Sunday, August 26, 2007

Anak Band & Groupies Part II

Tidak Semua Fans Cewek Itu Groupies

Bagaimana band-band tanah air mengatasi sergapan groupies?

Rumah asri di Gang Potlot, Jl. Raya Pasar Minggu, Jakarta boleh jadi rumah yang paling banyak dikunjungi. Setiap hari setidaknya ada sepuluh orang mendatangi rumah itu. Di hari Sabtu dan Minggu jumlah yang datang bisa lebih banyak lagi. Rumah itu markas grup band Slank. Slankers, sebutan bagi penggemar Slank, dari seluruh Indonesia berdatangan ke tempat itu.

Sekitar tahun 1993, markas Slank sudah sering dikunjungi penggemarnya. Tak cuma penggemar pria. Penggemar wanita, belakangan disebut Slankie, yang datang juga tak sedikit. Di antara mereka ada beberapa gadis berumur belasan tahun yang rutin datang ke Gang Potlot. Mereka cantik-cantik. Kulit mereka pun putih-putih. Para anggota Slank yang kala itu masih terdiri dari Bimbim (38), Kaka (30), Pay (35), Bongky (37), dan Indra menyebut gerombolan gadis-gadis itu "Gang Muka Pucat." "Kulitnya putih-putih. Makanya kami namai itu," jelas Bongky yang kini bassis BIP. Gang Muka Pucat tak sekadar berkunjung. Mereka mengajak anggota Slank keluar bareng. Mendiang Imanez yang juga sering nongkrong di Potlot ikut bergabung. Bersama Gang Muka Pucat anggota Slank dan Imanez pesta bareng. "Kami mabuk bersama. Sudah itu ada yang pergi entah ke mana bareng mereka," ungkap Bongky.

Apakah Gang Muka Pucat tergolong groupies? Bisa jadi iya. Gaya hidup Slank di era itu memang tak cuma akrab dengan obat-obatan terlarang. Mereka kerap terlihat jalan bareng penggemar yang dikategorikan groupies. Petualangan Slank dengan groupies juga berlangsung di luar kota kala mereka tur. Setiap kali tur, ada saja groupies yang mendekati personil Slank. Kalau sudah begini, para personil Slank tak kuasa menolak. "Kami punya aturan,boleh main-main asal nggak mengganggu jadwal manggung dan latihan," ujar Bongky. Slank juga paling anti main dengan groupies sebelum manggung. "Bisa apes. Manggung jadi nggak beres. Mendadak sound-nya ngadat atau kami main kurang kompak," kata Pay yang kini pemetik gitar BIP.

Pay bercerita, Slank dulu memeraktekan gaya hidup sex, drugs, and rock & roll. Hal ini juga diakui Bimbim. "Itu bagian dari kehidupan anak band," ucapnya. Manajemen pun membiarkan gaya hidup itu dianut Slank. "Manajer membiarkan saja. Pokoknya, abis manggung terserah lu (mau melakukan apa saja)," ungkap Pay. Ia bercerita antar personil Slank pernah ribut kecil gaya-gaya groupies. "Kami saling cemburu. Rupanya, ada groupie yang kami sama-sama suka," urai Pay yang sering tertawa geli kalau ingat kejadian itu. Bongky bahkan pernah "diculik" sekumpulan groupies. Kisahnya, kala manggung di luar daerah Bongky diajak makan sekumpulan cewek yang dikiranya panitia. "Mereka bilang saya mau diajak makan. Ya sudah, saya ikut saja. Nggak tahunya mereka groupies. Saya diajak ke tempat teman-teman mereka dikenalkan sebagai pacar," cerita Bongky.

Slank punya pengalaman bejibun bareng groupies. Grup band lain juga punya pengalaman berbeda. Element misalnya, pernah didatangi gadis yang minta ditanda-tangani pakaian dalamnya. "Hal itu terjadi di depan saya. Langsung saja saya bentak anak itu," kata manajer Element, Johandi Yahya, "Saya tidak bermaksud melecehkan atau meremehkan keberadaannya sebagai penggemar Element. Tetapi sikap yang ditunjukkan sudah tidak sesuai dengan norma," tambahnya. Buat Didi Riyadi (23), pesinetron yang juga drumer Element, groupies tak perlu ditanggapi. "Saya tidak punya waktu menanggapi mereka. Pekerjaan saya sudah menyita waktu," kata Didi yang berakting di sinetron Kawin Gantung.

Namun, yang bertindak macam gadis tadi pada band lain terhitung sedikit. Kebanyakan fans berat menyatroni hotel tempat idola mereka menginap. Personil Dewa sering dibuat kesal oleh ulah fans dan groupies yang mengganggu kenyamanan mereka di hotel. "Saya merasa terganggu kalau ada fans yang tahu-tahu menelepon kamar kami. Bukannya tak mau menanggapi. Tapi kami capek, butuh istirahat," kata Once, sang vokalis. Fans yang nekad naik ke lantai tempatnya menginap juga tak sedikit. Mereka berusaha menerobos masuk kamar personil Dewa. Jika sudah begitu Once dan personil lain segera minta pindah kamar. "Hal itu terjadi terutama di luar kota," katanya.

Once hingga kini mengaku belum menemukan fans yang tergolong groupies. Di Dewa, sesuai cerita seorang manajernya, Agung Krusso pernah ada yang minta dinikahi Dhani. "Dia datang ke Pondok Indah (markas Dewa-red) bawa fotokopi KTP, akte lahir, Kartu Keluarga, macam orang mau daftar nikah saja," kisah Agung. Yang lain, ada yang mengoleksi sedotan atau botol minuman yang pernah dipakai personil Dewa. Mereka tak masuk ukuran groupies. Mereka fans unik. David Naif, vokalis Naif, menemukan fans cewek yang meniru gaya dandanannya. "Model rambutnya sampai menyamai saya," kata David.

Menurut David, sejatinya, groupies ada di setiap band. "Tinggal pribadi masing-masing saja bagaimana menghadapinya," tukas David. Hal senada diangguki pengamat musik Bens Leo. Ditilik dari sejarahnya, urai Ben, groupies di Indonesia tumbuh sejak tahun 1970-an. "Saat itu saya ingat benar Indonesia mulai kedatangan grup-grup asing antara lain Deep Purple tahun 1975," kenang Bens. Saat Deep Purple manggung, God Bless yang sudah jadi band tenar jadi band pembuka. Penggemar Deep Purple yang juga menggemari God Bless sampai menyerbu Hotel Sahid tempat band pujaan mereka menginap. "Para groupies mencari tahu letak hotel mereka menginap," kata Bens. Ia berujar, groupies awalnya hanya mencintai bandnya saja. "Lama kelamaan mengikuti kemana mereka pergi," ucap Bens. "Hingga akhirnya mau melakukan apa saja untuk anggota bandnya," lanjutnya. Meski hidup di negara yang menganut budaya ketimuran yang kental, tingkah groupies tergolong berani.

Lantas, bagaimana menghadapi kegilaan groupies? Slank yang kini meninggalkan gaya hidup bebas bareng groupies berbagi rahasia. "Istri saya ikut (tur) terus, sih," kata Ridho yang beristrikan Ony Serojawati (27). Hingga sekarang, cerita Bimbim, masih ada groupies yang menggodanya. "Cewek-cewek kayak begitu mending dijadikan teman. Kalau kami turuti main belakang, malah makin jadi. Tapi, kalau kami tarik masuk ke keluarga kami, paling nggak kami punya pahala untuk ngebenerin dia," tutur Bimbim. Ia sendiri memutuskan menikahi penggemarnya, Reny Setiawati pada November 1999. "Saya sangat menghargai penggemar.

Apalagi kalau perempuan. Jangan semena-mena memerlakukan perempuan mentang-mentang superstar," ujar Bimbim lagi. Saking berharganya perempuan buat Slank, hampir semua lagu Slank terinspirasi sosok perempuan.

Sheila on 7 (So7) juga menetapkan aturan main buat personilnya bagaimana menangani fans. "Untuk menangani penggemar kami, seluruh anggota So7 sudah ada perjanjian sejak awal. Kami berusaha mengajak fans berbuat baik. Fans kan pasti akan mendengar apa kata idolanya," terang Eross Candra, gitaris So7. Baginya, fans berkah. "Penggemar itu berkah kalau dia bawa makanan saat kita lagi di studio misalnya, hahaha," kata Eross setengah bercanda. "Pokoknya kami akan terima sebagai berkah, terserah apapun tujuan mereka," lanjutnya. Dwi Nurhayati (17), seorang penggemar Slank yang sering datang ke Potlot usai jam sekolah. "Kalau lagi suntuk, saya pasti ke sini," kata siswa SMK Poernama ini. Dwi yang dipanggil Adhe oleh teman-temannya bukanlah groupies. "Saya senang lagu-lagunya saja, kok. Saya nggak pernah mimpi pengin pacaran sama personil Slank," kata Dwi. Hal sama juga dirasakan Latifah (24) alias Ipay dan Prita (32) yang mengidolakan Dewa. Berkencan dengan Dewa bukanlah impian keduanya. "Saya senang musik Dewa. Bukan personilnya secara pribadi," kata Prita yang berprofesi sebagai pramugari. Ia bercerita, bersikap wajar saja waktu ketemu Dewa di pesawat. "Waktu itu mereka mau ke Australia. Ya, saya melayani mereka layaknya penumpang lain," cetus Prita.

Ipay sebaliknya. Ia sampai rela nonton Dewa manggung ke Surabaya pada 2000 lalu. Ipay mencari tahu tempat Dewa menginap. Begitu tahu, ia tak lantas bertingkah macam groupie. "Saya memang cuma ingin melihat penampilan Dewa saja," akunya. ***

Dimuat BINTANG INDONESIA, No.719, TH-XIV, MINGGU KELIMA JANUARI 2005.

No comments:

Post a Comment