Tuesday, August 14, 2007

Iklan dan Industri Hiburan

Saat Iklan dengan Industri Hiburan Bertemu

Tak ada bisnis sperti bisnis hiburan. Kini industri hiburan sudah dirambah pengiklan. Bukan sebagai tayangan sela, tapi dalam isi yang disajikan.

Oleh Ade Irwansyah

Syahdan, di tengah sesi rekaman, mata Jim Morrison, dedengkot grup band era ’60-an The Doors, terantuk pada layar teve. Ia menangkap alunan musik yang tak asing dari sebuah iklan mobil Ford yang tengah diputar. “Come on baby light my fire!” begitu lirik yang Jim dengar dalam nada cempreng. “Catchy tune,” gumam Jim menyadari lagu Light My Fire milik The Doors dipakai buat iklan. Ia lantas berbalik menatap rekan bandnya, Ray Manzarek dengan penuh tanya.

“Kau menjual lagu kita jadi iklan?” tanyanya. Ray diam.

“Berapa?” tanya Jim lagi. Ray masih diam.

“Tujuh puluh lima ribu dolar. Tadinya mesti diomongkan dulu, tapi kau selalu tak ada,” jawab anggota band lain merasa bersalah.

“Kami pikir itu ide bagus,” kali ini Ray yang bicara. “Lagu itu sudah jadi komersil. Rekamannya sudah terjual 2 juta kopi. Itu bukan persoalan besar.”

Jim terdiam sejenak, lalu berdakwah. “ (Lagu itu) jadi nada buat didengar jutaan orang...,” ujarnya tak habis pikir. “The Doors itu semua untuk satu, satu untuk semua, bukan? Hal itu nggak nyata rupanya. Ini bukan soal uang, kontrak rekaman, atau keinginan pribadi. Tapi bagaimana mendobrak lewat musik. Ada yang salah di sini.”

“Tidak Jim,” kata Ray, “(Kami melihatnya) dengan skala lebih besar saja,” timpal Ray. Jim berbalik, mengambil teve dan melemparnya ke arah Ray. Ray sempat menghindar. Teve membentur pintu kaca.
***
Kejadian di atas terekam dalam film berjudul The Doors (1991). Film besutan Oliver Stone itu berkisah seputar perjalanan grup band itu berikut pentolannya, Jim Morrison. Jim yang dijuluki si Raja Kadal ini tak setuju lagunya dipakai jadi jingle iklan. Namun, tak demikian sikap rekan seband Jim. Bagi mereka, tak ada salahnya menjual lagu jadi iklan. Mereka bisa dapat uang dari situ.

Jim lain. Baginya, lagu bukanlah semata persoalan komersil. Ada nilai-nilai idealisme di dalamnya. Dan hal itu bisa rusak begitu nilai komersil ikut campur.
Seniman sejati, konon dicitrakan sebagai sosok yang punya idealisme tinggi. Ia hanya mencipta buat menyalurkan citarasa seni yang ia miliki. Baginya cita rasa itu sebuah anugerah Tuhan yang tak dimiliki setiap orang. Jika tak mencipta, ia bukanlah seniman.
Pada perkembangannya seni tak sekadar jadi saluran ekspresi sang seniman. Ada seniman yang butuh apresiasi dari masyarakat atas karya seni yang dibuatnya. Mereka butuh media untuk memamerkan karya seni. Dari situ muncullah galeri-galeri seni atau tempat sebuah karya seni dipertunjukkan. Belakangan, galeri mengutip bayaran dari orang yang ingin menikmati karya seni. Hasil yang diperoleh, dibagi dua antara srniman dn pemilik galeri. Seniman mulai dapat uang atas karya seni buatannya. Syahdan, ada seniman yang menjadikan berkesenian sekaligus pekerjaan utamanya. “Saya berkarya, maka saya dapat uang!” begitu prinsip mereka.
Hal ini mendorong seni jadi industri. Seni tak lagi murni wadah ekspresi kemanusian atas akal budi yang dimiliki. Seni bisa pula dinikmati orang banyak. Kesenian macam itu diciptakan semata untuk menghibur orang. Dari situ, seni beralih rupa jadi ajang menghibur. Setiap orang ingin dapat hiburan. Untuk dapat hiburan, bahkan ada orang yang rela mengeluarkan uang.
Begitu melibatkan uang, urusan hibur-menghibur ini lantas menjadi sebuah industri. Kita pun mengenal frasa baru: industri hiburan.
***
Dan “there is no business like show business!” Ungkapan itu rasanya benar. Industri hiburan membuat niatan senian tak lagi murni. Nilai-nilai komersil—yang alasan utamanya mendatangkan keuntungan sebesar mungkin—mulai merasuki ekspresi berkesenian. Seniman jadi penghibur.
Industri hiburan juga menyediakan lahan luas bagi pengiklan. Falsafahnya, di tempat-tempat orang mencari hiburan, tak ada salahnya memasarkan produk. Ingat, tempat orang mencari hiburan biasanya sebuah pusat keramaian—tempat banyak orang berkumpul. Keadaan ini mendorong sebuah strategi pemasaran baru: beriklan di industri hiburan. Hakekatnya, produsen mengiklankan produknya biar dibeli orang. Biar membeli, orang mesti tahu lebih dahulu.Dari situ, iklan dibuat.
Syahdan, strategi pengiklan menggaet makin beragam. Iklan tak cuma diselipkan di sela-sela pertunjukkan. Tapi bisa pula jadi bagiantak terpisahkan dari sebuah karya yang menghibur. Sinergi antara industri hiburan dan iklan pun terjadi.
Maka, akhir-akhir ini kita ramai menyaksikan ada lagu yang dinyanyikan sang idola saat iklan sebuah produk tengah tayang. Atau penyanyinya jadi bintang ikla selaligus. Itu yang terjadi pada grup duo Ratu dan Ada Band.
Sementara itu, Audy bertindak lebih jauh lagi. Lagunya dibuatkan sebuah video klip yang mengiklankan sebuah produk kosmetik. Oh, bagaimana kita mesti menyebut karya itu? Sebuah video klip atau iklan? Jika menyebutnya sebagai iklan, bisa-bisa itu salah satu iklan terpanjang yang pernah dibuat.
Di jagad film pun setali tiga uang. Film bioskop yang tak bisa disela iklan—untuk membedakannya dengan tontonan teve yang gratis—tak sepenuhnya bersih. Banyak iklan terselebung berkeliaran di sepanjang film. Untuk hal itu istilahnya keren, product placement atau padanan bebasnya penempatan produk yang punya tujuan komersil. Maka, kita menyaksikan sang aktor memakai mobil bermerk A, menelepon dengan handphone bermerk B, dan mengobrol sambil ada papan reklame produk C sebagai latar belakang.
Sahkah itu semua? Birkan pelakunya yang menjawab. Tulisan ini hanya bermaksud melontarkan wacana. Tidak kurang. Tidak lebih. ***


Musikku, Iklan Mereka
Bagaimana perkawinan industri musik dan periklanan terjadi?
Oleh Ade Irwansyah
Kalau rajin menyimak teve akhir-akhir ini Anda bakal menemukan sebuah fenomena menarik: makin banyak penyanyi jadi bintang iklan di teve. Tidak cukup itu, ada juga yang merelakan lagu mereka jadi jingle iklan. Bahkan, kemunculan lagu itu seiring dengan pemasaran sebuah produk. Artinya, si penyanyi atau grup band merilis album berbarengan dengan kampanye iklan sebuah produk. Kadangkala iklannya muncul lebih dulu ketimbang CD atau kasetnya.
Ratu, grup duo pop yang digawangi Maia dan Mulan, misalnya, mengiklankan handphone Nokia sambil berlenggak-lenggok menyanyikan lagu hitnya, Teman tapi Mesra. Yang teranyar, Ratu melantunkan lagu barunya, Lelaki Buaya Darat sambil mengiklankan teve keluaran Sharp terbaru. Album yang berisi lagu itu bahkan belum dijual di pasaran.
Audy lain lagi. Jauh-jauh hari sebelumnya, bekerjasama dengan Olay, sebuah produk kosmetik,
diadakan kontes pencarian bakat macam Audisi Fantasi Indosiar (AFI) atau Indonesian Idol buat menjaring penyanyi yang akan diduetkan dengan Audy. Indosiar digaet jadi stasiun teve yang mengadakan kontes itu. syahdan, terpilihlah Nindi, seorang dara manis yang punya tampang dan vokal oke. Nindi dan Audy lantas berduet menyanyikan lagu bertitel Untuk Sahabat. Isinya kurang lebih tentang persahabatan. Nggak ada hubungannya dengan kosmetik Olay.

Namun, cobalah lihat video klip lagu itu. Ada aegan saat Audy dan Nindi bercanda di depan cermin sambil memakai produk Olay total white warna kuning. “Video klipnya memang terkesan mengiklankan Olay. Tapi, buat saya itu tak masalah,” kata Audy.
Menurut Sundari, assistant promotion manager SonyBMG Indonesia, perusahaan rekaman yang menaungi Audy, cewek mantan kekasih drumer Dewa 19 Tyo Nugros itu sudah didapuk jadi brand ambassador Olay (“Saya bangga kepilih jadi brand ambassador Olay,” ujar Audy senang). Saat Audy bersiap meluncurkan album, ceritanya pada majalah Teen terbitan 6 April silam, pihak Olay membuat kontes pencarian bakat buat duet bareng. Lagu yang dibawakan Audy dan pemenang kontes itu, Nindi, masuk ke dalam album Audy. “Jadi ada kerjasama antara SonyBMG dan Olay di album Audy,” aku Sundari. Ia berujar, kerjasama itu bertujuan untuk ajang promosi album Audy dan peluncuran produk Olay. “Dengan begitu kami saling support,” bilang Sundari. “Olay terbantu dengan Audy yang menjadi model iklannya, Audy dan SonyBMG juga diuntungkan dengan promosi album baru ini.”

Selain tak masalah dengan video klip yang mirip iklan, Audy juga tak mempersoalkan mesti berduet dengan penyanyi baru di albumnya. “Nggak masalah buat saya mengiklankan Olay dan menyanyikan lagu saya dengan penyanyi pemenang kontes itu,” bilang Audy.
Audy bukan satu-satunya artis SonyBMG yang jadi bintang iklan. Dalam deretan daftar itu ada nama Glenn Fredly (iklan Bank Mandiri), Ello, (Kymco, Vitalis, SAmsung), dan Ratu (Nokia, Honda Jazz, dan Sharp). Mereka mengiklan produk sambil lagunya ada di iklan tersebut.
Ratu jadi ratu iklan
Ratu tergolong artis yang sedang hot jadi bintang iklan. Hal ini disyukuri mereka. “Kami sih bersyukur jadi bintang iklan yang brand imege-nya besar,” kata Vita, manajer Ratu. Ia berujar Ratu menerima banyak tawaran jadi bintang iklan. Tak semuanya diterima. “Kami seleksi dulu,” kata Vita. Iklan apa yang dipilih Ratu? “Biasanya kami memilih iklan yang brand image-nya besar dan sesuai dengan imej Ratu,” jawab Vita. Yang tak sesuai imej Ratu bakal ditolak. “Misalnya, kami harus mengenakan kostum atau pakaian tertentu yang tak sesuai dengan imej Ratu.” Ratu tak membatasi diri jadi bintang iklan produk tertentu. “Iklan jamu juga nggak masalah,” kata Vita. “Asal itu brand besar. Dewa 19 saja mau kok jadi bintang iklan jamu Tolak Angin.”

Buat Ratu, jadi bintang iklan sekaligus lagunya dipakai sebagai backsound atau jingle justru sebuah keuntungan berlipat. “Secara tak langsung, iklan itu mempromosikan lagu-lagu Ratu,” bilang Vita. “Sejauh ini, promosi dengan cara ini (jadi bintang iklan) dapat feedback bagus.” Enaknya lagi, kata Vita, jadi bintang iklan juga makin punya kesempatan manggung di mana-mana. Produk yang mereka iklankan, biasanya mengajak mentas buat promosi produk. “Makanya frekuensi manggung kami sampai beberapa bulan ke depan sangat padat.”

Ada Band digaet produsen pembalut wanita
Apa yang dirasakan Ratu dan Audy juga dialami Ada Band. Di album terbaru berjudul Romantic Rhapsody, Ada Band menjalin kerjasama dengan Softex, produsen pembalut wanita. Singel anyar dari album itu, Karena Wanita (Ingin Dimengerti) dicomot jadi tagline Softex. Menurut cerita resmi, artinya dari personil Ada Band yang kemudian dibenarkan pihak Softex, semula judul lagu itu hanya Karena Wanita. Donnie, sang vokalis, yang membuat liriknya. “Awalnya ia ingin bertutur tentang sosok ayah. Kemudian karena pertimbangan lebih luas diganti jadi cerita tentang sosok ibu,” cerita Khrisna, kibordis Ada Band. Khrisna lantas mengusulkan kenapa tak seakalian saja diperluas jadi wanita, bukan cuma ibu saja. “Ya sudah akhirnya diberi judul Karena Wanita.” Saat lagu itu masih setengah jadi, Softex menganggap lagu itu cocok dengan tagline mereka. Judul pun ditambahi jadi Karena Wanita (Ingin Dimengerti).

Itu cerita resminya. Cerita tak resmi menyebutkan kalau itu lagu pesanan. Hal yang dibantah personil Ada Band. “Kami menolak kalau lagu itu dibuat khusus untuk Softex,” sangkal Khrisna. Kendati menyangkal sebagai lagu pesanan, Khrisna mengaku kalau lagunya tak gratis. “Kerjasama itu tebtu tak gratisan,” katanya. Berapa jumlah yang diterima Ada Band? “Waduh, untuk urusan itu saya belum tahu,” jawab Khrisna. “Yang jelas, lebih enak kerja sama dengan produk wanita dibandingkan produk lain.” Entah apa maksud Khrisna. Yang pasti, oleh Softex, Ada Band juga diajak manggung di 10 kota. Kabarnya, buat manggung di setiap kota, Ada Band tak kurang dibayar 50 juta rupiah. Jadi, dikalikan 10, total jendral uang yang diperoleh Ada Band dri manggung berama Softex sebanyak setengah miliar. Belum lagi dari royalti menjual lagu buat iklan. “Selain keuntungan materil, kami juga merasa album kami dibantu Softex dengan konser 10 kota itu,” ujar Khrisna senang.

Sebelum Ada Band, band lain semisal Peterpan juga sudah menjalin kerjasama dengan PT Excelcomindo (XL), produsen penyedias jasa layanan seluler. XL mendapuk Peterpan jadi ikon kartu Bebas XL, salah satu produk varian XL. Peterpan diangkat XL jadi ikon lantaran fansnya kebanyakan remaja, target pasar yang ingin digaet XL. Buat Peterpan, jadi ikon XL bisa seakligus ajang promosi. “Kami akan memanfaatkan kerjasama ini untuk mempromosikan lagu-lagu Peterpan,” ujar Ariel, vokalis Peterpan pada Bintang suatu kali. Dikontrak perusahaan besar macam XL tentu mendatangkan keuntungan materi. Ariel membenarkan hal itu. Soal besarannya ia berahasia. “Jumlahnya tak jauh dengan pendapatan album terakhir kami,” kata suami Sarah Amalia itu berahasia. Album yang dimaksud Ariel berjudul Bintang di Surga. Album itu laku lebih dari 2 juta keping.

Kerjasama antara pemusik dengan produsen sebuah produk bukanlah hal tabu kini. Hampir semua musisi melakukannya. “Kalau cocok dengan produknya nggk apa-apa,” komentar Melly Goeslaw saat ditemui Bintang, Rabu (26/4) sore silam di kawasan Kemang, Jakarta Selatan bareng suaminya Anto Hoed. Melly berujar pernah melakukan itu lewat lagu Potret, grup band tempat ia bernaung, berjudul Usia 17 untuk iklan Shower to Shower. “Bunda juga pernah,” sebut Anto Hoed, juga personil Potret tanpa merinci untuk iklan apa.

Melly menekankan, saat lagu-lagu Potret itu dipakai iklan, albumnya yang jadi induk lagu itu sudah beredar lama sebelumnya. Ia berujar, agak keberatan kalau lagu di album terbaru langsung jadi iklan. “Kasihan lagu itu jadi imej produk. Sebab, musik bahas universal,” katanya. “Kan nggak enak lagi dengar musik enak-enak, tiba-tiba teringat suatu produk. Kalau lagunya sudah lama rilis nggak apa-apa.”

Buat Melly dan Anto lebih senang kalau pengiklan datang padanya minta dibuatkan album baru. “Mending bikin baru,” kata Melly yang diangguki Anto. Hal itu pernah mereka lakukan saat mebuat iklan layanan masyarakat buat Lifebuoy. “Itu lebih menarik,” kata Anto. “Dibuat khusus untuk iklan itu.” Saat sebuah lagu dipakai untuk iklan biasanya ada masa kontrak tergantung perjanjian. “Bisa 6 bulan atau ada yang 1 tahun,” kata Melly. Selepas itu, pengiklan tak berhak lagi memakai lagu mereka. Jika masih ingin, mesti memperpanjang kontrak. Melly juga segan bila lagunya dipakai iklan lantas mesti manggung di mana-mana buat berpromosi. “Maunya sih, dapat uang tapi nggak melakukan apa-apa,” ujar Melly cuek.

Setiap musisi boleh punya sikap masing-masing lagunya dipakai buat iklan. Itu hak setiap orang. Yang jelas, mereka tentu dapat keuntungan materil lantaran lagunya dipakai iklan. Hal ini bisa jadi jalan buat menambah pundi-pundi uang mereka. Mengingat penjualan via kaset atau CD masih diselubungi pembajakan. *** Dibantu laporan BinsarHutapea

Iklan Terselubung di Jagad Film Nasional

Setelah media cetak, layar kaca, dan Internet, giliran layar lebar jadi sasaran beriklan
Oleh Ade Irwansyah
Pada sepenggal adegan film D’Girlz Begins yang baru beredar pekan kemarin ada adegan begini: saat seorang tokohnya yang wanita berdiri, tokoh lain yang terbaring di lantai—dalam keadaan mabuk berat lantaran sebelumnya tripping di diskotek—berujar, “Eh, bocor, tuh,” kata wanita yang terbaring di lantai. Kamera lantas menyorot (maaf) pantat si wanita yang berdiri. Bercak merah terlihat. Seotrang wanita lain bereaksi, “Mau pakai yang mana, ini atau ini,” kata wanita itu sambil memegang pembalut merk Softex ukuran biasa dan besar.
Bolehlah menyebut adegan itu iklan terselubung. Tapi Anda tak berhak mencak-mencak, D’Girlz Begins sepenuhnya dibuat Softex lewat bendera Softex Heritage Movie. Sebagai yang punya duit, Softek merasa berhak menampilkan adegan yang menunjukkan produk mereka. “Menurut kami, kemuculan produk itu masih pada tahap wajar,” ujar Dyah Kartika, marketing communication manager PT Softex Indonesia.
Sementara itu, pada film lain, Alexandria (2005) ada tokoh Dhira yang diperani Kinaryosih. Dhira bekerja jadi account executive sebuah biro iklan. Di biro iklan tempatnya bekerja ada poster dari produk rokok A Mild Sampoerna, lengkap dengan slogan “Tanya Kenapa?”. Sebuah resensi di situs film nasional menyebut tak kurang ada logo A Mild muncul 9 kali. Sebuah olok-olik di situs yang sama menyebut Alexandria mestinya dapat Piala Citra untuk product placement terbanyak. Selain A Mild, di film itu berkelebatan sponsor mulai dari XL Bebas,
Dunkin Donuts, Nokia, hingga Motorola.
Product placement sebutan keren buat logo atau produk yang muncul di film layar lebar atau teve. Situs ensiklopedia Wikipedia mendefenisikannya sebagai taktik promosi oleh pemasar saat barang-barang komersil betulan (maksudnya memang ada di dunia nyata) ditemptkan di cerita fiksi, dan kehadiran produk itu terjadi lantaran ada kerjasama yang bernilai ekonomi. Saat sebuah produk dimunculkan tanpa ada nilai ekonominya, sebutannya bukan lagi product placement, tapi product plug. Product placement bisa muncul dalam pertunjukkan drama, film, serial teve, video musik, video games, gim, buku atau komik.
Semula jaringan teve ogah menampilkan logo sebuah produk. Dalam serial Melrose Place, misalnya, logo merk Nokia di handphone diubah jadi “Nokio”. Namun, sebenarnya, product palcement sudah muncul sejak awal 1980-an. Yang paling diketahui publik saat film E.T.: The Extra-Terrestrial muncul pada 1982. Film karya Steven Spielberg yang amat laris ditonton itu, menampilkan permen rasa selai kacang merk Reese’s Pieces. Konon, kemunculan Reese’s Pieces di film E.T. menaikkan penjualan sampai 65 persen. Contoh lain paling awal muncul di film Love Happy keluaran 1949. Di film itu adegan saat seorang pemerannya Harpo Marx, berloncatan di atap lari dari penjahat, di belakangnya ada logo perusahaan minyak Mobil versi lama dengan slogan, “Flying Red Horse.”
Sejak itu, film-film Hollywood tak pernah sepi dari product placement. Film James Bond, misalnya, dipenuhi iklan terselubung di mana-mana. James Bond, agen rahasia Inggris berkode 007 yang punya ijin membunuh dan doyan cewek itu pakai mobil merk BMW dan kini Aston Martin, serta jam tangan Omega. Product Palcement paling awal juga muncul di seri film Bond. Di film Bond berjudul The Man with the Golden Gun (1974) berkelebatan mobil-mobil merk AMC (American Motors Corporation), mobil keluaran AS, bahkan saat adegan berlangsung di Thailand, tempat yang tak menjual mobil AMC dan punya posisi setir beda dengan AS.
Product Placement di sinema Indonesia
Di jagad film nasional mutakhir product placement mulai sering muncul sejak Tusuk Jelangkung (2001). Itu sekuel film sukses Jelangkung (1999) yang ditonton 1,6 juta orang. “Di film itu ada Honda, Samsung, dan Berry Juice,” ingat Adiyanto Sumarjono, direktur utama nvestasi Film Indonesia, perusahaan konsorsium pendanaan film, pada Bintang Rabu (26/4) malam. Sejak itu, product placement bermunculan bagai cendawan di musim hujan. Paling banyak, ya lewat film Alexandria keluaran tahun lalu.
Menurut Adi, product placement bisa jadi alternatif beriklan yang jitu. “Sebuah film layar lebar diputar di bisokop. Audiensnya besar, palagi bila filmnya sukses,” kata Adi. Selepas di putar di layar lebar, film itu bakal punya kesempatan buat tayang di teve dan kemudian dirilis dalam bentuk VCD dan DVD. Artinya, iklan product placement akan dilihat terus setiap kali filmnya ditonton. Sementara, kata Adi, ongkos buat beriklan di teve sangat mahal. Padahal waktu kemunculannya sangat singkat. “Product placement memungkinkan exposure lebih lama dan permanen atas sebuah produk,” simpul Adi.
Namun demikian, menaruh product placement mesti cerdik. “Jangan sampai mengganggu kenikmatan orang menyimak cerita film,” kata Joko Anwar, sutradara film Janji Joni. “Begitu orang tersadar kalau ada product placement, hal tersebut sudah lsalah.” Di filmnya sendiri, Janji Joni, Joko tak berniat membuat product placement. Hanya saja, di film jlas kelihatan Joni berkali-kali Joni (diperani Nicholas Saputra) berlari kemana-mana dengan sepatu dan kaus merk Converse.
Kata Joko, Converse dipilih lantaran cocok dengan karakter Joni di filmnya. Setlah filmnya jadi, baru Joko dan produsernya, Nia Dinata dari Kalyana Shira, mendekati pihak Converse. Sementara itu, masih di Janji Joni, ada adegan yang memperlihatkan taksi bemerk Taxi Cab. “Itu bukan poduct pacement. Kami justru memyewa taksi itu. Atinya, mesti mengeluarkan uang,” jelas Joko. Istilah kerennya, hal itu disebut product plug.
Product placement muncul di film nasional lantaran pembuat film sini tak punya uang banyak. Kata Adi, kehadiran sponsor untuk product placement bisa menutup biaya produksi, dan juga promosi. “Bisa sampai menekan dana 50 persen,” kata Adi. Dari product placement, pembuat film bisa dapat dana segar untuk mengurangi ongkos produksi. Sementara itu, pembuat film juga bisa memangkas ongkos promosi yang sudah ditanggung sponsor.
Hal itu betul-betul dirasakan Joko saat membuat Janji Joni. Saat melakukan promosi, film itu diuntungkan kerjasama dengan Lux. Produsen sabun itu, yang bintangnya Mariana Renata jadi bintang film itu, mengurusi kegiatan promosi dari mulai membuat billboard hingga iklan di media cetak. “Bayangkan, berapa dana yang bisa dihemat untuk promosi kalau sudah ada yang mengurus,” kata Adi. Ia memberi pemisalan, biaya promosi sebuah film bisa hampir sama besarnya dengan biaya produksi.
Buat rumah produksi sebesar Multivision Plus Pictures, product placement ternyata juga masih diperlukan. Hal itu mereka lakukan buat film Jatuh Cinta Lagi. Di film itu ada 3 produk yang jadi sponsor utama: deterjen Bu Krim, Samsung, dan mobil Mercedes Benz. Selain ketiganya masih ada sponsor-sponsor kecil semisal sebuiah kafe di Kemang. Menurut Groza, humas Multivision, ketiganya membantu pendanaan dan ikut mempromosikan Jatuh Cinta Lagi. “Hampir 50 persen dari ongkos produksi,” sebut Groza. Konon, ongkos produksi Jatuh Cinta Lagi sekitar lebih dari 3 miliar.
Jika rumah produksi sebesar Multivisiion saja masih perlu sponsor buat product pkacement, rasanya film tanah air takkan sepi dari hal itu. “Saya tak menutup kemungkinan kalau film saya pakai product placement,” ujar Joko Anwar. Adi juga mengucapkan hal senada. Di IFI, tempatnya menyortir film-film buat didanai, selalu dicari kemungkinan buat product placement di sela film. “Hal itu bisa kelihatan dari skenario film. Kalau di skenario ada adegan di jalanan atau halte, bisa ditempatkan product placement,” jelas Adi. ***
Dimuat Bintang Indonesia edisi 784.

No comments: