D’Girlz Begins
Debut Penyutradaraan Tengku Firmansyah
Oleh Ade Irwansyah
Andai Anda merasa sudah kelebihan uang, dan punya idealisme ikut membangkitkan perfilman Tanah Air, Anda pasti ingin ambil bagian di dalamnya. Bentuknya, ya memproduksi sebuah film. Namun, pesan kami, jangan sekali-kali memberi segepok uang pada sutradara baru buat bikin film. Kalau tak mau hasilnya seperti film ini, D’Girlz Begins. Hancur. Rusak. Buang-buang uang percuma.
Maaf kalau terlalu kasar. Namun, demikianlah adanya. Film ini dibuat sebagai hadiah dari PT Softex Indonesia, produsen pembalut wanita, bagi pemenang kontes Super Deluxe Girls 2005. Itu kontes macam pemilihan bintang-bintang Softex yang dijaring dari orang awam, bukan artis. Dari ribuan yang mendaftar, terpilihlah 3 kontestan juara sesuai dengan imej cewek yang diinginkan Softex: Sabrina, Disa, dan Dheana. Mereka cocok jadi cewek bertipe sporty, super smart DJ (disc jockey), dan the super stylish.
Pihak Softex meneruskan niat buat memfilmkan kisah seputar 3 karakter cewek di atas. Bintang-bintang baru yang masih bau kencur dan belum pernah menginjak dunia hiburan (termasuk main sinetron sebagai ajang latihan akting) didapuk buat jadi pemeran utama. Cerita pun disusun. Setelah jadi, tinggal memilih siapa yang bakal menyutradarai film ini. Dari nama-nama sutradara besar negeri ini semisal Garin Nugroho, Riri Riza, Rudi Soedjarwo, atau Nia Dinata, pilihan Softex jatuh pada Tengku Firmansyah.
Mengapa Tengku? Alasannya sederhana saja. Seperti dimuat situs resmi film ini (dan diulang lagi oleh Tengku saat wawancara), pihak Softex terkesan melihat Tengku membuat game akting saat memandu acara yang dibuat Softex. Dalam benak pihak Softex mungkin berpikir begini, “Hm, kalau dia bisa bikin lomba akting, pasti dia juga bisa mengarahkan orang main film. Pria gondrong ini pasti cocok buat jadi sutradara.” Aduh, naif sekali. Tengku belum punya track record sebagai sutradara film panjang. Selama ini ia dikenal sebagai bintang sinetron (antara lain Cerita Cinta). Ia baru sekali dua menyutradarai video klip.
Tengku rupanya tipe pria yang suka tantangan. Ia menerima tawaran itu. Beban seberat jadi sutradara film layar lebar ia pikul. Sementara itu, pihak Softex sungguh serius membuat film. Buat sutradara debutan, dan bintang utama yang semuanya baru pertama kali main film, mereka menyediakan rol film 35 mm. Ya Tuhan, untuk membuat film dengan rol seluloid ukuran itu paling nggak butuh uang di atas 3 miliar rupiah.
Masa bodoh, begitu mungkin pikir mereka. Yang penting perfilman Indonesia tetap jaya selalu. “Hidup perfilman Indonesia!!” pekik mereka lantang.
Syahdan, Tengku membuat film. Ia membuka filmnya dengan adegan yang maunya mengundang tawa, tapi malah bikin jijik dan membuat hampir muntah (maaf, terlalu menjijikkan buat diungkapkan). Lalu pindah pada persoalan besar: memburu seorang gembong narkoba nomor wahid di Asia, Ricardo Monte Carlo (Rudy Wowor, anyway gembong narkoba Asia kok, namanya bergaya latin, ya?).
Ricardo begitu sulit ditangkap. Entah atas alasan logis apa, polisi berpikiran kalau untuk menangkap Ricardo bisa lewat peracik narkoba bawahannya, Ari Ristanto (Nizar Zulmi dalam dandanan mirip Mario Bros). Rupanya, cuma dia seorang yang tahu persembunyian Ricardo. Namun, Ari dikabarkan menghilang. Jejaknya cuma bisa diendus lewat anak semata wayangnya, Cassandra (Kirana) yang kuliah di Institut Kesenian Indonesia.
Polisi lantas mengirim polwan bernama Alexa (Sabrina) menyamar jadi mahasiswa buat mendekati Cassandra. Alexa ini tipe cewek sporty seperti yang digambarkan salah satu tipe cewek Softex. Dalam beberapa hari kuliah di kampus, Alexa sudah punya dua sahabat, Nicky (Disa) si cewek bertipe the super stylish—paling gaya dan Amanda (Dhena), si super smart DJ. Ini dua tipe cewek Softex lainnya. Alexa juga sempat naksir Randy (Andhika, Nicholas Saputra wannabe dengan hasil jayus), cowok paling ganteng sekampus. Alexa lantas makin asyik dengan hiruk pikuk dunia kampus, termasuk konfliknya dengan Melly (Rachel Maryam) dan sang dekan (Didi Petet). Hanya sesekali ia berusaha mendekati Cassandra.
Terakhir, Cassandra berhasil diajak dugem. Namun, hasilnya Cassandra malah nyaris diculik suruhan Monte Carlo yang juga mengincar ayahnya. Belakangan, Cassandra benar-benar diculik. Ari keluar dari persembunyian buat menyusyul anaknya. Ari diajak lagi bergabung oleh Monte Carlo. Ajakan itu ditolak. Ari ditembak bawahan kepercayaan Monte Carlo, Sam Sunyi (Tengku yang tetap ingin main di filmnya sendiri). Ajaibnya, tanpa bersusah payah (menyamar jadi mahasiswa segala) polisi lain berhasil menemukan markas Monte Carlo. Polisi itu melapor pada atasannya, Dicky, rekan Alexa. “Komandan, persembunyiannya di Tangerang,” lapornya. Mendadak, pistol menyalak. Ia ditembak Sam Sunyi. Tanpa sempat berkata lagi, polisi itu mati tersungkur.
Ajaibnya lagi, cuma dengan petunjuk “persembunyiannya di Tangerang” Dicky, Alexa, beserta Amanda dan Nicky menyatroni markas Monte Carlo. Ya Tuhan, Tangerang itu luas. Jika semua polisi kita sehebat itu, gembong teroris Dr. Azhari dan Nurdin M. Top pasti sudah tertangkap dari dulu. Hebatnya lagi, para jagoan kita menyerbu sarang gembong narkoba Asia itu cuma 4 orang! Tak ada polisi lain yang diajak ikut membantu. Bila menilik kisahnya, ketaklogisan ada di mana-mana. Hal ini justru mengundang tawa. Ini mungkin justru kelebihan film ini—kalau kelebihannya mau dicari. Genre aksi-komedi yang didengungkan film ini justru terasa saat melihat kebodohan demi kebodohan yang tersaji di layar. Siapa yang mesti disalahkan atas itu semua? Jangan salahkan Tengku. Sutradara debutan ini cuma diberi waktu persiapan sejak Januari lalu. Filmnya sudah punya jadwal edar akhir April. Tengku patuh pada tenggat. Ia syuting cuma 15 hari. Ini sebuah prestasi yang patut diapresiasi Museum Rekor Indonesia alias MURI: Sutradara yang film pertamanya dibuat cuma 15 hari! Hasilnya, soal lain. ***
Versi halus resensi ini dimuat di Bintang edisi 784 /Tahun XVI/minggu pertama Mei 2006
Wednesday, May 03, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment