghargai hasil kerja orang lain itu mesti ditanamkan saat menonton Gue Kapok Jatuh Cinta, film pertama pesinetron Thomas Nawilis di bangku
sutradara. Di film pertamanya, Thomas berbagi bangku bareng temannya, Awi Suryadi. Thomas baru terjun ke dunia akting pada 2001 lewat Tersanjung 6 lalu beberapa sinetron lain hingga main film layar lebar Tusuk Jelangkung (2003). Buat Thomas, dunia film bukanlah hal asing. Ia lulusan jurusan sinematografi di New York Film Academy tahun 1999. Nah, ilmu yang ditimba di New York itu, Thomas praktekkan buat film pertamanya.

Lantas bagaimana hasil kerja Thomas? Sebelum menjawabnya, mending tilik dulu kisahnya. Film ini berkisah seputar David (Oka Antara) yang baru saja diputus cinta oleh kekasihnya. David merana bukan main. Ia mengurung diri di kamar, dan jadi ogah makan. Pantas saja, sih David begitu. Sebab, David pikir, mantan kekasihnya itu “the one”—cewek terakhir tempatnya melabuhkan cinta. Apalagi David rela kembali ke Jakarta meninggalkan kehidupannya di Los Angeles, demi ceweknya.

Beruntung, David punya sahabat yang peduli padanya. Mereka, Once (Teuku Wisnu), Andi (Big Dicky), Eddie “Tompel” (Stan Lee), dan Piyu (Dude Harlino), tak sekadar jadi tempat David mencurahkan isi hati, tapi juga mengajak David bangkit dari kesedihan. Syahdan, David diajak keluar dari kamarnya buat menikmati hidup di Jakarta sebagai jomblo. Oleh sahabatnya, David diajak ke diskotek, panti pijat, mandi sauna, hingga menenggak obat-obatan. Ia terheran-heran, Jakarta yang ditinggalkannya bertahun-tahun lalu sudah berubah sama sekali. Dulu, ia ingat betul, di Jakarta tempat hiburan tak menjamur seperti sekarang.

Di sinilah Thomas tak mengukur logika saat membuat filmnya. David digambarkan begitu lugu. Gugup melihat kehidupan malam Jakarta. Padahal di awal film diceritakan David baru pulang dari Los Angeles. Masak sih selama bertahun-tahun di sana David nggak bergaul, clubbing atau sekadar minum-minum. Memangnya di Los Angeles sana David tinggal di pesantren, ya?
Kemudian cerita berkembang pada kisah cinta yang dialami tokoh lain. Rupanya, sahabat-sahabat David, terutama Once, Eddie, dan Andi sudah kapok jatuh cinta gara-gara pengalaman cinta yang pahit di masa lalu. Once yang punya ayah super kaya (ada di urutan ke-3 orang terkaya se-Asia versi majalah Forbes) ternyata cuma dimanfaatkan ceweknya yang matre. Eddie jadi penyebab kematian ceweknya yang tewas saat kecelakaan mobil waktu menyetir usai mabuk-mabukan. Sedang Andi yang punya postur super besar selalu ditolak cewek. Hanya Piyu saja yang kelihatan bahagia dan tak kapok jatuh cinta lantaran sudah menemukan tambatan hati—bahkan bersiap-siap untuk menikah segala.

Di tengah jalan, David sekonyong-konyong bisa melupakan mantan kekasihnya. Ia terantuk pada seorang wanita bergaun pengantin yang jalan-jalan sambil bawa sebongkah batu bata. Wanita itu rupanya ditinggalkan pengantin pria saat di pelaminan. David nyatanya bisa dekati wanita itu. Mereka berpacaran. Sementara itu, sebelumnya, ada cerita soal Piyu yang meragukan cinta kekasihnya lantaran pernah berciuman dengan Eddie. Cerita Piyu dan ceweknya berakhir bahagia. Piyu akhirnya menerima kenyataan kalau tak bisa berpisah dari ceweknya. Keduanya pun menikah. David juga menemukan cintanya kembali. Para pria itu tak lagi kapok buat jatuh cinta.

Jangan kapok buat jatuh cinta rasanya pesan yang ingin disampaikan Thomas dan Awi lewat film ini. Sayang, buat sampai ke pesan itu, Thomas dan Awi mengajak penonton berlama-lama sampai kelelahan. Sungguh. Saat menonton film ini ingin rasanya menekan remote control. Supaya adegan yang dibuat berlama-lama tapi nggak penting (dan adegan ini ada banyak) bisa dipercepat. Sayangnya, Anda tak bisa melakukan itu. Selain itu, pengadegannya pun amburadul. Anda pasti bakal berpikir kalau cerita berakhir begitu Piyu berbaikan dengan kekasihnya. Nyatanya tidak. Masih ada David yang harus diceritakan.

Oleh karena itu, saat menonton film ini, cobalah melihatnya dari sudut pandang kalau Thomas sudah bersusah payah membuat filmnya. Ingat, tak seperti di Hollywood yang punya tradisi aktor-aktornya jago membikin film (ingat dong nama-nama semisal Clint Eastwood, Kevin Costner, Mel Gibson, sampai George Clooney), pefilman negeri ini cuma sedikit mencatat ada bintang film yang berani duduk di kursi sutradara. Selain Thomas, rasanya cuma aktor sekaliber Deddy Mizwar yang berani membuat film (Kiamat Sudah Dekat dan Ketika).

Cobalah juga buat percaya kalau kisah yang pada beberapa bagian nggak logis ini pernah ditolak oleh penulisnya, Awi, saat hendak dibeli oleh sebuah perusahaan film di Hollywood sana. Buat Thomas, sebaiknya Anda buka lagi buku-buku teori membuat film yang dulu pernah dipelajari di New York (terutama pelajaran soal angle kamera biar nggak monoton, tata musik biar film nggak sepi, hingga skenario yang runut dari awal sampai klimaks), biar film berikut yang akan dibuat nanti tak lagi seburuk ini. Ayo, Thomas, jangan kapok bikin film!***

No comments: