Monday, January 19, 2009

Loper Koran Jadi Jutawan

AGUS MISYADI: Loper Koran yang meraih Setengah Miliar dari Who Wants to be Millionaire

Oleh Ade Irwansyah

Pertanyaan: Bagaimana sang loper koran jadi jutawan?

MATAHARI belum lagi terbit. Sekitar jam 3 pagi, kebanyakan orang masih terlelap tidur. Namun, tak demikian buat Agus Misyadi (24), warga Kranggan, Jakarta Timur ini. Pada jam 3 pagi Agus mesti bangun untuk mulai bekerja. Sedini itu ia sudah harus berangkat ke Paceta Agency, agen koran yang dikelola kakaknya, Suratman, di dekat Pasar Cibubur, Jakarta Timur. Di sana kesibukan sudah dimulai. Koran, majalah, dan tabloid sudah berdatangan menunggu diantar. Agus mesti merapikan semuanya sebelum siap diangkut. Butuh waktu sejam buat Agus dan kakaknya merapikan tumpukan koran. Begitu selesai, Agus siap bekerja, mengantarkan koran pada pelanggan.

Jam 7 pagi, saat matahari sudah terbit, Agus baru selesai mengantar koran. Ia kembali ke Paceta Agency. Di sana sudah berserakan koran-koran yang tak laku dijual. Agus membacai koran-koran itu. Ia paling suka membaca berita iptek berikut sejarah penemuan atau nama penemunya. "Saya tertarik dengan berita-berita itu," katanya saat ditemui di rumahnya, Kamis (7/4) siang. Dari banyak membaca koran sisa, Agus jadi tahu banyak hal. Pengetahuan itu jadi modal baginya saat ikut kuis Who Wants to be Millionaire. Agus mendapat setengah miliar dari kuis itu.

Agus tak pernah menyangka bakal dapat rezeki sebesar itu. Tapi usahanya ikut kuis yang dipandu Tantowi Yahya itu terhitung keras. Pada 2000, Agus lulus dari STM Pangudi Luhur, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Tadinya, Agus lolos seleksi untuk langsung bekerja di Cikarang, Bekasi. Namun kesempatan itu tak diambilnya. Agus yang sekolah di STM berkat beasiswa bertanya-tanya apa bakal dapat beasiswa lagi untuk melanjutkan kuliah. Nyatanya, tidak ada beasiswa lagi. Sementara kesempatan untuk bekerja di Cikarang sudah tertutup.

Agus lantas merantau. Nasib membawanya diterima kerja jadi pramuniaga toko Indomaret di Cilegon, Banten. "Saya kerja di sana selama setahun," katanya. Pada 2001, Agus ke Jakarta. Ia kerja jadi pengantar air mineral di daerah Kota Wisata, Cibubur. Agus tinggal di mes karyawan yang disediakan majikan. Di tempat itu Agus tak kerasan. "Kerjanya tak pakai jam. Saya bisa kerja mengantar air dari pagi sampai jam sebelas malam," katanya mengeluh. Agus memutuskan berhenti.

Agus lalu tinggal bersama pamannya, Hariyadi Malik. Rumah pamannya amat sederhana. Pesawat teve pamannya masih hitam-putih. "Makanya, jarang dinyalakan," kata Agus. Dinding rumah itu juga belum dicat. Sehari-hari pamannya bekerja jadi staf administrasi kantor PLN, Kuningan, Jakarta Selatan. Saat pamannya bekerja, Agus menjaga rumah. Agus mulai bekerja pada kakaknya, Suratman yang jadi agen koran, awal 2002. "Salah satu loper koran kakak saya pulang kampung. Saya disuruh menggantikan," bilangnya. Agus bukannya malas mencari kerja. Berkali-kali melamar, panggilan kerja tak kunjung datang. Suatu kali, ia mendatangi biro jasa pengerah tenaga kerja untuk jadi pelayan di kapal pesiar asing. "Namun biayanya mahal. Saya juga disuruh buat paspor dulu," ujar pria kelahiran Wonogiri, 7 Maret 1981 ini.

Dari tabungannya, Agus membeli telepon genggam. Oleh kakaknya, ia digaji 300 ribu rupiah setiap bulan. "Setiap bulan saya sisakan 100 ribu buat beli voucher handphone," bilang Agus. Yang ada di benaknya, untuk dapat uang agar bisa bekerja di kapal pesiar, lewat kuis Who Wants to be Millionaire. Kuis itu menghadiahi uang sampai 1 miliar rupiah bagi yang jadi pemenangnya. Pada pertengahan 2003, Agus mulai rajin menelepon nomor telepon premium call buat yang ingin ikut kuis itu. "Sekali menelepon, bisa habis 25 ribu," ungkapnya.

Agus tentu tak setiap pekan menelepon. Ia tak punya cukup uang untuk itu. Paling hanya sebulan sekali ia menelepon. Tekadnya mengubah nasib dengan jadi pelayan kapal pesiar tetap ada. Makanya, sambil sesekali menelepon, Agus rajin membaca koran-koran sisa hantarannya. Ia yakin suatu kali bisa ikut kuis itu. Kalau menang uangnya akan dipakai membuat paspor dan mendaftar jadi pelayan kapal pesiar.
Butuh waktu panjang hingga Agus dipanggil RCTI. Menurut produser Who Wants to be Millionaire, John Fair Kaune, setiap peserta kuis dipilih secara acak oleh komputer. "Siapa saja yang menelepon ke nomor premium call kami akan dipilih oleh komputer," katanya pada Bintang, Rabu (6/4) lalu. "Seminggu bisa sampai 1000 penelepon," lanjutnya. Dari angka itu, komputer mengacaknya jadi 50 orang. Lalu dikecilkan lagi hingga tinggal 20 saja. Nah, sampai di situ, staf RCTI yang menelepon tiap calon kontestan. "Mereka kami audisi dengan cara menelepon. Mereka kami beri pertanyaan," bilang John. Jika tak bisa menjawab, kontestan dianggap gagal. Calon kontestan baru diambil dari sisa penelepon yang ada.

Nah, komputer yang mengacak setiap orang yang ingin ikut kuis baru berpihak pada Agus sekitar Januari lalu -- atau setelah lebih dari 1,5 tahun terus mencoba. "Waktu orang RCTI menelepon, saya hampir tidak lolos karena menjawab salah. Untung di pertanyaan terakhir saya menjawab dengan benar," kata Agus. Setelah lolos audisi Agus berhak ikut kuis. John ingat betul bagaimana Agus saat menjawab pertanyaan yang diajukan Tantowi. "Dia nggak sekadar pintar. Dia bisa menjawab karena banyak membaca," ujar John.

Memang demikianlah yang dilakukan Agus. Hari-harinya dihabiskan dengan membaca koran. Menjelang ikut kuis, sekitar akhir Januari lalu, Agus makin giat membaca. Tak cuma sisa koran hari itu, tapi juga koran-koran lama yang menggunung di tempat kakaknya. "Malam sebelum ikut kuis, saya buat catatan nama-nama penemu. Kayak anak sekolah belajar mau ulangan saja," cerita Agus.

Cara itu terbukti jitu. "Dia menjawab dengan tenang. Hanya orang yang benar-benar tahu saja yang bisa menjawabnya," tutur John penuh kesan. Sayangnya, ketenangan Agus hilang pada pertanyaan terakhir yang bernilai 1 miliar. "Saya sudah nggak kebayang. Gugup," kata Agus menceritakan perasaannya saat itu. Agus mengaku pertanyaan seputar penelitian yang meraih Nobel Fisika 1928 memang tak dikuasainya. "Saya nggak menghapal siapa saja peraih Nobel," akunya. Akhirnya, Agus mundur.

Selembar cek bernilai setengah miliar rupiah di tangannya. Sejak hari itu Agus jadi jutawan. Kendati sudah jadi jutawan, tak banyak orang tahu. Kakak dan pamannya baru tahu belakangan. Orangtuanya, Umar dan Inah, sampai kemarin belum tahu kalau anak mereka ketiban untung dapat setengah miliar rupiah.

Sebagaimana lazimnya kuis, ada pajak hadiah bagi pemenang. Agus pun tak menerima utuh setengah miliar rupiah. "Saya terima sekitar 350 juta rupiah," ungkapnya. Uang sebanyak itu, kata Agus, takkan dipakainya membuat paspor. Niatnya jadi pelayan kapal pesiar sudah diurungkan. "Sekarang saya ingin kuliah lagi," ucap Agus sambil berujar akan mengambil jurusan desain grafis. Sisa uangnya, katanya, akan dipakai membiayai adik bungsunya, Yuliani, kuliah. Jika masih tersisa juga, Agus belum tahu uangnya akan dipakai untuk apa. Agus masih bingung. Sampai kini, ia masih jadi loper koran membantu kakaknya. "Kalau nanti sudah tahun ajaran baru, saya akan daftar masuk kuliah," katanya. Hingga kini, Agus belum punya pacar. "Kemarin saya masih menganggur. Malu kalau punya pacar," akunya lugu. Kini Agus mulai berniat untuk punya pacar. "Nanti mungkin, kalau sudah kuliah saya akan cari pacar," katanya lagi sambil tersenyum malu. Ada yang mau jadi pacar pria yang baru dapat setengah miliar rupiah? ***


BINTANG INDONESIA, No.729, TH-XV, MINGGU KEDUA APRIL 2005, p.12


No comments: