Oleh Ade Irwansyah
Saya datang ke bioskop dengan pikiran yang sudah teracuni. Sebuah review di multiply teman bilang “ada yang kurang di film ini.” Teman lain bilang filmnya lamban. “Awalnya ketawa-ketiwi, tapi lama-lama lawakannya basi,” begitu kira-kira ucapannya.
Ah, biarlah. Toh, I never take it for granted.
Dan ternyata, di mata saya: Quickie Express tak buruk-buruk amat!
Syahdan, tersebutlah seorang pria bernama Jojo (Tora Sudiro dalam penampilan tak ubahnya di Extravaganza). Ia seorang pecundang sejati. Di usia 27 tahun, Jojo belum punya pekerjaan tetap. Hingga, takdir mempertemukannya dengan Mudakir (Tino Saroenggallo), seorang “pemburu.” “Pemburu”? Ya, Mudakir berprofesi sebagai “pemburu” pria yang akan diajaknya bekerja di restoran pizza Quickie Express. Restoran pizza ini cuma kedok. Aslinya, pria-pria pengantar pizza itu adalah pelacur lelaki alias gigolo.
Kemudian kita diajak berkenalan dengan 2 calon gigolo lain yang seangkatan dengan Jojo, Marley (Amink, N.B: lihat anak kalimat usai nama “Tora Sudiro” di atas) dan Piktor (Lukman Sardi).Sumpah, 2 orang ini tak ada potongan buat jadi gigolo. Ah, ini mungkin bisa-bisanya si pembuat film saja.
Kita lalu diajak melihat Jojo, Marley, dan Piktor menjalani hari-hari sebagai gigolo.
Berbagai jenis “pelanggan” mereka layani. Dari seorang guru (Ria Irawan rocks!) sampai istri pejabat. Tentu, kemudian cerita berkembang pada persoalan pokok dengan Jojo sebagai tokoh utamanya. Kisahnya tergolong klise malah. Jojo akhirnya jatuh cinta pada seirang wanita baik-baik (diperankan pendatang baru Sandra Dewi yang bikin gemas). Di lain pihak, seorang tante girang (Ira Maya Sopha rocks too!) tak bisa lepas dari Jojo. Ia juga cinta mati pada Jojo.
Terus terang, tak perlu penonton pintar untuk menebak apa yang terjadi kemudian: gadis lugu yang dicintai Jojo ternyata anak dari tante girang yang juga mencintainya. Jika Joko Anwar, penulis skenarionya, menuturkan konflik filmnya sampai di sini saja, dengan tegas saya beri nilai buruk buat film ini. Beruntung, Joko penulis jempolan. Sesuatu yang kita kira bakal berakhir klise, ia twist jadi sesuatu yang mengejutkan. Di akhir filmnya, ada kejutan-kejutan yang membuat kita tertawa sekaligus terperangah (maaf, saya tak mau jadi spolier!).
Hal di atas rasanya jadi faktor utama mengapa saya bilang film ini tak buruk-buruk amat. Namun demikian saya juga setuju, awalnya film ini mengajak ketawa dan saya juga ketawa dibuatnya. Tapi, lama-lama saya lelah. Pasalnya, Joko terlalu semangat memberi sentuhan komedi pada film ini. Apa yang disebut bagian ”pendahuluan film” (jika menganut teori skenario 3 babak) dibeberkan terlalu panjang. Hingga, saat film menginjak bagian ”konflik” dan ”solusi konflik” penonton sudah kelelahan.
O ya, banyak juga komentar soal gaya ’80-an yang terlihat menonjol di film ini sementara apa yang kita lihat di era 2000-an juga tetap nongol. Apa Dimas Djayadiningrat, sutradaranya nggak konsisten? Ah, buat saya sih tidak. Film ini tetaplah berseting masa kini. Atribut ’80-an sekadar style (konon Dimas menyebutnya sebagai tribute buat film-film Warkop di tahun '80-an). Pilihan yang cocok mengingat film ini mendefinisikan dirinya bergenre “komedi”—komedi dewasa, tepatnya. Dan rasanya Dimas adalah pilihan cocok buat menyutradarai film yang mengandalkan “style” macam begini. Sayang memang, pada akhirnya yang menonjol dari film ini adalah “style” ketimbang penceritaan. Ya, saya yakin, usai menonton Anda bakal lebih ingat gaya pakaian pria-pria pengantar pizza Quickie Express ketimbang moral ceritanya.***
Quickie Express (2007)
Sutradara: Dimas Djayadiningrat
Skenario: Joko Anwar
Pemain: Tora Sudiro, Amink, Lukman Sardi, Ira Maya Sopha, Sandra Dewi, Rudy Wowor, Tio Pakusadewo
Durasi: 117 menit
Monday, November 26, 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)