Friday, April 14, 2006

Resensi Film "Berbagi Suami"

Berbagi Suami

Mengangkat Realitas Poligami di Masyarakat


Oleh Ade Irwansyah

Ini kisah tentang 3 wanita. Wanita pertama Salma (Jajang C. Noer), seorang dokter ahli kandungan yang bersuamikan seorang politisi (?) sekaligus pemuka agama yang dipanggil Pak Haji (El Manik). Wanita kedua Siti (Shanty), seorang gadis dusun yang hijrah ke kota, dan mesti menetap bersama Pak Lik-nya (Lukman Sardi sekali lagi tampil bagus). Wanita ketiga bernama Ming (diperani Dominique, pendatang baru yang mencuri perhatian), seorang gadis keturunan China nan seksi yang jadi pelayan restoran bebek panggang milik Koh Abun (Tio Pakusadewo).

Salma digambarkan sebagai sosok istri yang taat dan setia pada suami—sesuai tuntutan agama. Termasuk saat suaminya memilih poligami, menikahi wanita lain bernama Indri (Nungky Kusumastuti). Dalam hati ia marah. Tapi Salma tak sampai meminta cerai. Hanya, setiap kali masuk ke rumah, Salma meminta Pak Haji mandi besar lagi. Ia sesekali hanya menyindir Pak Haji. Sikap itu membuat anak Salma, Nadim (Winky Wiryawan) jadi apatis. Ia tahu ibunya diperlakukan tak adil. Nadim amat menentang poligami. Suatu kali, Pak Haji diserang stroke. Ia lumpuh. Salma berpikir inilah saatnya ia bisa memiliki suaminya seutuhnya, merawatnya. Nyatanya tidak. Istri-istri Pak Haji yang lain (belakangan ketahuan Pak Haji punya istri lain selain Salma dan Indri) berebutan ingin merawat Pak Haji. Rumah Salma jadi riuh. Pak Haji yang tak berdaya dikelilingi istri-istrinya yang setia merawat. Sebuah pemandangan absurd. Salma dan Nadim hanya bisa saling pandang. Bahkan saat Pak Haji akhirnya meninggal. “Abah (Bapak) memang paling suka memberi kejutan, ya?” kata Nadim.

Nasib Siti lain lagi. Ia diajak Pak Lik-nya ke Jakarta buat mengubah nasib. Sebenarnya, Siti termakan omongan Pak Lik. Pria berkumis tebal itu ternyata cuma sopir sebuah rumah produksi—bukan artis sinetron atau bintang film. Tapi, Siti sudah telanjur sampai Jakarta. Ia cuma punya Pak Lik tempat berlindung. Di rumah Pak Lik, Siti menemukan pemandangan lebih absurd lagi. Pak Lik hidup bersama kedua istrinya, Sri (Ria Irawan) dan Dwi (Rieke Dyah Pitaloka). Semuanya hidup berdesakan dalam rumah sempit bersama anak-anak dari Sri dan Dwi. Secara bergantian Pak Lik tidur bersama istri yang ia inginkan. Belakangan ketahuan maksud Pak Lik mengajak Siti ke kota: Siti akan jadi istri ketiganya. Saat menikah Siti cuma bisa menangis. Pak Lik tersenyum puas. Maka, Siti pun menjalani ritual seperti kedua istri lainnya, bergiliran melayani nafsu birahi Pak Lik.

Sementara itu masih ada Ming yang harus diceritakan. Di restoran tempatnya bekerja, Ming disukai majikannya, Koh Abun. Ming diam-diam jadi kekasih Koh Abun. Ia begitu disayang Koh Abun. Sampai-sampai Koh Abun membelikan Ming apartemen dan mobil. Saat istri Koh Abun, Cik Linda (Ira Maya Sopha) pergi ke Amerika menemui anak-anaknya, Ming makin sering bersama Koh Abun. Ming melupakan seorang sutradara muda yang juga mencintainya. Namun, kebahagiaan Ming berakhir kala Cik Linda tahu. Ming diusir dari apartemennya.
Baik Salma, Siti, dan Ming disatukan nasib: sama-sama jadi korban poligami kaum Adam.

Kedukaan wanita-wanita itu yang ingin disampaikan Nia Dinata lewat film terbarunya Berbagi Suami—setelah Ca Bau Kan (2002) dan Arisan! (2003). Konon, Nia yang jadi sutradara dan penulis skenario serius meriset fenomena poligami selama 1,5 tahun. Riset selama itu menggiring Nia pada kesimpulan tak hanya mengangkat satu cerita dari sisi kehidupan poligami. Tapi 3 sekaligus. Masing-masing dengan realitasnya sendiri-sendiri.

Syahdan, cerita pun dibagi dalam 3 segmen. Segmen pertama berakhir saat Pak Haji meninggal dunia. Segmen kedua berakhir kala Siti dan Dwi kabur mengajak anak-anaknya dari rumah Pak Lik, meninggalkan Sri yang memanggil-manggil. Keabsurdan lain muncul di rumah itu saat Siti dan Dwi menunjukkan rasa saling tertarik. Benih-benih cinta tumbuh di antara mereka. Sementara itu, segmen ketiga berakhir saat Ming kembali hidup di kontrakan sempit. Membagi cerita dalam beberapa segmen bukan yang pertama dilakukan sineas negeri ini. Sebelumnya, 4 sutradara muda negeri ini (Rizal Mantovani, Nan T. Achnas, Mira Lesmana, dan Riri Riza) pernah mencoba mempraktekkannya dalam Kuldesak (1999). Film yang dianggap penanda kebangkitan film nasional itu membagi film dalam 4 cerita yang tak saling berkaitan. Kini, cara serupa dipakai Nia.

Sebelumnya juga, sutradara Steven Soderberh membagi cerita seputar realitas peredaran narkoba dari AS ke Meksiko lewat Traffic (2000) dalam 3 kisah berbeda. Tak ada kaitan antar cerita, para tokoh hanya sekelebatan muncul di segmen cerita lain. Buat membedakan ketiga cerita itu, Soderbergh membagi kisahnya dalam 3 warna berbeda. Ada warna keemasan, sepia, dan biru. Walau cerita berganti-ganti, penonton tak kelelahan mengikuti. Editing film ini begitu prima. Nia tak mengadopsi cara Soderbergh. Bisa jadi Nia tak cukup percaya diri, takut penonton bingung mengikuti alur cerita. Rupanya Nia terlalu sayang pada pesan yang ingin ia sampaikan. Lewat Berbagi Suami, ia ingin menyampaikan realitas poligami yang ada di masyarakat. Pesannya, poligami ya merepotkan, poligami ya membuat wanita menderita, poligami (dalam bentuknya pada segmen kedua) bisa menggiring wanita jadi lesbian! Pesan-pesan itu mungkin akan terasa berat bila disampaikan dengan penceritaan serius. Namun, dengan jenial Nia membalutnya jadi komedi satir. Walhasil, Anda akan dibuat tertawa getir, kemudian memikirkan maknanya dalam-dalam. Menonton Berbagi Suami Anda disuguhi hiburan berisi yang lengkap. Cerita yang baik, skenario yang bagus, dan para pemain yang berakting hampir sempurna wujud keberhasilan Nia sebagai sutradara atas filmnya ini. Berbagi Suami satu tingkat lebih bagus ketimbang Arisan! dan berkali-kali lebih bagus dibanding Ca Bau Kan. ***
Dimuat Bintang Indonesia edisi 779/Tahun XV/Minggu kedua Maret 2006

1 comment:

BELAJAR BAHASA said...

kreatif dari judul filmnya