Monday, February 19, 2007

Sebuah Catatan atas Yang Terbaik

25 film indonesia terbaik dan terlaris sepanjang masa

Dalam rangka ultah ke-15 tabloid ini membuat polling pada pengamat dan wartawan film untuk memilih film Indonesia terbaik sepanjang masa. Hasilnya, tak kurang ratusan judul masuk redaksi. Sebuah pertanda negeri ini banyak menghasilkan film bagus.
iklan harian Bintang Betawi edisi 4 Desember 1900 berbunyi begini, “Besok hari Rebo 5 Desember 1900 Pertoenjoekan Besar yang Pertama di dalam satoe roemah di Tanah Abang, Kebondjae (menage) moelai poekoel Toedjoe malem. Harga tempat klas satoe f2, klas doewa f1, klas tiga f0,5.” Hari itu, 5 Desember 1900, pertama kali film diperkenalkan pada orang Indonesia (waktu itu namanya Hindia Belanda) -- hanya selang 5 tahun setelah film pertama kali diperkenalkan ke khalayak umum. Film pertama yang hadir di Indonesia itu berupa film dokumenter perjalanan Ratu Belanda di kota Den Haag. Pertunjukan pertama itu konon kurang sukses. Sehingga, pada 1 Januari 1901, harga karcis didiskon 75 persen buat menarik minat orang menonton. Perkembangannya kemudian amat dinamis. Dalam 5 tahun pertama, bioskop-bioskop di masa itu sanggup memutar dua film setiap malamnya.

Orang Indonesia pun makin akrab dengan medium seni bernama film yang waktu itu disebut “gambar idoep”. Film-film impor dari negeri lain makin sering ditonton. Hingga, pada 1926, lahir Loetoeng Kasarung. Dalam bukunya Katalog Film Indonesia, JB Kristanto mencatat, “walau dibikin oleh orang asing, tapi ini film cerita pertama di Indonesia yang menampilkan cerita asli Indonesia, sebuah legenda yang terkenal dari Jawa Barat.” Sejak masa itu hingga sekarang tak kurang sudah sekitar 2500 film Indonesia dibuat.

Lantas, apa film Indonesia terbaik yang pernah dibuat dari dulu sampai sekarang? Pertanyaan itu menggelitik kami, redaksi Bintang. Di Hollywood sana sudah mafhum dilakukan pemeringkatan macam begini, termasuk buat film. Dan hampir semua kritikus film sana sepakat kalau film terbaik yang pernah dibuat itu tak lain Citizen Kane (1941). Itu film yang berkisah seputar kehidupan raja media Charles Foster Kane (diperani sutradaranya sendiri, Orson Welles). Filmnya dianggap meninggalkan hal klise dan memberi aturan baru cara membuat film. Hebatnya, film itu datang dari orang yang sebelumnya tak pernah membuat film dan baru berusia 26 tahun.

film zaman dulu tak bisa lagi disaksikan
Sineas negeri ini tentu telah melahirkan film-film terbaik. Akan tetapi tak mudah menentukan yang terbaik di antara semuanya. “Nggak bisa. Hal itu mustahil,” kata JB Kristanto pada Bintang, Senin (27/2) sore. Penyebabnya sederhana saja, banyak film Indonesia yang sudah tak bisa disaksikan lagi. “Karena barangnya sudah nggak ada,” ujar Kristanto. Ia merasakan betul sulitnya mencari film-film Indonesia zaman dulu saat menyusun buku Katalog Film Indonesia. “Tidak ada kesadaran arsip dari produser untuk menyelamatkan hartanya (film),” kata Kristanto. “Jangankan filmnya, data-data filmnya saja nggak disimpan.” Film Indonesia paling tua yang pernah ia tonton yakni Darah dan Doa (1950, Usmar Ismail) dan Harimau Tjampa (1953, Djajakusuma). Sementara itu, dalam surat elektroniknya pada Bintang, Eric Sasono, pengamat film dan kolumnis lepas situs Layarperak.com, mengutip seorang antropolog dari East-West Center Hawaii, AS yang berujar bahwa “film Indonesia yang paling tua yang masih bisa ditonton adalah Enam Djam di Djogja (1951, Usmar Ismail).”

Kenyataan di atas sungguh memprihatinkan. Di Hollywood sana, film-film bisu Charlie Chaplin masih bisa kita saksikan hingga sekarang. Sementara itu, penonton negeri ini cuma bisa tahu film bisu zaman dulu yang pernah dibuat di tanah air hanya dari bacaan, tak bisa melihat filmnya. Parahnya, hal itu rupanya tak terjadi pada film-film yang sudah kelewat tua saja. Menurut Kristanto, film-film era 1970-an banyak yang sudah tak bisa disaksikan lagi lantaran rusak. Sementara itu, negatif filmnya “ada di Tokyo atau entah di mana.” Kala itu ada kecenderungan melakukan proses pasca produksi di luar negeri. Selain Tokyo, Hong Kong sering jadi pilihan.

Akan tetapi, ya itu tadi. Bukan berarti kita tak pernah punya film-film terbaik. Kita punya sineas-sineas jempolan yang sudah melahirkan karya-karya terbaik masing-masing. Dalam deretan itu ada nama-nama Usmar Ismail, Sjuman Djaya, Asrul Sani, Teguh Karya, Arifin C. Noer hingga sutradara era sekarang semisal Garin Nugroho, Riri Riza atau Rudi Soedjarwo. Dari tangan mereka kita disuguhi tontonan yang baik.

film terbaik sepanjang masa
Bintang bertanya pada Kristanto yang mantan wartawan film di Kompas, apa film Indonesia terbaik yang pernah dibuat. “Film Indonesia terbaik sepanjang masa itu Lewat Djam Malam (1954),” jawabnya. Di matanya, film itu layak disebut terbaik dilihat dari alasan sinematografis maupun sosial. Ia bercerita film itu mengisahkan tentang korupsi di awal usai perang revolusi. Pada buku katalog film yang ditulisnya Kristanto menulis film itu sebagai “karya terbaik Usmar Ismail”. Film itu, tulisnya lagi, sebuah kritik sosial cukup tajam mengenai para bekas pejuang kemerdekaan pasca perang. Bagi mantan penulis resensi film di Tempo yang kini jadi pengamat politik, Salim Said, film terbaik itu juga Lewat Djam Malam. “Bukan Darah dan Doa. Film Pedjuang (film Usmar yang lain) malah jauh lebih enak dilihat,” katanya pada Bintang via telepon Senin siang. Sementara itu di mata dua wartawan film senior yang lain, Yan Widjaya dan Ilham Bintang (kini pemimpin redaksi Cek dan Ricek) film terbaik itu justru Krisis (1953), juga dibuat Usmar Ismail.

Untuk mencari tahu apa film terbaik sepanjang masa, Bintang membuat polling kecil-kecilan pada 20 pengamat film dan wartawan film berbagai media. Selama 3 pekan kemarin kami menyebar surat elektronik ke berbagai wartawan itu. Mereka merespons baik polling kami. Tak kurang ratusan judul film masuk. Dari jumlah itu dipilih 25 film dengan suara terbanyak. Dari hasil polling yang kami buat, Tjoet Nja’ Dhien (1986) dapat suara terbanyak dan layak disebut yang terbaik. Film lainnya bisa Anda simak di halaman-halaman berikut.

Pertanyaannya, kenapa cuma 25? Mohon maaf, halaman yang kami miliki terbatas. Tak semua film bagus bisa masuk. Namun, kami sadar, dari ratusan judul film yang masuk itu menandakan sineas negeri ini sudah banyak melahirkan film bagus. Saat menyiapkan laporan ini telepon genggam Bintang berbunyi. Yan Widjaya menelepon. Ia bilang begini, “Apa masih bisa mengganti polling yang saya kirim,” katanya. “Saya ingin memasukkan film Berbagi Suami (Nia DiNata, rilis 23 Maret). Itu salah satu film terbaik sepanjang masa. Lebih bagus dari Arisan! (2003, film Nia yang lain).” Ah, negeri ini memang punya banyak film bagus. ***

Film Indonesia Terlaris Sepanjang Masa

Oleh Ade Irwansyah

Ini cerita kejadian pada Desember 2003. Pagi itu, pukul 10.30, suasana depan bioskop 21 di Mal Graha Cijantung disesaki orang yang kebanyakan remaja. Saat itu loket tiket belum dibuka, tapi penonton sudah membludak. Mereka berdesakan di depan pintu kaca. “Akibatnya pintu kaca pecah,” kata Kapyo, Kepala Keamaan bioskop saat itu pada Bintang yang meliput kejadian. Akibatnya, tiga remaja putri terluka. Mereka langsung dilarikan ke Rumah Sakit Lina yang paling dekat dengan mal.

Para remaja itu berdesakkan buat menonton Eiffel I’m in Love (2003). Film remaja yang dibintangi Samuel Rizal dan Shandy Aulia itu tengah digandrungi remaja. Mereka mengantre buat bisa menonton. Bintang saja yang datang ke bioskop 21 di Mal Cijantung menemui tulisan kalau tiket Eiffel I’m in Love sudah habis. Kala itu tak sedikit yang menonton film itu sampai lebih dari sekali. Mereka utamanya ingin melihat akting Shandy dan Samuel Rizal.

Syahdan, sampai akhir peredarannya, Eiffel I’m in Love tak kurang ditonton 3 juta orang. Itu angka terbesar dari jumlah penonton buat ukuran film nasional. Bila dihitung-hitung, Soraya Intercine Film yang memproduksi Eiffel tak kurang dapat untung sampai 21 miliar rupiah -- untung lebih dari seratus persen dari bujet 10 miliar rupiah. Di bawah Eiffel terdapat Ada Apa dengan Cinta? (2001). Film produksi Miles Productions itu tak kurang ditonton sekitar 2,7 juta penonton. Bintangnya, Nicholas Saputra dan Dian Sastro langsung jadi idola. Film itu pula yang menandai demam film dan sinetron bertema remaja. AAdC? yang dibuat Rudi Soedjarwo bisa jadi mendatangkan untung lebih banyak. Sebab, bujetnya “hanya” 4,4 miliar rupiah. Yang dapat untung karena selisih biaya produksi dengan hasil keuntungan yang besar di antaranya juga Jelangkung (1999). Film horor itu dibuat cuma dengan dana 400 juta rupiah, tapi ditonton sampai 1,6 juta orang. Selama berminggu-minggu Jelangkung bertahan di bioskop.

Penonton yang sama banyaknya, 1,6 juta orang, juga diraih Petualangan Sherina (2000). Film Petualangan Sherina ini dibuat dengan dana 1,5 miliar rupiah. Angka-angka fantastis itu susah diraih untuk ukuran sekarang. Bukan apa-apa, kini hampir setiap pekan ada film Indonesia terbaru. Antrean macam film Eiffel, apalagi sampai ada yang terluka segala tak pernah terjadi lagi.

film laris masa lalu
Bila menengok film laris masa lampau bolehlah menyebut Tiga Dara (1956). Film Usmar Ismail yang mengikuti selera pasar itu nyatanya banyak ditonton orang untuk ukuran saat itu. Pada masa itu pula lahir film laris lain semisal Hari Libur (1957, sutradara AW Uzhara) dan Djandjiku (1956, BK Raj, seorang India). Memasuki akhir 50-an hadir Djendral Kantjil (1958). Film yang dibintangi Achmad Albar saat masih berumur 12 tahun itu tergolong laris di masanya.

Menginjak 1970-an, lebih banyak film yang laris hadir. Di tahun-tahun itu bioskop diisi film-film populer bertema drama percintaan, seks, maupun komedi. Maka, di masa itu film seperti Cinta (1975, Wim Umboh) yang dibintangi Ratno Timoer dan Marini, banyak ditonton orang. Dalam catatan Perfin, lembaga yang menghitung jumlah penonton ke bioskop di Jakarta, film itu tak kurang ditonton 117.806 orang. Setahun kemudian, film Inem Pelayan Sexy (1976) jadi film terlaris di Jakarta pada 1977. Film itu ditonton 371.369 orang. Bila kemudian menyebut film lain di era itu yang di antaranya ada Akibat Pergaulan Bebas (1977, 311.286 penonton), Ali Topan Anak Jalanan (1977, 144.547 orang), Suci Sang Primadona (1978, 146.479 orang), Betty Bencong Slebor (1978, 133.258 penonton), atau Binalnya Anak Muda (1978, 171.849 penonton). Di era itu pula, film-film komedi yang dibintangi Ateng tergolomg digenari. Tradisi film yang menjual nama Ateng dimulai pada 1974, lewat Ateng Raja Penyamun. Film Ateng Bikin Pusing (1977) jadi film terlaris ketiga, ditonton 135.000 orang. Di masa itu, sutradara yang biasa membuat film bermutu seperti Teguh Karya juga ikut membuat film pop. Hasilnya, jadilah Badai Pasti Berlalu (1977). Film itu jadi film terlaris kedua dengan jumlah penonton 212.551 orang.

film propaganda jadi yang terlaris
Memasuki 1980-an, Rano Karno dan Yesy Gusman jadi bintang idola berkat Gita Cinta dari SMA (1979). Film itu laris manis ditonton 162.050 orang. Selepas sukses Gita Cinta, Rano dan Yessy mendominasi film-film remaja awal 1980-an. Banyak film remaja dibuat dengan formula mirip-mirip Gita Cinta. Di awal 1980-an, film mistik juga digemari. Nyi Blorong (1982) yang dibintangi Suzanna, misalnya, jadi film terlaris ditonton 354.790 orang. Film yang laris juga di masa itu antara lain Arie Hanggara (1985, ditonton 382.708 orang) dan film-film yang dibintangi pelawak Warkop (Dono, Kasino, Indro). Film Kesempatan dalam Kesempitan (1985), misalnya, ditonton 536.335 orang. Menjelang penghujung 1980-an, popularitas Rano dan Yessy digantikan o­ngky Alexander dan Merriam Bellina. Keduanya jadi idola baru remaja lewat Catatan si Boy (1987). Film itu jadi film laris ketiga ditonton 313.516 orang.

Yang fenomenal dan patut dapat catatan tersendiri mungkin film Pengkhiatan G-30-S PKI (1982) karya Arifin C. Noer. Film itu memecahkan rekor penonton dengan angka 699.282 orang. Angka yang baru terkalahkan kala film Indonesia bangkit lagi awal 2000-an oleh Jelangkung. Kendati super laris, dulu ada kewajiban menonton film propaganda Orde Baru itu. Saat beredar dahulu setiap murid sekolah digiring masuk bisokop menonton film berdurasi 271 menit itu. Kemudian propaganda tak berhenti di situ. TVRI, stasiun teve milik pemerintah tak kurang memutar film itu selama 14 tahun berturut-turut, setiap 30 September.

Kini, tak ada lagi kewajiban nonton film ke bioskop buat anak sekolah. Sekarang setiap orang berhak menonton film apa saja yang dimaui. Tanpa paksaan, asal ada uang. Namun, di tengah film nasional yang menjamur, hanya sedikit yang bisa untung menangguk penonton di kisaran 1 juta orang. Terakhir, film Virgin (2004) yang memperoleh angka 1 juta penonton dan dapat Piala Antemas, piala buat film unggulan FFI yang paling banyak ditonton. Di tengah ramainya film nasional produser sulit bisa dapat untung seperti beberapa tahun lalu. “Bisa dapat 300-400 ribu penonton saja sudah bagus,” ujar Erwin Arnada, bos Rexinema yang membuat Jelangkung. Jika demikian adanya akankah ada lagi film yang bisa ditonton lebih dari 3 juta orang? Semoga saja ada. ***
Dimuat dalam rangka ultah ke-15 tablod Bintang Indonesia, tahun 2006

No comments: