Pengaruh Miami Vice pada Budaya Pop
Serial keluaran 1980-an ini meninggalkan jejak panjang pada kita, hingga kini.
Oleh Ade Irwansyah
Kini, sebutannya dikenal luas dengan istilah metroseksual. Itu istilah yang pertama muncul 1994. Istilah itu digunakan untuk menyebut “pria muda metropolitan yang necis dan narsisus.” Secara spesifik pria metroseksual itu pria yang punya banyak uang, gemar ke salon bukan cuma buat potong rambut tapi juga perawatan wajah, rutin mengunjungi pusat kebugaran, dan suka ke butik membeli baju-baju mahal rancangan desainer beken.
Namun demikian, jauh sebelum istilah metroseksual dikenal luas seperti sekarang, dua detektif kota Miami itu sudah mempraktekkannya pada dekade 1980-an lampau. Lihat saja bagaimana keduanya, Sonny Crockett dan Ricardo Tubbs, berpakaian. Sonny, misalnya, suka berpakaian necis rancangan Giorgio Armani atau Gianni Versace. Favoritnya jas dan celana panjang warna putih. Jas dipakainya buat membungkus kaus berwarna pastel. Sonny juga tak pernah kelihatan melihat kaus kaki. Sementara itu, Tubbs yang kerling memakai busana yang kontras dengan warna kulitnya. Alih-alih kelihatan aneh, Tubbs malah terlihat dandy.
Keduanya wara-wiri dengan mobil Ferrari di kota Miami yang dipenuhi bangunan bergaya art deco, pantai dan laut biru yang cerah karena dicurahi matahari tropis, plus wanita seksi berbikini. Sebagai detektif jagoan keduanya bertugas menggulung komplotan pengedar obat bius yang meresahkan Miami.
Serial Miami Vice pertama tayang 1984 di stasiun teve NBC. Serial itu cuma bertahan lima musim dengan rating biasa-biasa saja. Pada 1989, Miami Vice berhenti tayang dengan alasan kru dan pemainnya ingin berkonsentrasi berkarier di layar lebar. Menurut harian Sunday Mail, kala itu NBC lebih sibuk mengurus serial baru, Wise Guy (ingat, dong serial yang dibintangi Ken Wahl ini?). Lagipula, rating Miami Vice sedang turun.
Kendati cuma hadir 5 musim, serial ini punya dampak besar pada dunia teve, film, musik dan terutama fesyen. Bahkan, hingga 17 tahun setelah berhenti tayang, dampaknya masih terasa. Sosok Sonny yang dihidupkan Don Johnson dan Tubbs yang dimainkan Philip Michael Thomas masih hangat dalam ingatan. Penonton sini juga punya kenangan pada serial itu. Sebab, RCTI pernah memutarnya pada awal 1990-an lampau.
Serial Miami Vice yang kini beredar versi layar lebarnya berawal dari ide petinggi NBC, Brandon Tartikoff. Ia punya ide membuat serial teve “polisi bergaya MTV.” Ide itu diwujudkan penulis dan produser serial Hill Street Blues Anthony Yerkovich menjadi sebuah episode pilot tentang petualangan polisi Miami bernama Sonny Crocket dan Ricardo Tubbs. Michael Mann yang jadi eksekutif produser memberi sentuhan khas pada serial itu biar beda dengan drama polisi masa itu. Mann mengadopsi warna-warni kota Miami. Hal itu kelihatan dari warna pastel yang dipakai para aktornya, gedung-gedung, hingga mobil-mobil mewah yang bersliweran.
Merevolusi tren fesyen
Untuk urusan fesyen, Miami Vice merevolusi era itu. Padahal kata Johnson yang dipakainya tak lebih “kaus seharga 3 dollar dan jas Versace.” Kendati sederhana, di masa itu padu padan busana macam itu tak lazim. Kebanyakan pria dewasa masa itu, tulis New York Times, yang berjas tapi tak berdasi dianggap pria serampangan atau pengangguran. Busana warna pastel hanya digunakan para caddie. Sedangkan mobil warna pastel biasanya dipakai mucikari. “Apa yang disajikan Michael Mann pada kostum tak ada hubungannya dengan polisi sungguhan,” komentar Jim Moore, creative director majalah GQ. Ya, polisi mana yang berkendaraan Ferrari dan berbusana rancangan Armani. “Tapi hal itu mempengaruhi segala yang ada di masa itu,” lanjut Moore lagi.
Karenanya, tak salah alamat kalau Sonny dan Tubbs wujud awal pria metroseksual jauh sebelum penggagas budaya populer era sekarang merumuskannya dalam sebuah istilah. Sejak serial itu nongol, pria generasi MTV ingin kelihatan seperti Sonny Crocket: pria dandy, memelihara buaya bernama Elvis, dan punya perahu mewah. Dalam bahasa Johnson, Sonny sosok yang “mampu memberi rasa aman pada wanita sekaligus membuat musuhnya gentar. Sonny selalu menembak dengan tepat dan selalu ngebut kalau naik mobil.”
Miami Vice juga lain sendiri lantaran pakai musik. Film seri ini memanfaatkan musik dari Phil Collins, Glen Frey, Peter Gabriel, hingga U2 tak cuma sebagai tempelan latar belakang adegan, tapi menambah unsur dramatis pada cerita. Lirik dan irama lagu hadir sebagai bagian dari cerita dan dipakai buat menjelaskan emosi sang tokoh. Kini, kolaborasi musik pop dan film seri bukan hal aneh lagi. Dan Miami Vice jadi pionirnya.
Gaya penceritaan berbeda
Di Miami Vice, kota Miami hadir sebagai sebuah karakter. Bukan tempelan, sekadar seting cerita. Setiap minggu, cerita dibuka dengan serangkaian gambar-gambar penanda kota Miami: rumah-rumah pinggir pantai, festival warga Kuba-Amerika, cewek seksi, dan tentu saja, gedung-gedung berwarna pastel bergaya postmodern. Mann berkeras syuting serialnya berlangsung di kota aslinya. Hal itu tentu menelan ongkos produksi lebih mahal ketimbang serial teve lainnya.
Dari segi penceritaan, Miami Vice tak selalu memberi akhir cerita yang ceria alias happy ending. Ini juga bukan hal umum buat ukuran masa itu. Kala itu, serial detektif selalu menyelesaikan masalah di tiap episodenya. Miami Vice lain. Sekali waktu Sonny dan mitranya bisa membuat kesalahan. Mereka juga seringkali menghadapi dilema sebagai penegak hukum. Terkadang, sang detektif begitu emosi ingin menghabisi nyawa sang penjahat demi membalas dendam pribadi. Padahal, sebagai penegak hukum, itu melanggar hukum. Hal ini membuat Miami Vice lebih kelam. Ambiguitas moral yang hadir ini kemudian diadopsi banyak serial drama polisi era berikutnya. Serial teve yang bertema penegak hukum lainnya macam NYPD Blue, Homicide, dan Law & Order—walau punya gaya visual masing-masing—mengadopsi gaya penceritaan ambigu, ending menggantung, hingga dilema moral yang dialami para penegak hukum itu.
Gaya penceritaan dan tampilan visual Miami Vice lantas dikomentari kritikus majalah Film Comment Richard T. Jameson dengan ungkapan, “Saya tak bisa mengelak, setiap 5 menit saat menonton serial ini saya bergumam, ‘Saya tak percaya kalau ini serail teve—bukan film bioskop.’” Kini hadir versi bioskopnya dengan gaya vusual yang berbeda jauh dari serial aslinya. Versi bioskopnya lahir dari tangan Michael Mann, sang eksekutif produser seri tevenya. Mann sengaja membuat versi yng amat berbeda. “Saya tak tertarik pada nostalgia,” katanya. Mann mungkin tidak. Bagi sebagian besar pecinta serial tevenya hal itu mungkin mengecewakan. Sebab, tak terbantahkan lagi, Miami Vicejadi penanda kultural sebuah era yang telah memberi pengaruh pada era berikutnya—bahkan hingga kini.*** Ditulis berdasar dari berbagai sumber.
Dimuat BINTANG INDONESIA edisi 797.
Wednesday, July 18, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment