Koper
Kalau Novelis Membuat Film
Oleh Ade Irwansyah
Apa hal yang mungkin dilakukan sebuah koper? Dipakai membunuh orang? Bisa saja, tapi bukan itu jawaban yang tepat. Di tangan Richard Oh, penulis yang juga pemilik toko buku QB, koper bisa jadi tema sebuah film. Benda itu juga jadi judul film. Maka, jadilah Koper, film pertama besutan Richard. Namun demikian, Richard tak merasa cukup hanya menyutradarai film pertamanya, ia juga menulis skenario. Tapi, jadi sutradara sekaligus penulis skenario saja belumlah cukup buat dibilang sukses. Yang terpenting, hasil akhir filmnya: bagus atau jelek. Namun, tak adil langsung bilang film ini “bagus” atau “jelek”. Setiap film punya keunggulan maupun sisi buruk masing-masing. Tak terkecuali, Koper.
Dan Koper boleh dibilang berhasil dalam satu hal: membuat kantuk.
Namun, sebelum bicarakan aspek yang membuat film ini bagus sebagai pengantar tidur, mari simak kisahnya. Rilis yang dibagi ke wartawan menyebutkan, pada suatu siang, segerombolan perampok melarikan sebuah koper penuh uang dari sebuah bank. Maaf saja, di filmnya sendiri, adegan itu tak ada. Apa Richard memotongnya? Entah. Peristiwa itu cuma diberi tahu sekilas lewat ucapan seorang perempuan bernama Mbak Sri (Virnie Ismail). Dandanannya heboh, khas tetangga yang usil dan sukanya pamer kekayaan. Sri biasa bertandang ke rumah pasangan Yahya (Anjasmara) dan Yasmin (Maya Hasan).
Yahya dan Yasmin bukanlah pasangan bersahaja. Yasmin selalu mengeluh tentang kesulitan hidup, tentang harga-harga barang yang selalu naik, dan gaji suaminya yang kecil. Sementara itu, Yahya seolah hidup dalam dunianya sendiri. Ia cuma diam mendengar istrinya mengeluh. Kala Sri datang memamerkan kekayaan, Yahya juga cuma membisu. Ia seolah tak punya gairah hidup. Rutinitas kantor ia jalani bak sebuah mesin yang bergerak: mekanis, tak ada gairah. Pagi berangkat, malam hari pulang. Hiburannya, minum bir sendirian di sebuah kafe dan mendengar musik P Ramlee, penyanyi legendaris Malaysia.
Hingga suatu malam, sepulang minum-minum, Yahya menemukan sebuah koper. Dari situ seketika hidupnya berubah 180 derajat. Nah, dari sini juga, film ini mulai menunjukkan kelemahannya. Seperti banyak film nasional lainnya, Koper tak dibangun di atas fondasi yang logis. Mendadak, penuh kesan, kalau koper yang ditemukan Yahya adalah koper berisi uang 1 milyar rupiah hasil perampokan bank. Padahal, bisa saja, itu cuma koper biasa. Belakangan, penonton diajak percaya betul: koper itu berisi uang!
Hal itu mungkin diperlukan buat menegaskan karakter Yahya yang bersih, tak mau disuap, anti korupsi, atau mengambil barang yang bukan miliknya. Tapi, kesannya dipaksakan. Yahya dikisahkan jadi sosok penting. Seluruh dunia mendadak jadi peduli padanya. Bosnya memperhatikannya. Beberapa bodyguard setia menjaganya. Setiap orang juga ingin tahu apa isi koper yang selalu ia jaga melebihi istrinya. Buat menghindari kegilaan dunia, Yahya minum bir di kafe favoritnya, ditemani Noni (Djenar Maesa Ayu) sang pramusaji.
Suatu ketika, Yasmin sakit keras. Ia mesti dioperasi. Biayanya sekitar 20 juta rupiah. Yahya tak punya uang sebanyak itu. Namun, niatan korupsi tak ada di benaknya. Ia ogah memakai uang haram, meski buat mengobati istrinya. Sementara itu, kopernya sendiri tak sengaja terbuka. Anda ingin tahu isinya? Jangan terlalu berharap. Hingga film berakhir, kita tak pernah diberi tahu apa persisnya isi koper itu. Yahya cuma ketawa-ketiwi melihat isinya.
Balik ke urusan awal, film ini membuat kantuk. Pangkal soalnya, dari skenario yang disusun Richard. Hingga, hasil akhir filmnya berjalan amat lambat. Richard menyamakan menulis skenario seolah menulis novel-novelnya. Jangan bayangkan teori skenario 3 babak yang berujung pada klimaks di bagian akhir, alur film ini berjalan ibarat sebuah mobil di jalanan bebas hambatan yang lurus, tanpa belokan menukik buat bumbu cerita biar lebih seru, maupun sekadar undakan. Semuanya serba sepi. Rasanya, alih-alih membaca buku “Bagaimana Membuat Skenario Film yang Baik dan Benar”, Richard malah mendalami buku “Bagaimana Membuat Penonton Tertidur Saat Menonton Film.” Belum lagi soal dialog-dialog sok filsafati yang berpanjang-panjang. Ini membuktikan kalau Richard belum fasih bicara dalam bahasa gambar. Para aktornya cuma ia suruh mengisi dialog-dialog yang bagusnya jadi bahasa tulisan, bukan bahasa gambar. Mungkin, saat menulisnya, Richard tak mengandaikannya jadi skenario film, melainkan sebuah novel. ***
No comments:
Post a Comment