Tuesday, May 16, 2006

Maskot
Mencari Ayam Jago Simbol Perusahaan

Oleh Ade Irwansyah
Sineas negeri ini pernah begitu mahir membuat film bertema komedi situasi yang jauh dari kesan slapstick, seperti Inem Pelayan Sexy (1977), Kejarlah Daku Kau Tangkap (1985) atau Naga Bonar (1986). Itu film-film berisi humor cerdas yang tak mengundang tawa lantaran melihat tingkah konyol pemain, melainkan tertawa melihat akting, jalinan cerita dan dialog para tokohnya. Sekarang, muncul lagi film yang maunya menyajikan humor cerdas macam film-film Indonesia dahulu. Judulnya, Maskot.
Maskot lahir dari tangan sineas yang sebelumnya tak bersentuhan dengan film komedi situasi era dulu. Film ini bukan lahir dari Chaarul Umam yang menggarap Kejarlah Daku Kau Kutangkap dengan kuat, plus skenario cerdas milik mendiang Asrul Sani. Lantas, dari siapa Maskot lahir? Sutradaranya, Robin Moran, lulusan luar negeri (Northeastern University) dan baru pertamakali menyutradarai film panjang (sebelumnya bikin video klip dan jadi editor Miles Productions).
Walau datang dari tangan debutan, Maskot berangkat dari skenario yang lumayan oke—buatan Ari M. Syarif dan Joko Nugroho yang baru pertama menulis skenario film panjang. Ceritanya berawal dari Sasmita yang tertegun menatap ayam jago berwarna putih berdiri tegap di atas meja. Ayam jago itu satu-satunya ayam yang selamat dari wabah yang melanda peternakannya. Ayam jago itu menginspirasi Asmita membuka usaha kecap dengan bendera: “Ketjap Tjap Ajam Medja”.
Usaha pabrik kecap Sasmita sukses. Sang ayam tetap dipelihara dan diperlakukan bak raja karena dianggap sebagai simbol perusahaan yang membawa keberuntungan. Namun, sebuah kecelakaan di pabrik menewaskan ayam jago itu. Sasmita shock hingga meninggal. Sebelum menghembuskan napas terakhir, ia berpesan pada anaknya, Widjaja (El Manik) agar meneruskan usaha dan merawat keturunan ayam jago itu.
Lewat beberapa tahun, Widjaja mampu membangkitkan kembali usaha kecap dan membangun pabrik yang lebih modern. Ayam jago keturunan sang ayam simbol dahulu kembali diaanggap keramat. Namun, seakali lagi, kecelakaan terjadi. Ayam jago itu tewas. Perusahaan kehilangan simbol. Widjaja shock hingga terserang stroke. Dari pembaringan, ia meminta anaknya, Dennis (Ariyo Wahab) dipanggil pulang dari Jepang untuk meneruskan bisnis keluarga.
Sebelum Dennis memimpin pabrik, harus ada ayam baru buat jadi simbol perusahaan menggantikan yang terdahulu. Atas saran penasihat spiritual keluarga, Markan (Otig Pakis), Dennis mesti mencari ayam di “sebuah lembah di antara dua gunung kembar, dekat sungai berwarna hitam tempat bidadari mandi yang mengalir ke seribu anak sungai.”
Maka, pergilah Dennis mencari ayam itu.
Perburuan bukannya tanpa masalah. Tempat yang dicari jelas tak tercantum di peta. Dennis sampai keliling pulau Jawa mencari lokasi itu, bertanya sana-sini, tinggal di rumah penduduk, hingga kehabisan bensin. Selain itu, bersama Dennis ikut pula Misran (Butet Kertarajasa) dan sopirnya. Misran punya agenda tersembunyi menemani Dennis. Karyawan senior di perusahaan Ketjap Tjap Ayam Medja ini mengincar posisi yang ditinggalkan Widjaja. Ia tak rela Dennis memimpin perusahaan. Ia bertekad membuat Dennis gagal mencari ayam simbol.
Syahdan, Dennis dan rombongan tiba di desa mirip lokasi yang dideskripsikan Markan. Desa itu memang punya ayam jago berwarna putih yang dianggap keramat. Ayam jago itu dipercaya membawa kesuburan dan kemakmuran pada desa itu. Di desa itu pula, Dennis berkenalan dengan Maruti (Ulie Auliani), kembang desa yang ditaksir Sapari (Epy Kusnandar), carik desa setempat. Kedekatan Dennis dengan Maruti membuat Sapari cemburu. Ayah Maruti, Sadri (Wawan Wanisar) jadi penjaga ayam keramat. Niatan Dennis meminta ayam itu ditolak Sadri dengan halus. Cara lain yang bisa ditempuh: mencuri ayam itu. Maruti bersedia membantu. Padanya, Dennis berjanji hanya meminjam lalu mengembalikan sang ayam keramat. Tapi, rencana Dennis dan Maruti tak mulus. Ada Misran yang bersekongkol dengan Sapari demi menggagalkan usaha Dennis.
Kelucuan demi kelucuan tersaji sepanjang film. Ya, film ini sungguh mengundang tawa. Bukan menertawai kejanggalan yang ada di layar, tapi memang filmnya benar-benar lucu. Simak misalnya, saat Widjaja memarahi sutradara bule di lokasi syuting iklan. Atau, bagaimana tak menahan tawa melihat polah Sapari yang dibakar cemburu.
Moran beruntung didukung aktor-aktor yang membuat skenario film ini jadi berkekuatan ganda. Ini rasanya yang patut disyukuri. Film ini punya Butet Kertarajasa dan Epy Kusnandar yang membuat film jadi segar, membikin terbahak. Artis anyar Ulie Auliani juga mampu berakting wajar. Sementara itu, Ariyo Wahab yang berakting terbata-bata di film pertamanya, Biarkan Bintang Menari (2002), sudah makin bagus main film. Jadi, niatan pembuat film menyajikan film bertema komedi situasi mirip film era dulu bolehlah dibilang nyaris berhasil. Dibilang nyaris karena masih ada cacat teknis di sana-sini (gambar-gambar lanskap tak perlu serta seting miskin seperti di pabrik). Namun, itu semua tertutup akting jempolan para pemain.

No comments: