Wednesday, October 24, 2007

Resensi Get Married

Sebuah Karikatur Memikat Bernama Get Married

Sebuah karya dari penulis skenario terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini.

Oleh Ade Irwansyah


Di awal kebangkitannya, film Indonesia era sekarang selalu dikritik piawai dari segi teknik pembuatan, namun lemah dari segi penceritaan atau bertutur. Sineas Indonesia era 2000-an dibilang lebih fokus mengurus angle kamera ketimbang menyusun cerita yang enak diikuti. Pangkal soalnya, bisa jadi lantaran cuma sedikit film Indonesia yang punya cerita bergigi. Hanya sedikit film Indonesia yang punya skenario jempolan.

Boleh dibilang, jarang sekali ada film-film Indonesia yang mengandalkan cerita. Yang banyak malah film yang kaya visual tapi miskin dalam logika bertutur. Film-film yang menertawakan kecerdasan otak manusia. Dikiranya semua penonton Indonesia nggak suka berpikir dan pergi ke bioskop hanya untuk melihat gambar-gambar indah, ditakut-takuti atau diperas air matanya sampai kering dengan cerita sepele serba klise.

Ah, untungnya tak semua film Indonesia era sekarang seperti itu. Ada lho, beberapa film nasional yang mengandalkan cerita berbobot. Arisan!, Janji Joni, Berbagi Suami, Maskot atau Naga Bonar Jadi 2 adalah contoh film-film jenis itu.

Dan sekarang jumlahnya bertambah satu: Get Married.

Inilah film yang punya skenario perkasa (bukan lagi jempolan atau ciamik). Film ini melanjutkan tradisi film yang punya skenario berkelas semisal Kejarlah Daku, Kau Kutangkap (1985) atau Taksi (1990).

Kisahnya sederhana. Di sebuah kampung di tengah belantara metropolitan Jakarta hiduplah 4 sahabat (3 lelaki dan 1 wanita) yang tumbuh sejak kecil sampai usia mereka 20-an tahun. Yang wanita, Mae (Nirina) hendak dicarikan jodoh oleh orangtuanya (Merriam Bellina dan Djadja Mihardja). Ortunya ingin Mae melakukan “kewajiban sejarah” berkembang biak meneruskan silsilah keluarga. Namun, mencari jodoh tak semudah memilih baju Lebaran. Beberapa pria yang disodorkan ortunya ditolak Mae. Dan penolakan Mae berarti pula tindakan dari 3 sahabatnya, Guntoro (Desta), Eman (Aming), dan Beni (Ringgo Agus Rahman). Ketiganya memberi pelajaran pada pria-pria yang ditolak Mae untuk jangan pernah lagi mencoba-coba meminangnya. Mereka juga bikin syarat yang memberatkan: Jika bukan anak raja atau anak sultan, mending jauh-jauh dari Mae, yang di mata sahabatnya “primadona kampung”.

Hingga, datanglah seorang pria pujaan, Randy (Kevin Richard). Sosoknya bak pangeran tampan. Syahdan, Mae sang Cinderalla kampung pun jatuh hati. Tetapi, 3 sahabatnya ternyata tak merelakan sang primadona jatuh ke pelukan pangeran pujaan. Meski semua syarat jadi suami Mae dipenuhi, bukan berarti mereka memberi lampu hijau. Namun, mereka pun tak kuasa menjadi istri Mae. Masa depan tak ada. Pekerjaan tak punya. Guntoro dan Eman malah jatuh sakit. Beni akhirnya bersedia dengan setengah terpaksa.
Ceritanya sampai segitu saja ya. Sayang kalau diumbar semua. Mending menontonnya di bioskop saat filmnya masih diputar atau segera beli VCD/DVD-nya nanti (jika malas, boleh menunggu sedikit lebih lama sat diputar di teve).

Selain cerita inti sederhana namun berisi di atas, film ini punya banyak elemen menarik lain untuk disingkap. Pilihan komedi romantis yang diusung skenario Musfar Yasin (juga menulis Ketika dan Naga Bona Jadi 2) jadi pilihan jitu. Film ini tampil segar, membuat terbahak. Komedi juga memungkinkan Musfar menyisipkan pesan-pesan moral dan kritik sosial seperti film-filmnya terdahulu dengan lebih elegan. Ya, akan aneh rasanya bila drama mendayu-dayu macam Heart diisi kritik sosial berupa pertentangan kelas si kaya dengan si miskin.

Perang antara the haves and the haves not (si kaya dan si miskin) jadi sub-konflik film ini. Mae dan 3 sahabatnya tinggal di kampung, sedang Randy di perumahan mewah. Saat Randy dipermalukan 3 anak kampung sahabat Mae, teman-teman Randy yang semuanya anak-anak orang kaya menunjukkan solidaritas. “Kita nggak peduli lo benar atau salah. Buat kita, musuh lo adalah musuh kita!” Bagi mereka ini “cara Indonesia”.

Hmm, kritik sosial yang amat mengena sebenarnya. Namun, kok rasanya salah konteks ya. Bukan apa-apa, rasanya agak di luar nalar bila ada sekumpulan anak-anak orang kaya kompleks perumahan mewah berani menyerang kampung. Saya yang hidup di kampung sebelah kompleks perumahan justru melihat anak-anak kompleks takut dengan anak-anak kampung. Waktu SD dulu, kita bebas main bola di lapangan mereka, tanpa perlu ijin dulu.

Nah, dari sini kalau saya bilang film ini amat naif. Lihat saja, Randy yang amat kaya dan tampan bisa dengan mudah jatuh hati pada Mae. Atau Mae yang bercita-cita jadi polisi begitu mudah menyerahkan nasibnya pada 3 sahabatnya.

Meski naif (dan cenderung mengakali nalar), penonton dibuat percaya pada jalinan kisahnya. Mungkin lantaran kisahnya karikatural. Seperti karikatur yang bertujuan mengeksagerasi (melebih-lebihkan bentuk wajah obyek gambar), kita dibuat menerima kisah yang disajikan. Dan malah tertawa terpingkal-pingkal. Hal ini menandakan, sebagai sebuah karikatur sosial Get Merried karya yang berhasil.

Pertanyaannya, pada siapa kredit utama pujian di atas ditujukan? Maaf saja, bukan pada Hanung Bramantyo yang kemampuannya belum layak naik kelas dari filmnya terdahulu, Jomblo (2006). Pun juga Nirina, Aming, Desta dan Ringgo yang asyik berakting jadi diri sendiri, bukan karakter tokoh yang mereka perankan. Maaf juga, mereka tak sekelas Deddy Mizwar saat di Kejarlah Daku.. atau Rano Karno di Taksi. Pujian utama hanya layak ditujukan pada Musfar sang penulis. Dialah penulis skenario terbaik yang dimiliki bangsa ini sekarang. Musfar tak seambisius Monty Tiwa yang hobi mengulik kata-kata dan ingin terlihat pintar. Bukan pula Joko Anwar yang berambisi membuat sesuatu yang serba lain dari yang lain. Namun, Musfar justru berhasil membuat film yang lebih berbicara letimbang keduanya. Lebih bercerita. Enak diikuti, sekaligus bermakna.

Get Married
Sutradara: Hanung Bramantyo
Skenario: Musfar Yasin
Pemain: Nirina Zubir, Aming, Desta, Ringo Agus Rahman, Richard Kevin, Jaja Miharja, Meriam Bellina.
Durasi: 90 menit