Monday, July 23, 2007

Republik BBM ke Istana BBM dan Republik Mimpi Newsdotcom

Hikayat Republik BBM

Oleh Ade Irwansyah

Menyusuri kisah bagaimana Republik BBM bubar, lalu jadi Istana BBM dan Republik Mimpi.

Seorang pria terduduk menyaksikan layar teve plasma di sebuah ruang sempit tapi tertata mewah. Dua set sofa empuk dijejer rapi. Sebuah set kopi dengan sejumlah gelas, lengkap dengan gula, tertata di meja siap buat diteguk. Dalam ruang itu juga ada toilet. Di salah satu sudut dinding ada lukisan potret Surya Paloh, bos Media Grup, perusahaan induk Metro TV. Seorang pelayan siap datang bila dipanggil. Ruangan itu bukan terletak di dalam hotel, melainkan ruang tunggu VIP di Metro TV. Malam itu, Senin pekan silam, jadi hari penting bagi pria itu. Ia berdandan rapi. Jas hitam, lengkap dengan dasi, sudah ia sandang. Sebuah peci hitam menutupi bagian atas kepalanya. Sementara itu, segaris kumis tipis buatan dari riasan make-up makin mencirikan sosoknya. Anda salah kalau mengira pria itu Jusuf Kalla, wakil presiden kita. Pria itu, Ucup Kelik memang kerap meniru lagak bicara Jusuff Kalla. Yang membedakan, Kelik tak sedang berada di Indosiar, tempatnya dulu mengisi acara Republik BBM (Benar-benar Mabok) dengan menyandang sebutan wapres. Ia justru ada di Metro TV, mengisi acara baru Newsdotcom dengan bendera Republik Mimpi.

Senin malam kemarin kali pertama Newsdotcom mengudara. Rasanya, hari itu juga ditasbihkan jadi hari lahir Republik Mimpi. Ibarat negeri ini yang merayakan hari lahir saban 17 Agustus, Republik Mimpi bakal merayakannya setiap 14 Agustus. Kelahiran Republik Mimpi juga mengakhiri spekulasi beberapa pekan tentang bagaimana nasib Republik BBM selepas absen saat Piala Dunia kemarin. Sementara itu, di Indosiar sendiri, Republik BBM telah berganti format. Jam tayang yang biasa diisi Republik BBM, setiap Senin malam, diisi Istana BBM.

Republik BBM aslinya berformat talk show komedi. Isinya seputar isu sosial-politik yang tengah jadi pembicaraan. Dalam balutan dagelan Republik BBM diandaikan sebuah negera tetangga Indonesia. Taufik Savalas yang bergaya mirip Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didapuk jadi presiden, sedang Kelik yang mirip Wapres Jusuf Kalla jadi wapres. Sejak tayang akhir Desember kemarin, Republik BBM menyita perhatian. Banyak yang senang dengan dagelan a la republik antah-berantah ini. Berkat kepopuleran acara ini, Taufik dan Kelik dipanggil presiden dan wapres.

Syahdan, kepopuleran Republik BBM tak selamanya berbuntut manis. Sekitar April 2006 muncul isu kalau Republik BBM terancam “dikudeta” alias berhenti tayang. Alasannya, berembus kabar Wapres Jusuf Kalla tak berkenan dengan acara itu. Hal itu bermula dari pertemuan para pemilik stasiun teve di kediaman Wapres Kalla pada 7 April silam. Dalam pertemuan itu ada dua pemilik stasiun teve yang mengatakan, Republik BBM “mengerikan dan tak sesuai dengan budaya Indonesia.” Namun, kabar itu dibantah Wapres Kalla sendiri. Pada sebuah kesempatan ia membenarkan ada pertemuan dengan para pemilik stasiun teve. Hanya saja, ia menyebutkan “Republik BBM tak pernah disinggung secara spesifik.”

Akhirnya, Republik BBM tak jadi berhenti tayang. Pada awal Mei, pengisi acara dan kru Republik BBM malah berkesempatan bertatap muka dengan Wapres Kalla. Kendati begitu bukan berarti masalah yang menderanya usai. Sejak terancam “dikudeta” tempo hari muncul kegelisahan dari pengelola Indosiar. “Mereka mempersoalkan isi materinya,” bilang Bintang Aryadi, koordinator kru kreatif Republik BBM. “Supaya lebih menghibur lagi, maka mereka minta guyonannya diperbanyak.” Materi politik diminta dikurangi lantaran ada pihak tertentu yang merasa tersentuh. “Awalnya masih oke-oke saja,” kata Bintang. Namun, lama-lama Effendi Ghazali, penggagas acara ini yang juga Ketua Asosiasi Pascasarjana Komunikasi Univesitas Indonesia, merasa dibatasi dalam berkreasi. Kala itu Effendi dan timnya merasa Republik BBM lebih banyak guyonnya ketimbang pendidikan politik. “Bahkan mengarah pada komedi slapstick. Kami tak mau itu. Kami ingin membuat (Republik BBM) parodi politik,” jelas Bintang.

Awal perpecahan Republik BBM
Tidak jelas apa alasan Indosiar membatasi tayangan Republik BBM. “Mengapa acara yang bagus, dengan rating tinggi, iklan yang banyak, diubah jadi Istana BBM?” ujar Effendi penuh tanya. Kuat dugaan dagelan politik di acara itu dianggap “membahayakan Indosiar dan pribadi dari direkturnya,” kata sebuah sumber. “Maka, mereka minta (komedi) yang ringan saja. Jangan menyentuh sana, menyentuh sini. Padahal itu jadi tidak sesuai dengan jargon acaranya, 'sentil sana, sentil sini.'” Sekadar informasi, Indosiar lahir dari gurita bisnis Sudono Salim, taipan terbesar di zaman Soeharto yang juga dikenal sebagai kroni pemimpin Orde Baru itu. Dalam situs blog wartawan Andreas Harsono, generasi kedua keluarga Salim, Andree Salim dan Anthony Salim, pada 1999 menjadi pemilik Indosiar. Walau sempat dimiliki oleh berbagai nama perusahaan, keluarga Salim tak pernah melepaskan Indosiar. Hingga, menurut Widiyanto dari sindikasi Pantau, penulis di blog itu, “episode kepemilikan Indosiar adalah episode bisnis Salim.”

Merasa dibatasi Indosiar, pengisi Republik BBM yang tak setuju mulai mangkir. Sekali waktu Kelik tak muncul. Kali lain Effendi yang absen. Pada satu kesempatan dua-duanya tak muncul. Belakangan, Kelik dan Effendi ditanya. Keduanya memberi jawaban telah merasa dibatasi. Effendi bicara langsung dengan direksi Indosiar. Keduanya sepakat. Effendi bersedia mengurangi sedikit daya kritisnya. Namun demikian, yang kemudian terjadi, tak ada pembagian urusan kreatif dalam acara itu. Pihak Effendi yang mewakili Asosiasi Pascasarjana Komunikasi UI—lembaga yang bekerjasama dengan Indosiar membuat Republik BBM—tak dilibatkan memilih topik talk show. “Tahu-tahu sudah ada promo kalau Senin nanti judulnya A atau B,” bilang Bintang. Pihaknya tak merasa dilibatkan dalam menentukan tema acara.

Bagi Anda yang ingat satu episode Republik BBM saat presidennya (Taufik Savalas) melakukan inspeksi mendadak ke stasiun Kereta Rel Listrik, episode itu lahir tanpa diskusi dulu dengan Effendi dan timnya. Episode Republik BBM malam itu mengangkat tema perkeretaapian. Padahal, bagi Effendi dan timnya, bukan saat yang tepat membicarakan masalah kereta api malam itu. Yang jadi isu hangat justru sewindu reformasi 1998. “Harusnya kami bicara itu” kata Bintang. Effendi juga tak berkenan. “Dia bilang, 'Gila, ya. Semua orang lagi bicara sewindu reformasi bagaimana melanjutkan cita-cita reformasi, meneruskan perjuangannya, kok malah bicara kereta api yang tak sesuai konteks sama sekali,'” cerita Bintang menirukan ucapan Effendi.

Kala itu kesabaran Effendi, Kelik, dan timnya sudah habis. Jajaran produser dan pemain bicara. “Awalnya tak secara resmi kami mengundurkan diri,” bilang Bintang. Katanya, saat itu, Kelik berujar, “Saya buat sementara istirahat dulu sampai waktu yang tak ditentukan.” Syahdan, akhir Mei silam gempa melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kelik yang berdomisili di Yogyakarta pulang mencari kabar keluarganya. Pada saat itu, ia sebenarnya sudah malas buat mengisi Republik BBM. “Dia ingin konsentrasi mengurus dan menyantuni korban gempa,” ujar Bintang. Namun, Kelik bersedia sekali tampil (meski dari Yogyakarta) untuk menggalang dana buat korban gempa.

Pekan berikutnya Kelik tak muncul. Sementara itu, Republik BBM sendiri menyatakan vakum pada awal Juni. Yang jadi alasan, Juni itu bertepatan dengan Piala Dunia 2006 di Jerman. “Presiden dan wapres Republik BBM ingin menonton bola dulu,” demikian alasan yang diutarakan saat terakhir tayang.

Mencari alternatif ke teve lain
Buat sementara Kelik mengisi kesibukan di sekitaran Jawa Tengah. Ia mengisi road show off-air Republik BBM di 6 kota. Sementara itu, Effendi beberapa kali muncul jadi komentator bola di SCTV—stasiun teve pemilik hak siar Piala Dunia 2006. “Waktu itu ada bisik-bisik, jangan-jangan Republik BBM bakal pindah ke SCTV,” kata Bintang.

Sebenarnya, kalangan teve lain sudah melihat gelagat tak beres di balik vakumnya Republik BBM. “Mereka pasti tahulah,” kata Bintang. Maka, pendekatan personal pun dilakukan. Bagi stasiun teve lain format acara jenis ini bakal disuka banyak penonton. Secara personal, Effendi dan timnya bicara dengan SCTV, menjajaki kemungkinan Republik BBM pindah rumah. Pembicaraan personal itu berlangsung hingga ke level pempimpin redaksi SCTV, Rosiana Silalahi. Sambil berkelakar, Effendi dan timnya, berujar, “Apa bisa SCTV lebih (bebas) dari Indosiar?”

Meski disampaikan sambil berkelakar, hal ini poin penting. Artinya, apa SCTV tak membatasi isi materi yang akan disajikan. Di era Orde Baru dahulu, pengalaman membuktikan, SCTV pernah membredel talk show Perspektif yang dipandu Wimar Witoelar karena dinilai terlalu kritis. Maka, sebelum bicara lebih jauh, Effendi dan timnya meminta SCTV memberi batasan “pagar” tempat bermain bila kelak acaranya jadi dibuat. “Beritahu dulu pagarnya, dari situ kami bisa tahu sejauh mana sebuah materi bisa dibicarakan,” jelas Bintang mengemukakan pendapatnya pada SCTV. Baginya ini hikmah dari pegalaman bekerjasama denga Indosiar tempo hari. Stasiun teve itu tak memberi batasan pagar yang jelas. “Mereka pasang pagar X-ray. Kami tak tahu begitu melangkah, nggak tahunya sudah menyentuh pagar,” jelasnya lagi.

Tak tahunya bukan SCTV saja yang berminat. RCTI dan antv juga melakukan pembicaraan personal dengan Effendi dan timnya. Pada kesemuanya, Effendi meminta mereka menjelaskan seluas apa pagar yang diberikan. “Pada umumnya, pagar itu berarti (acara ini) tak menyinggung pribadi direktur teve, komisarisnya, dan bisnis di luar stasiun teve yang terkait dalam satu grup,” jelas Bintang. Di SCTV muncul masalah perihal pagar itu. Siti Hediyati Hariyadi, biasa disapa Titiek, salah seorang putri Soeharto, menjabat sebagai komisaris di SCTV. Muncul kekhawatiran, acaranya kelak takkan diberi kebebasan saat membahas mantan presiden itu. Niatan pindah rumah ke SCTV diurungkan.

RCTI pun demikian. Sebab, bos RCTI Harry Tanoesoedibyo terkait masalah surat berharga negotiable certificate deposit (NCD) fiktif yang merugikan negara sekitar 155 miliar rupiah. Saat mengkritisi itu di acara talk show kemungkinan bakal dibatasi. Sementara itu di antv, Effendi dan timnya dibukakan pintu lebar-lebar. “Mereka sampai bilang, 'Ok, sekarang antv harus bagaimana?'” buka Bintang. Tawaran menarik sebenarnya, tapi Effendi dan timnya kembali ke soal pagar tadi. Siapa pun tahu, antv milik Keluarga Bakrie. Pimpinan kelompok usaha ini, Aburizal Bakrie diangkat jadi Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat. Putra tertua Ical, sapaan Aburizal, Anindya Novyan Bakrie mengisi posisi direktur utama antv. “Kami cukup tanya satu hal, 'Bang Ical bagaimana nanti kalau kami sebut-sebut soal Lapindo Brantas?'” tutur Bintang. Lapindo Brantas, perusahaan pengeboran sumur gas yang dituding jadi penyebab semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, juga bagian dari kelompok Bakrie. “Mereka bilang, 'Wah, kalau itu mesti dibicarakan dengan BOD (board of director—dewan direksi) dulu.'” Hasilnya, antv menilai hal itu sebaiknya tak dibahas di acara yang baru digagas itu. Niatan pindah ke antv juga urung.

Metro TV jadi pilihan
Stasiun teve lain, Metro TV milik Surya Paloh, seorang petinggi Golkar, juga tertarik meminang eks Republik BBM. Apalagi, Metro TV sendiri pernah mengundang pengisi Republik BBM (Taufik, Kelik, dan Effendi) ke acara Kick Andy, talk show yang dipandu Andy F. Noya, pemimpin redaksi Metro TV. Pada Effendi dan timnya, Metro TV juga memberi pagar-pagar pembatas. “Mereka membolehkan kami bebas bicara politik. Tapi, jangan kalau sehabis Surya Paloh pulang dari raker Golkar, kami bicarakan raker yang urusan internal partai. Kami cukup bicarakan yang menyangkup hajat hidup orang banyak saja,” jelas Bintang.

Effendi dan timnya rupanya paling sesuai dengan pagar yang disediakan Metro TV. Maka, pebicaraan pun berlanjut, hingga kemudian disepaskati: jadi pindah rumah ke Metro TV. Sebelum disepakati pindah, saat tahap pembicaraan, Effendi dan kawan-kawan melakukan “siaran uji coba” lewat Republik BBM, bukan padanan benar-benar mabok tapi bola-bola mania. Acara yang menampilkan Kelik, Effendi, Abdel, dan Cak Lontong itu memang tak membicarakan politik, tapi khusus membicarakan bola dan Piala Dunia 2006. “Waktu itu muncul ide, bagaimana kami menjelaskan konsep Republik BBM yang baru tanpa harus bicara pajang lebar. Maka, dirancang Bola-bola Mania. Kebetulan Metro TV punya slot, dan tanggalnya tepat, 9 Juli, jamnya menjelang final Piala Dunia,” cerita Bintang.

Sambutan petinggi Metro TV atas Bola-bola Mania sangat positif, kata Bintang. “Mereka sangat suka. Dan tak terpikir, 'Kok bisa saya buat parodi politik bertema bola?' Di situ ada kritik sosial dan nilai edukasinya juga sambil mengomentari Piala Dunia,” ujarnya. Metro TV makin bernafsu ingin menayangkan Republik BBM versi baru.

Kendati sudah sepaham, mewujudkan sebuah acara tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tim neo Republik BBM ingin tayangannya diputar tak terlalu malam, di bawah jam 10 malam. “Pengalaman kami di Indosiar, jam 10 itu terlalu malam. Kasihan saudara kita di Indonesia timur, menontonnya terlalu malam,” tutur Bintang. Tak mudah mencari slot waktu itu. Ada slot cocok, harinya tak cocok. Kalaupun ada, dinilai terlalu sore. Hingga ketemu hari Senin malam. Tapi, jamnya cuma setengah jam dari pukul 8-8.30 malam. “Kalau cuma setengah jam mending bikin kuis SMS saja,” celoteh Bintang. Effendi dan timnya meminta acaranya minimal tayang 1 jam penuh. Jika dikabulkan itu berarti menabrak jam tayang Indonesia Solutions. Masalahnya, acara itu blocking time dari BNI selaku sponsor tunggal. Maka, pihak BNI dirayu buat menggeser acaranya jadi jam 8 malam. Acara yang digagas Effendi dan kawan-kawan jadi mulai pukul 8.30 malam. Sementara itu, setengah jam berikutnya dimulai selepas Top 9 News. Isinya, mengomentari isi-isi berita Top 9 News. Maka, Republik BBM versi baru hadier lain dari Republik BBM saat masih di Indosiar dulu. “Metro TV tak mau dituding membajak Republik BBM. Mereka ingin kami buat versi baru,” tegas Bintang. Maka, Republik BBM diganti Republik Mimpi. Sementara itu, Newsdotcom, kantor berita wapres Republik Mimpi, diambil sebagai nama mata acara. Kelik tetap jadi wapres. Effendi jadi penasehat wapres. Presidennya Butet Kertarajasa. Selain itu ada pula Suko Widodo, penasihat spiritual wapres.

Tak semua alumni Republik BBM pindah
Lantas, bagaimana dengan nasib Republik BBM di Indosiar? Rupanya, di sana Republik BBM berubah jadi Istana BBM. “Kami ganti format saja,” kata Dody Jufrianto, eksekutif produser Istana BBM yang sebelumnya menangani Republik BBM. “Republik BBM itu talk show, kalau Istana BBM bentuknya komedi situasi.” Dasar pemikirannya, kata Dody, kehidupan di istana presiden itu menarik. “Di luar negeri juga ada West Wing,” jelas Dody. Pola produksi drama dilakukan pada Istana BBM. Seorang penulis, Tatwa Pengabdian, penulis komedi situasi Tante Tuti, direkrut buat menulis naskah skenarionya. Bagi Tatwa, menulis keseharian di istana presiden sebuah tantangan baru. “Komedi jenis ini belum pernah ada. Dan kita cuma tahu sekilas dari teve,” katanya. Yang ia ingin sampaikan, seorang presiden juga manusia. Presiden juga mengalami hal remeh-temeh yang dialami orang kebanyakan. Nah , hal remeh temeh itu muncul dalam nuansa komedi. Dalam tayangan perdana, pada 31 Juli, misalnya, istana diributkan hilangnya bendera pusaka.

Format talk show diubah jadi komedi sutuasi ini yang jadi pangkal masalah hingga Republik BBM mesti pecah. Kubu Effendi menolak tampil dalam tayangan komedi situasi. Kelik juga begitu . “Karena sudah beda visi, berarti beda televisi,” kata Kelik. “Dengan konsep (komedi situasi) seperti itu aspirasi kami jadi terbelenggu.” Padahal, bagi Kelik dari dulu ia ingin memberi pencerahan pada audiens lewat lawakannya. Sementara itu, bat Effendi, tak masalah pindah teve. “Saya sudah sering ke sini (Metro TV), diwawancarai di sini,” katanya. “Nggak ada beban. Sesekali kami juga bisa ke Indosiar lagi kalasu ada acara lain.” Baginya, kepindahannya sederhana saja. “Indosiar tidak membuat politycal parody. Jadi kami pindah saja ke tempat yang mau buat politycal parody.”

Namun demikian, tak semua pengisi Republik BBM ikut pindah ke Metro TV. Taufik, Denny Chandra, Abdel, dan Cak Lonthong memilih di Indosiar. “Itu pilihan. Kami bebas saja,” kata Effendi. Taufik dan yang lain sempat diajak ikut pindah ke Metro TV. “Tapi Taufik maju-mundur. Denny juga begitu. Kelihatannya Indosiar ingin mempertahankan mereka,” kata Bintang. Ada dugaan, Indosiar, kata sebuah sunber, berani membayar lebih tinggi. “Mereka juga dijanjikan akan disiapkan film layar lebar,” kata sumber itu. Tak jelas, sejauh mana persiapan film layar lebar Istana BBM, yang jelas, bulan Ramadhan nanti, Istana BBM bakal jadi acara unggulan menemani santap sahur di Indosiar. “Saya sedang siapkan naskahnya,” buka Tatwa Pengabdian, penulis skenarionya. Wah, kira-kira siapa nabti yang lebih populer, Istana BBM atau Republik Mimpi? Kita lihat saja. ***
Dimuat BINTANG INDONESIA edisi 800

3 comments:

  1. Halo. Bisa saya mengontak Anda terkait artikel ini? Terimakasih.

    ReplyDelete
  2. Bisa saya mengontak Anda terkait dengan artikel tentang republik mimpi ini? Terimakasih

    ReplyDelete
  3. Halo. Bisa saya mengontak Anda terkait artikel ini? Terimakasih.

    ReplyDelete