Sunday, January 28, 2007

5 Film INdonesia Terbaik 2006

5 film terbaik 2006

Mengapa 5 film berikut ini layak ditonton?

Oleh Ade Irwansyah


Tahu tidak, selama setahun terakhir film Indonesia tak pernah luput ditulis tabloid ini. Dan, hore! Mumpung di saat akhir tahun begini bolehlah saatnya bagi kami menentukan film-film apa saja yang kami sebut layak tonton sepanjang tahun ini. Kami mencatat, kebanyakan film yang beredar masih jauh untuk disebut bagus. Pekan film Indonesia tak lepas dari cacat cela. Ada yang skenarionya bagus, tapi lemah dalam teknik penggarapan. Ada yang teknik sinematografinya bagus, tapi ceritanya seadanya. Kendati begitu, kami tak mau pesimis dan bilang film nasional rilisan 2006 buruk semua. Ada saatnya kok kala kami ke bioskop seolah menemukan mutiara di antara lautan lepas yang kusam dan kotor. Di bioskop kami tertawa segar, dan sepulangnya tersenyum puas, sambil pikiran penuh kenyamanan. Inilah dia 5 mutiara itu yang membuat kami percaya kalau film Indonesia masih punya harapan untuk dapat tempat layak di bioskop. ***

1. Opera Jawa
Produksi: Karya Set Film
Sutradara: Garin Nugroho
Pemain: Artika Sari Devi, Martinus Miruto, Eko Supriyanto

Sekali lagi, Garin Nugroho membuktikan diri sebagai sineas paling berbakat yang dipunyai negeri ini. Untuk ukuran zaman sekarang, tak ada sutradara yang punya reputasi dan nama besar seperti dimiliki Garin. Namanya harum di luar negeri lewat berbagai penghargaan yang ia koleksi. Masalahnya, film buatan Garin lebih sering susah dimengerti penonton di negerinya sendiri. "Mau omong apa sampeyan, Mas Garin?" demikian sebuah artikel di koran terkemuka negeri ini menggugat film-film Garin yang tak komunikatif dengan penonton.

Tapi, itu rasanya masa lalu. Garin membuktikan diri belajar dari kritikan yang menderanya. Hasilnya, jadilah Opera Jawa. Film ini layak disebut istimewa lantaran dua hal: Pertama, Garin tak perlu mundur, seolah menurut pada kritikan untuk membuat film yang bebas dari bahasa visual penuh simbol. Lewat Opera Jawa, ia tetap seorang Garin yang lebih nyaman bercerita lewat bahasa gambar. Kedua, gambar-gambar simbolis yang Garin suguhkan lebih mudah dimengerti penonton awam, tanpa penonton yang sok tahu seni merasa terlalu diremehkan. Artinya, Garin berhasil mempertemukan dua entitas pecinta filmyang berada di dua kutub berbeda, pecinta film seni dan penyuka film ringan yang bercerita linear, tak mau dibuat pusing ketika menonton film.

Film ini juga layak kami sebut film terbaik tahun ini lantaran pencapaian teknik penggarapan yang dilakukan Garin, para kru dan semua pemainnya. Film ini berhasil memberi tontonan memukau. Garin mengaduk-aduk hampir semua elemen kesenian dalam satu medium seni, film. Ada tari-tarian tradisional berikut tembang Jawa, ada tari kontemporer, ada seni instalasi, ada seni patung, hingga wayang. Tambahan lagi, film disajikan layaknya sebuah opera (berdialog lewat nyanyi dan tari) dalam bahasa Jawa. Tapi itu semua bukan hadir untuk sok nyentrik, sebab Garin tak lupa menyuguhkan elemen penting yang mesti ada di sebuah film: konflik. Konflik para tokohnya (tentang cinta, kesetiaan, ketidakadilan) sudah begitu kita akrabi. Jadi, bayangkan Anda tengah menonton film Phantom of the Opera tapi dengan pengantar bahasa Jawa. ***

2. Berbagi Suami
Produksi: Kalyana Shira Film
Sutradara: Nia Dinata
Pemain: Jajang C. Noer, Shanty, Dominique, El Manik, Lukman Sardi

Nia Dinata memang paling jago menggarap film bertema sosial. Setelah berhasil menyorot kehidupan hipokrit kalangan jetset lewat Arisan! (2004), ia menyoroti sebuah fenomena yang ada di masyarakat, poligami. Selama 1,5 tahun Nia gigih meriset layaknya seorang peneliti. Dan hasilnya sungguh suguhan yang menyegarkan. Nia tak membuat tema besar ini jadi lebih berat. Ia menguliknya jadi komei satir, mengajak kita tertawa getir lalu kemudian memikirkannya dalam-dalam.

Nah, dengan cara begitu niat Nia menyampakan pesan lewat filmnya dijamin bakal lebih kena ke penonton. Selain itu, film Nia bebas nilai. Ia bertindak layaknya seorang jurnalis melaporkan berita, tak memihak, hanya menyuguhkan fakta. Hal ini konon yang membuat filmnya tak masuk hitungan nominator film terbaik FFI tahun ini. Juri seleksi FFI menganggap film garapan Nia tak diimbuhi pesan moral.

Kami bukannya tak peduli pada urusan pesan moral. Tapi, menurut kami pesan moral tak perlu disampaikan secara verbal ke depan penonton. Pilihan bebas nilai yang disajikan Nia justru membuatnya punya nilai lebih di mata kami. Nia tak ingin menggurui. Ia cukup memberi penjelasan pada kita atas nasib 3 wanita yang jadi korban poligami, Salma (Jajang C. Noer), Siti (Shanty), dan Ming (Dominique). Nia menganggap kita, penonton, sudah dewasa. Untuk itu kami layak menghargainya. ***

3. Denias: Senandung di Atas Awan
Produksi: Alinia Pictures
Sutradara: John De Rantau
Pemain: Albert Fakdawer, Marcella Zalianty, Ari Sihasale, Minus Karoba

Denias: Senandung di Atas Awan adalah sebuah kejutan menyegarkan di akhir tahun buat kami. Menonton film ini seolah menemukan oase di padang pasir. Setelah kehausan lantaran lelah menonton film-film tak layak tonton, dahaga kami seakan hilang begitu nonton Denias. Kami tertawa segar di bioskop-terutama saat tokoh Enos (Minus Karoba) muncul. Tapi, filmnya sendiri berisi pesan moral yang amat baik: betapa pentingnya sebuah pendidikan. "Kalau kau pintar, gunung pun akan takut padamu," begitu ibu Denias berpesan.

Bagi penonton kota yang serba diberi kemudahan, menonton Denias memberi arti tersendiri. Tenyata, buat orang di pedalaman begitu sulit mendapat pendidikan yang layak. Tapi, mereka tak putus asa. Justru menghadapinya dengan bersahaja (lengkap dengan keluguan khasnya), sambil terus berjuang meraih cita-cita. Selain itu, film ini patut diberi kredit lebih lantaran menyuguhkan panorama indah alam Papua yang jarang disentuh sineas tanah air. Inilah film yang dpersembahkan orang Papua bagi kita, saudara mereka yang jarang bertemu, apalagi peduli. ***

4. Maskot
Produksi: Random Pictures
Sutradara: Robin Moran
Pemain: Ariyo Wahab, El Manik, Butet Kertaradjasa

Maskot adalah film bagus yang tak diketahui banyak orang. Masa edarnya di bioskop begitu singkat. Saat filmnya beredar, dan diberi review bagus di berbagai media, plus promosi dari mulut ke mulut, banyak orang yang baru punya niatan menonton mesti kecewa lantaran filmnya sudah tak edar lagi. Padahal, mestinya film ini dapat tempat yang layak dibanding puluhan film yang dipromosikan jor-joran, tapi kualitasnya diragukan.

Di mata kami (ya, beruntung kami sempat menontonnya!) Maskot punya tempat tersendiri. Ide ceritanya segar (apa yang lebih jenius dari ide cerita mencari maskot perusahaan berwujud ayam jago?), skenarionya jempolan (ada kalimat yang begitu kami ingat, "Carilah ayam di sebuah lembah di antara dua gunung kembar, dekat sungai berwarna hitam tempat bidadari mandi yang mengalir ke seribu anak sungai."), plus akting menawan nan mencuri perhatian (kami terpukau setiap kali melihat akting Butet atau Epi Kusnandar, pemeran Sapari). Inilah film yang tak coba jadi besar dengan mengangkat tema-tema berat, tapi hasilnya malah ringan mirip bulu ayam. Film ini sekadar hadir untuk bercerita. Tidak lebih. Dan kesegaran humornya seolah bonus yang amat berharga saat kami mendapatkannya. ***

5. Jomblo
Produksi: SinemArt
Sutradara: Hanung Bramantyo
Pemain: Ringgo Agus Rahman, Christian Sugiono, Dennis Adishwara, Rizky Hanggono

Penonton Jomblo terbagi dalam dua kubu. Ada yang membenci filmnya, menganggapnya menjijikkan, tak berkelas. Tapi ada pula yang menyukainya, tertawa segar oleh suguhan komedinya, dan merasa puas melihat kisah romantisnya. Maaf sebelumnya, kami termasuk golongan orang yang suka saat menonton film ini. Memang, kami akui kalau pada beberapa bagian filmnya menjijikkan (saat Dennis menggaruk-garuk kemaluannya, misalnya), atau akting Rizky yang kaku membuat film ini punya nilai minus. Tapi, apa hendak dikata, kami tertawa segar saat menontonnya. Lalu, kami juga terharu biru melihat kisah cinta segitiga antara Agus (Ringgo) dengan Rita (Richa Novisha) dan Lani (Nadia Shapira). Atau pada kisah tragis nan dramatis antara Doni (Christian) dengan Olip (Rizky) yang mendamba cinta Asri (Rianti Cartwright).

Menonton Jomblo, penonton seolah diajak menyelami masa-masa indah saat kuliah dulu. Saat persahabatan mesti diuji oleh cinta pada lawan jenis. Film ini pun diakhiri dengan manis. Filmnya tak menggiring pada kita untuk lebih memilih mana, sahabat atau cinta. Tapi, menyuguhkan kita untuk jadi dewasa atas setiap keputusan yang diambil. Film ini mengajarkan kita jadi dewasa, dan karenanya mendapat tempat yang layak di hati kami. ***
Dimuat BINTANG INDONESIA, No.818, TH-XVI, MINGGU KEEMPAT DESEMBER 2006.

Catatan Film Nasional 2006

Catatan Perfilman Nasional 2006

Masih Lebih Untung Bikin Film Horor dan Remaja


Oleh Ade Irwansyah

Bagaimana kita menggambarkan film Indonesia tahun ini dengan sebuah perlambang? Sesosok kuntilanak berkaki kuda? Anak kelas 6 SD pacaran dengan om-om? Anak Papua mendamba sekolah? Para pria berpoligami? Atau pula, seekor ayam sebagai maskot? Antara gaya hidup rock n' roll atau jadi jomblo? Itulah di antara keriuhan yang kita rasakan di bioskop setahun terakhir. Ya, boleh dibilang dari sekitar 32 film yang beredar tahun ini, tema yang hadir beda. Memang sih, kalau mau dihitung-hitung masih didominasi film horor dan percintaan remaja. Membuat film jenis itu terbukti lebih mendatangkan untung dibanding membuat jenis lain.

Kami tak sekadar asal ngecap, tapi angka yang bicara. Menurut data yang diperoleh dari sebuah sumber yang dekat jaringan bioskop 21, film paling laris tahun ini diraih Heart (produksi Starvision) dengan total penonton 1,3 juta orang. Diikuti Kuntilanak (Multivision Plus Pictures) dengan angka 1,2 juta penonton. Lalu ada Rumah Pondok Indah (Indika): 750 ribu penonton, Hantu Jeruk Purut dan Hantu Bangku Kosong dengan angka seri: 700 ribu penonton. Kemudian ada Jomblo (SinemArt): 600 ribu penonton.

Tanpa perlu memetakannya lebih rinci, cukup melihat judulnya saja, Anda tahu film-film di atas bergenre apa: Horor (Kuntilanak, Rumah Pondok Indah, Hantu Jeruk Purut, dan Hantu Bangku Kosong) dan percintaan remaja (Heart dan Jomblo).

Lalu, masih adakah tempat buat genre lain? Oh, masih. Begini, sineas nasional rasanya sadar betul kalau penonton nasional paling suka menonton film horor dan percintaan remaja. Ini tak bisa dipungkiri, mengingat mayoritas penonton bioskop berusia ABG. Bioskop pun paling banyak menempel di mal, pusat ABG beraktifitas. Nah, kondisi ini dihadapi para pembuat film dengan 2 strategi: ikut selera pasar atau membuat alternatif tontonan.

Yang ikut selera pasar membuat film horor dan remaja. Maka, hadirlah Lentera Merah, Rantai Bumi, KM 14, dan Dunia Lain: The Movie (horor); serta Gue Kapok Jatuh Cinta, D'Girlz Begins, Realita Cinta dan Rock 'n Roll, atau Cewek Matrepolis (percintaan remaja). Yang memilih memberi tontonan alternatif menyuguhi kita dengan 9 Naga, Berbagi Suami, Ekspedisi Madewa, Ruang, Maskot, Koper, I Love You, Om, hingga Denias: Senandung di Atas Awan.

Pilihan strategi itu menghasilkan dua hal: berhasil dan gagal total. Ukuran berhasil pun sangat relatif. Tergantung bagaimana mengartikannya. Bila ukurannya uang alias keuntungan finansial terbukti beberapa film bertema alternartif-di luar horor dan percintaan remaja-terbukti mencuri perhatian. Bila menyebut contoh, Berbagi Suami (Kalyana Shira Film, sutr. Nia Dinata) yang mengangkat tema poligami mampu menyedot penonton 350 ribu penonton. Sementara itu, Denias (tentang perjuangan anak Papua yang ingin bersekolah) tak kurang sudah ditonton sekitar 200 ribu orang. Namun, banyak juga yang flop alias jatuh merugi. Film-film semisal Koper dan 6:30 konon ditonton kurang dari 5 ribuan penonton.

Duh, hingga kiamat nanti rasanya biaya pembuatan film itu takkan pernah balik modal. Sebab, menurut hitung-hitungan film nasional bisa dikatakan BEP (break event point) kalau tak kurang ditonton 300 ribu penonton. Hitungan persisnya, jika rata-rata dari setiap karcis bioskop produser film dapat 7 ribu rupiah, setidaknya sebuah film harus menghasilkan lebih dari 2 miliar rupiah baru dibilang BEP. Ini angka konservatif paling rendah, mengingat rata-rata film nasional jaman sekarang dibuat dengan biaya 3 miliar rupiah -- film tertentu malah dibuat dengan bujet 7 miliar rupiah.

ikut arus atau bikin tontonan alternatif
Sementara itu, beberapa film bertema di luar horor dan percintaan remaja dapat perhatian festival film baik di dalam maupun luar negeri. Berbagi Suami dapat penghargaan film panjang terbaik di ajang Hawaii International Film Festival (HIFF) 2006. Sementara Denias jadi kuda hitam di Festival Film Indonesia 2006 dan meraih film terbaik di ajang sesi kompetisi Jakarta International Film Festival (Jiffest) 2006. Artinya, kendati filmnya tak selaris film horor atau remaja, toh dapat sukses lain berupa penghargaan dari festival film.

Masalahnya, tak semua film bernasib baik seperti itu. Tapi, rupanya pula pembuat film nasional kebanyakan belum kapok membuat film. Ini pertanda baik di satu sisi, tapi bisa jadi bumerang di sisi lain. Kegairahan membuat film kebanyakan berujung pada kelatahan dari para sineas. Perhatikan, para pembuat film tahun ini banyak dari kalangan pemain baru, entah sutradaranya maupun produsernya. Seorang paranormal seperti Ki Kusumo sampai terpikir membuat film yang ia produksi sekaligus bintangi sendiri, Rantai Bumi. Lalu, perusahaan pembalut wanita sampai melihat film berpotensi meningkatkan penjualan dan imej perusahaan lewat D'Girlz Begins. Terus, seorang novelis dan pemilik kios buku sampai menjual sejumlah kios bukunya untuk menambah modal bikin film.

merugi karena tak banyak ditonton
Pertanyaannya, mengapa film-film itu merugi? Jawabnya sederhana saja, filmnya tak ditonton banyak orang. Lalu, muncul pertanyaan lain lagi, kenapa pula filmnya tak ditonton? Ya, karena kebanyakan orang malas meluangkan waktu, menyisihkan uang untuk menonton filmnya. Jika mau dicari sebabnya film nasional yang beredar tahun ini banyak sekali kelemahannya. Persoalannya bukan pada menentukan apakah menyuguhi tontonan yang ikut arus (horor dan remaja) atau bikin tontonan alternatif. Melainkan pada seberapa lancar sang sineas bertutur pada penontonnya. Nah, ini yang jumlahnya jarang. Jika menilik catatan Komite Seleksi FFI 2006 setelah memilih 10 film yang layak ikut kompetisi, film Indonesia tahun ini "banyak memiliki kelemahan dramaturgi, yang berhubungan dengan keruntutan, ketajaman, ketaat-asasan cara berpikir. Ada sikap asal-asalan menyangkut hubungan sebab-akibat. Pahitnya lagi, para sineas dinilai kurang serius menggeluti logika internal film."

Hmmm, kalimat di atas terasa berat buat dimengerti? Begini saja, biar kami jelaskan lewat contoh. Saat seorang anak 12 tahun cinta mati pada om-om (lihat I Love You, Om...) hingga mengejarnya sampai ke diskotek dan pakai baju tank top segala namanya mendramatisir, bukan lagi dramaturgi. Apalagi sebelumnya tak dijelaskan betapa canggungnya anak kecil itu. Lalu, kalau tiba-tiba seorang perempuan yang diceritakan mabuk hingga tak sadar, lalu sekonyong-konyong bangun cuma buat bilang, "Eh, bocor, tuh," (lihat D'Girlz Begins) itu namanya nggak logis. Pun demikian dengan orang yang mestinya mati tapi di kamera masih kelihatan bernafas (lihat KM 14).

Belum lagi kalau melihat sejumlah film yang sejatinya tak layak masuk bioskop. Film-film itu cuma layarnya saja yang lebar, tapi kualitasnya tak lebih bagus ketimbang sinetron. Padahal bioskop dan teve dua medium berbeda. Sinetron bisa ditonton gratis di teve, tak perlu pergi ke mal, bayar parkir, hingga membeli tiket.

Melihat masih rendahnya minat menonton, produser berpikir keras buat dapat dana segar agar tak terlalu merugi. Solusinya, mereka menjual hak siar filmnya ke stasiun teve. Konon, harga jualnya mengiurkan. Makin baru, filmnya makin dihargai lebih mahal. Konon harga jualnya antara 300-500 juta rupiah per film. Coba perhatikan, ada berapa film nasional yang edar tahun ini juga sudah diputar di teve? Kami mencatat Jomblo, Rumah Pondok Indah, D'Girlz Begins, Realita Cinta dan Rock 'n Roll, dan Jatuh Cinta Lagi. Khusus menyambut tahun baru, stasiun teve seolah berlomba paling duluan menyiarkan film bioskop terbaru. Maka, kita bisa menonton gratis Heart dan Ekspedisi Madewa tanpa susah-susah ke bioskop.

Langkah taktis macam ini bukannya tanpa risiko. Sebab, lama-lama bisa timbul pkiran dari benak banyak orang, "Buat apa pergi ke bioskop nonton film nasional, kalau tak lama lagi bisa menontonnya gratis di teve?" Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tak mungkin kelesuan bakal lagi melanda gairah para sineas membuat film.

Semoga saja hal itu tak terjadi. Sebab, boleh dikatakan industri film tanah air belumlah layak dikatakan sudah benar-benar bangkit dari keterpurukannya. Produksi film nasional masih di kisaran 30-40 film per tahun. Padahal pada 1970-an dan 1980-an lampau jumlahnya rata-rata bisa 100 judul film per tahun. Maka, jika para sineas sudah malas membuat film, produksi film dipastikan melorot.

Kalau mau dicari solusi, semuanya berpulang lagi pada awal para sineas membuat film. Bisa dipastikan, awal para pembuat film bukanlah semata idealisme ingin membangkitkan perfilman tanah air, melainkan uang alias dapat untung. Para produser film macam ini dipastikan kapok bikin film lagi bila film buatannya jeblok di pasaran. Untuk produser macam ini kita tak perlu merasa tak enak hati. Kita, penonton, layak dapat suguhan berkualitas saat bertandang ke bioskop. Kalau mereka bikin film buruk, mending ke laut saja. Biar ditonton ubur-ubur dan ikan.
Dimuat BINTANG INDONESIA, No.818, TH-XVI, MINGGU KEEMPAT DESEMBER 2006,

Friday, January 26, 2007

Resensi Denias

Denias, Senandung di Atas Awan

Kisah Anak Papua Mendamba Sekolah

Oleh Ade Irwansyah

Pada
suatu ketika, sebutlah 1973, hadir Si Doel Anak Betawi. Film arahan mendiang Suman Djaya itu mengangkat realitas keseharian anak Betawi. Si Doel dimainkan Rano Karno saat masih kecil. Filmnya berakhir kala Doel masuk sekolah. Impian Doel buat mengenyam pendidikan terwujud. Doel bukan lagi cuma anak Betawi, tapi sudah jadi “Si Doel anak sekolahan,” begitu kata neneknya di ujung film.

Lantas, menginjak 2000-an hadir film Denias, Senandung di Atas Awan. Kalau Si Doel dari Betawi (baca: Jakarta), maka tokoh utama film ini, Denias berasal dari bagi paling timur negeri ini, Papua. Nah, dari sini film ini seolah punya eksotikanya tersendiri. Seting alam Papua nan indah tentu bakal memanjakan mata.

Dan demikianlah adanya. Sejak awal film lanskap Papua nan luas disyut mentereng. Hamparan savana hijau, hutan, hingga salju abadi di puncak Jayawijaya. Lalu, kamera menyorot keseharian penduduk asli di pedalaman. Di sana ada upacara pemakaian koteka, ada anak-anak asli Papua berburu di hutan.

Hei, kok sepertinya film ini asyik memotret alam Papua dan keseheraian penduduknya saja? Ini bukan film dokumenter kan? Kok sampai lebih dari 15 menit, belum ketahuan filmnya bercerita soal apa?

Oke, penonton juga tahu Papua itu indah. Masyarakatnya unik. Namun, bukan itu tujuan utama penonton merogoh kocek ke bioskop menonton film ini. Beruntung, si pembuat film segera tersadar kalau sedang menggarap film cerita—bukan dokumenter. Lama-lama cerita yang seolah tak hadir, mulai muncul. Alkisah, hiduplah Denias (Albert Fakdawer), seorang anak usia SD yang hidup di pedalaman Papua. Denias anak seorang petani ladang (Michael Jakarimilena).
Oleh ibunya (Audrey Papilaja), Denias dipesan untuk terus bersekolah biar pintar. “Kalau kau pintar, gunung pun akan takut padamu,” begitu ibunya berpesan. Pesan itu terngiang terus. Denias rajin bersekolah pada seorang guru (Mathias Muchus). Kendati sering diganggu Noel (Ryan Manobi), anak kepala suku, Denias tetap masuk sekolah. Hingga suatu kali, sang guru mesti kembali ke Jawa. Denias tak lagi bisa sekolah.

Beruntung ada yang mau jadi guru pengganti, seorang tentara di pedalaman yang dipanggil Denias dengan sebutan Maleo (Ari Sihasale). Prsahabatan Denias dan Malae makin menggelorakan niatan bocah itu untuk terus bersekolah. Apalagi setelah ibunya meninggal, Denias berniat mewujudkan tekad mewujudkan impian ibunya, bersekolah dan jadi pintar. Maka, ketika Maleo mesti pergi karena panggilan tugas, Denias tak lantas patah arang. Ia mencari sekolah baru sendirian.

Denias berjalan mwelintasi hutan, sungai, bukit, dan gunung, hingga sampai di wilayah komplek PT Freeport. Di sana, ada sekolah bagus dengan fasilitas pendidikan terbaik. Denias ingin bersekolah di situ. Tapi tentu sajka, jalan ke situ tak mudah. Selama berhari-hari Denias menggelandang bareng Enos (Minus Karoba) di sekitaran sekolah. Kegigihan Denias untuk bisa sekolah membuat seorang guru di situ, Sam (Marcella Zalianty) tergerak. Sam mengupayakan Denias bisa sekolah di situ. Seperti halnya film Si Doel dahulu, Denias tentu akhirnya diterima untuk sekolah. Tapi bukan itu yang penting. Semua juga tahu film ini bakalnya berakhir bahagia. Yang penting, bagaimana John De Rantau menggarapnya. Ia—bersama penata kamera Yudi Datau—awalnya keasyikan memotret keindahan alam. Hal ini tadinya membuat diri ini khawatir, jangan-jangan filmnya bakal berujung seperti Ruang, sinematografi ciamik tapi minus cerita. Untunglah tidak begitu. Denias sedikit banyak justru hadir bak oase di padang pasir. Di tengah keriuhan film horor yang tujuannya cuma ingin mengeruk uang, masih ada sineas yang punya idealisme mengangkat sisi lain orang Indonesia yang jarang diangkat jadi tema film. Untuk ini kita mesti berterimakasih pada kegigihan pasangan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen (lewat bendera Alenia Productions) mewujudkan film yang diangkat dari kisah nyata ini. ***

Resensi Pesan dari Surga

Pesan dari Surga

Tentang Seorang Pembawa Pesan

Oleh Ade Irwansyah

Melihat
dua film terakhir arahan Sekar Ayu Asmara, Belahan Jiwa (2005) dan yang terbaru, Pesan dari Surga, kami menyimpulkan kalau Sekar tipe sutradara yang lebih mementingkan style, ketimbang menaruh perhatian luas pada plot yang lancar, logis, dan enak diikuti. Belahan Jiwa punya tema menarik sebagai plot film, tentang kepribadian ganda. Tapi, ya itu tadi, hasilnya masalah psikologis kepribadian ganda yang mestinya bisa mengangkat bobot film, digantikan gaya penceritaan thriller yang maunya mirip film The Fight Club, tapi berakhir tanpa kejutan. Kendati begitu satu hal yang tersisa dari film itu: Belahan Jiwa dibuat dengan gaya tata artistik yang lain dari film nasional kebanyakan. Setiap karakter seolah hadir lengkap dengan “seragam” pendukung karakternya. Tokoh yang diperankan Nirina diberi “seragam” serba biru, misalnya.

Nah, Pesan dari Surga pun setali tiga uang. Lagi-lagi Sekar mengulangi tingkahnya di Belahan Jiwa dulu. Film ini jelas penuh “gaya.” Dilihat dari bintangnya saja, film ini terlihat wah. Semuanya boleh dibilang bintang-bintang di jagad layar lebar kontemporer. Ada Luna Maya, Catherine Wilson, Rianti Carthwright, Davina, Indah Kalalo, Lukman Sardi, Ramon Y. Tungka, hinggaVino G. Bastian. Tidak ingatkah Anda, Belahan Jiwa mempertemukan Dian Sastrowardoyo, Marcella Zalianty, Rachel Maryam, Dinna Olivia, dan Nirina dalam satu layar?
Itu dari persoalan bintangnya saja. Belum lagi urusan wardrobe alias tata kostum. Kendati berkisah anak band, para tokohnya seakan jauh dari kesan pop (padahal musik yang diperdengarkan jelas-jelas musik pop), malah mirip perancang busana yang pakaiannya sok nyeni atau sok lain sendiri (lihat celana yang dikenakan Lukman Sardi kalau mau bukti nyata). Lalu, setingnya di sekitaran gunung Merapi yang tengah diselimuti awan panas terasa sensasional sebagai gambar di layar, tapi kehilagan esensinya lantaran tak disertakan dalam penceritaan. Kita seolah diajak melihat foto di koran yang telanjang, tanpa keterangan apa pun.
Sementara itu, dari segi ide cerita, Pesan dari Surga tergolong tak biasa. Ada nuansa mistik-spiritual di dalamnya. Kisahnya berfokus pada 5 sahabat yang tergabung dalam grup band Topeng: Canting (Luna Maya) sang vokalis, Brazil (Catherine) sang bassis, Veruska (Rianti) sang pemain keyboard, Kuta (Lukman) si drumer, dan Prana (Vino) sang gitaris. Kelimanya punya masalah masing-masing.

Canting yang temperamental dibuat cemburu buta pada kekasihnya, Armand (Dimas Setowardhana). Pria ini lebih sering meluangkan waktu bersama mantan kekasihnya, Julia (Davina) mengurusi LSM pencarian anak hilang (duh, memangnya ada LSM model begini, ya? Bukannya anak hilang itu urusan polisi?). Brazil lain lagi. Ia malah sedang asyik mengencani dua cowok sekaligus, si kembar Oya dan Oyi (Ramon). Masalah mulai muncul kala Oya dan Oyi tahu dikibuli Brazil. Sementara itu, Veruska yang saleh mendapati dirinya hamil. Tapi, hatinya gamang. Pacarnya, Dodo (Uli Herdinansyah),seorang psikolog yang takut berkomitmen. Dodo juga seorang pecandu narkotik. Lalu, Kuta yang menjalin hubungan sesama jenis dengan seorang pria beristri (Ario Bayu). Sedangkan Prana yang beristri Sandra (indah), seorang peramal, juga kepincut penari salsa, Erlita (Madina Wowor). Erlita bersedia jadi istri keduanya.
Duh, ceritanya ruwet ya? Nggak, kok. Sekar memang seakan ingin bilang kalau setiap manusia punya problem masing-masing. Pun demikian dengan personil band Topeng ini. Maka, filmnya lebih menyoroti kehidupan masing-masing tokohnya. Adegan anak band cuma ada sambil lewat. Karenanya, memasukkan film ini sebagai kisah anak band macam Garasi salah besar.
Kita lantas diajak menyelami persoalan para tokohnya makin dalam. Niatan Armand bekerjasama bareng Julia ternyata dilatari sebuah kejadian masa lalu. Julia pernah punya anak dari Armand. Anak itu hilang. Armand merasa bersalah dan berjanji mencarinya bareng Julia. Oya dan Oyi bertukar identitas. Si kembar ini ingin membalas mengibuli Brazil. Tapi, belakangan Brazil yang punya kenangan traumis pada cowok menaruh hati pada salah satu di antara si kembar. Sedang Veruska tak hanya hamil, ia juga divonis mengidap HIV dari Dodo. Lalu, Kuta makin cinta mati pada pasangan gay-nya. Ia tak peduli kalau istri kekasihnya itu sedang hamil besar. Sementara itu, Sandra yang mengendus perselingkuhan Prana, memperingatkan sebuah musibah bakal terjadi bila suaminya meneruskan niatnya memperistri Erlita.

Benar saja, ramalan Sandra terbukti. Nah, dari sini nuansa mistik-spiritual mengental. Kita disuguhi para roh arwah yang telah mati bicara, lalu menitipkan pesan pada “yang belum saatnya mati.” Sebuah pesan dari surga untuk yang hidup. Tapi, lagi-lagi, hati ini terbetik untuk bertanya: jika saat hidup Anda selingkuh, pacaran dengan sesama jenis, saleh tapi hamil di luar nikah, atau menduakan cinta tulus orang lain, akankah Anda pantas masuk surga dan menitipkan pesan dari sana? Kalau pertanyaan itu ditanyakan pada tokoh Canting, ia pasti bakal jawab, “T**i B**i!!” ***

Tuesday, January 23, 2007

Resensi Bintang edisi 818 "Pocong 2"

Pocong 2

Film Horor Rasa Rudi Soedjarwo

Oleh Ade Irwansyah

Tahukah
Anda kalau film legendaris Star Wars garapan George Lucas justru dimulai dari Episode: 4, A New hope (rilis 1977)? Tak ada alasan persis mengapa Lucas menyuguhi gaya penceritaan seperti itu. Tapi, orang-orang juga tak peduli. Filmnya tetap laris. Mereka tak bertanya-tanya kemana Episode I, II, dan III—tentu, belakangan kita tahu Lucas membuat prekuelnya mulai 1999. Nah, yang ini situasinya beda. Pembuat filmnya tak pernah berniat merilis film kedua duluan. Tapi apa daya film pertamanya, Pocong 1 (Dendam Pocong) dilarang edar pemerintah. Film itu dianggap mengumbar kekerasan brutal oleh Lembaga Sensor Film (LSF).

Lalu sekonyong-konyong hadirlah film lanjutannya, Pocong 2. Kendati mengklaim filmnya bisa dinikmati tanpa perlu menonton film pertama dulu, tetap saja hakikat film ini sekuel, cerita lanjutan. Akan lebih nikmat rasanya bila menonton kisah sebelumnya dulu, lalu melahap film kedua. Sebab, kita seakan disuruh meraba-raba kisah pertamanya seperti apa. Kalau pun tahu sekelumit, hanya dari media yang memberi sedikit sinopsisnya (o ya, tak ada media yang sudah menonton Pocong pertama. Keterangan isi cerita hanya bersumber dari pembuat film atau LSF).

Maka, tontonlah film ini seolah Anda sudah menonton film pertama. Sebagai pengantar, ada adegan dari film pertama (?) saat seorang pria penuh dendam memperkosa seorang perempuan di sebuah kebun kosong. Ia dikubur hidup-hidup setelah dibungkus jadi pocong. Lalu ada pria lain memergoki. Keduanya lantas berkelahi. Cerita lantas meloncat ke masa 4 tahun kemudian. Tersebutlah Maya (Revalina), seorang asisten dosen filsafat yang sedang mencari tempat kos. Ia tinggal bareng adiknya, Andien (Risty Tagor) setelah kedua orangtuanya meninggal setahun sebelumnya. Maya bertunangan dengan Adam (Ringgo Agus Rahman).

Sebuah iklan baris di koran menggiring Maya menemukan sebuah apartemen murah. Syahdan, Maya dan Andien tinggal di sana. Dari situ, mulailah teror mendera. Andien diganggu pocong hingga ketakutan setengah mati. Maya lantas mencari solusi. Atas saran 2 mahasiswa yang jadi muridnya, ia mendatangi seorang dukun (Otig Pakis). Oleh dukun itu mata batin Maya dibuka. Ia bisa melihat hantu yang tak bisa dilihat dengan kasat mata.

Hm, kok mirip film horor The Eye, ya? Okelah, tak bisa dipungkiri horor nasional era sekarang amat terpengaruh film-film horor Asia buatan Jepang, Thailand, atau Hong Kong macam The Eye dan kawan-kawannya. Sutradara sekaliber Rudi Soedjarwo (peraih Citra buat Ada Apa dengan Cinta? dan sudah membuat Mengejar Matahari, Tentang Dia, 9 Naga hingga Mendadak Dangdut) tak bisa menghindari gaya penceritaan yang sudah diulang entah berapa film horor buatan sineas sini. Maka, horor suguhan Rudi ya seperti film horor lainnya. Musiknya menghentak, gambarnya mengundang orang untuk dibuat kaget. Jadi tipikal, tak istimewa lagi. Padahal, dengan nama besar seorang Rudi mestinya ia membuat sebuah terobosan yang beda dengan pembuat film horor kebanyakan.

Tapi sudahlah, Rudi toh mencoba memberi sesuatu yang lain. Dari kisah filmnya kita lantas digiring pada kenyataan yang terjadi 4 tahun sebelumnya. Saat sebuah keluarga dibantai, dperkosa, rumahnya dibakar. Hanya seorang anak lelaki (Dwi Sasono) dibiarkan hidup. Ia lantas membalas dendam habis-habisan. Ini cerita Pocong 1 yang diringkas Rudi lewat dialog seorang tokohnya. Oke, penonton sudah dapat penjelasan film pertamanya seperti apa. Rudi seolah ingin menebus kesalahan agar penonton tak dibuat bingung.

Rudi dan penulis skenario Monty Tiwa (juga menulis Pocong 1) lantas menjelaskan lagi mengapa Maya dan adiknya diteror hantu gentayangan. Ternyata, itu semua bermula dari keteledoran Maya terlambat menjemput adiknya sepulang sekolah. Hm, tidakkah terlalu konyol untuk jadi sebuah premis yang membuat bencana tersaji di sepanjang film? Kami bilang iya. Tapi, terus terang suguhan horor Rudi pada beberapa bagian lumayan membuat merinding. ***

Resensi Bintang Edisi 817"Opera Jawa"

Opera Jawa
Suguhan Cerita Bergaya Opera dari Garin Nugroho


Oleh Ade Irwansyah

Hal pertama yang perlu Anda pahami: ini film Garin Nugroho! Jadi, persiapkan diri buat menonton sesuatu yang lain. Bukan film cerita biasa. Garin punya ciri khas bercerita dengan bahasa gambar. Namun, gambarnya tak mudah dicerna. Sebab, ia menuturkannya lewat bahasa simbol. Penonton mesti mencerna dulu gambar-gambar yang tersaji untuk mengerti jalan ceritanya. Tampilan gambarnya diniatkan punya kekuatan asosiatif. Seringkali, banyak film Garin minim dialog—hanya satu-dua filmnya yang bercerita lewat dialog para tokohnya. Ia berpikir, cerita tak mesti dituturkan lewat dialog, sehingga membentuk suatu lakon yang utuh atau pengaluran. Bila ingin contoh nyata, sekali waktu tontonlah Bulan Tertusuk Ilalang (1998). Kalau Anda bisa mencerna cerita filmnya tanpa kesulitan mencari arti dibalik gambar indah-simbolis-puitis-penuh makna di sana, Anda penonton hebat.

Kini, Garin kembali! Dan, ya Tuhan, lewat Opera Jawa ia lagi-lagi bercerita lewat bahasa gambar. Lagi-lagi simbolis. Lagi-lagi puitis. Lagi-lagi penuh makna. Dan, oh, ada tambahan unsur baru. Nyanyian atau tembang. Bukan nyanyi sembarang nyanyi yang karenanya ini bukan film musikal macam Petualangan Sherina atau Biarkan Bintang Menari. Namun, dialog dituturkan dalam nyanyian seperti halnya tontonan opera. Bedanya, para tokohnya menyanyi tembang Jawa. Makanya, bolehlah menyebut film ini suguhan opera dalam bahasa Jawa—sesuai judulnya.

Masih ada suguhan unsur lain di samping tembang Jawa beserta musik gamelannya. Garin seolah melengkapi filmnya dengan semua unsur kesenian. Di Opera Jawa ada tari-tarian seni kontemporer dan Jawa klasik, kostum aneh, wayang, seni rupa berbentuk patung, hingga karya seni instalasi. Semuanya dipakai buat menyampaikan jalan cerita filmnya. Pokoknya, ungkapan bahwa film karya seni paling lengkap, menemukan bentuknya dalam film ini. Mungkin bentuk eksperimen yang belum pernah dicoba bahkan oleh sutradara manapun di dunia ini sebelumnya.

Dan, ini yang utama, eksperimen Garin kali ini berhasil. Yang dimaksud berhasil, Garin menyuguhi gambar-gambar yang lebih dimengerti penonton awam. Anda tak perlu jadi ahli semiotik, sejarah, antropologi, psikologi, filsafat atau lain-lain buat mengerti filmnya. Tak perlu takut pula tak mengerti bahasa Jawa karena ada teks bahasa Indonesia lengkap untuk memahami jalan cerita. Cukuplah tahu sedikit tentang inti kisah Ramayana berikut 3 tokoh utamanya: Rama, Sinta, dan Rahwana.

Filmnya memang diadaptasi dari satu bagian dari kisah Ramayana, lakon Sinta Obong, saat Rahwana menculik Sinta ke Alengka. Lantaran adaptasi, kisahnya tak persis cerita Ramayana. Bila ingin dicari, inti kisahnya sederhana: di sebuah pedesaan Jawa hiduplah pasangan suami istri, Sita (Artika Sari Devi) dan Setio (Martinus Miruto). Keduanya mantan seniman wayang orang, biasa jadi Rama dan Sinta. Setelah berhenti menari, Setio jadi pengrajin tanah liat. Sita jadi istri yang setia menunggu suaminya berjualan gerabah di pasar. Namun, Sita kerap bermimpi didatangi makhluk berbentuk kukusan (anyaman bambu berbentuk kerucut yang biasa dipakai menanak nasi). Lalu, ada tokoh lain, Ludiro (Eko Supriyanto), tukang jagal sapi yang juga seorang pengagum Rahwana. Ia begitu sayang pada ibundanya (Retno Maruti). Pada sang bunda, Ludiro berterusterang menaruh hati pada Sita.

Suatu ketika, pasar tempat Setio berjualan ditertibkan aparat. Setio jatuh miskin. Sementara itu, Sita malah tergoda ajakan Ludiro. Dalam galau Setio meradang. Kesewenangan aparat ia lawan. Ludiro ia ajak duel. “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung (siapa berani menghalangi, akan dimusnahkan)!”

Dan Sita … oh, tak kuasa kami ceritakan nasibnya. Yang pasti, film ini menyuguhkan tragedi di akhir. Sebuiah tragedi yang bermuara pada kidung duka atas nasib manusia yang karena kekerdilan dan kepicikannya berpikir malah memnbuat darah tumpah. “Duh Gusti, bila begini ingin rasanya kembali ke rahim ibunda, meski harus bertapa 9 bulan lamanya,” begitu kira-kira jeritan hati dari film ini.

Begitu rasanya Garin menginterpretasikan komposisi Requiem gubahan Mozart. Film ini aslinya persembahan Garin untuk perayaan 250 tahun Mozart. Opera Jawa sudah memenangi beberapa penghargaan internasional dan mendapat tempat terhormat di luar negeri. Kini saatnya Anda menikmati produk lokal berkelas dunia tanpa perlu sok ngerti seni, padahal pusing tujuh keliling mencari maknanya. Kata Garin, filmnya dipastikan edar di Yogyakarta, Semarang, dan Solo. Semoga kota lain juga dapat giliran edar. ***
Dimuat BINTANG INDONESIA edisi 817.

Sunday, January 21, 2007

Resensi "Hantu Jeruk Purut"

Hantu Jeruk Purut

Menolak Sensor, dari Hantu Sekalipun

Oleh Ade Irwansyah

Negeri ini punya bejibun tempat yang ditinggali hantu atau makhluk gaib. Dari sebuah kamar hotel di Pelabuhan Ratu, terowongan Casablanca, rumah Pondok Indah, sampai sebuah jembatan di Ancol. Pokoknya, andai Anda ingin berwisata horor mengunjungi tempat-tempat angker di seantero negeri, dijamin Anda nggak akan kehabisan “tempat wisata”. Sungguh. Dan salah satu “tujuan wisata” angker itu kawasan pekuburan Jeruk Purut, Jakarta Selatan.
Di tengah keremangan makam Jeruk Purut, sering muncul sesosok lelaki tegap berjubah tanpa kepala, dituntun seekor anjing bermata merh api. Sosok ini kerap menyusuri pemakaman sambil menenteng kepalanya yang berlumur darah. Orang menyebutnya hantu kepala buntung, penunggu pemakaman Jeruk Purut. Gampang, kok kalau ingin melihat hantu kepala buntung. Tinggal kelilingi makam Jeruk Purut sebanyak 7 kali, dengan jumlah orang ganjil. Ada banyak versi seputar asal muasal hantu kepala buntung di Jeruk Purut. Konon, hantu itu jelmaan pastur yang matinya dipancung, gara-gara salah sasaran.

Nah, mulai akhir November ini kisah hantu kepala buntung itu diangkat ke layar lebar lewat film Hantu Jeruk Purut oleh Indika Entertainment. Ini rumah produksi yang tempo hari untung besar dengan Rumah Pondok Indah. Sekadar catatan, rasanya, Indika memposisikan dirinya sebagai duta wisata yang mempromosikan “tempat-tempat wisata” angker. Kabarnya, kisah horor yang berlatar terowongan Casablanca tengah siap mereka rilis. Oleh karena itu, mereka mungkin pantas diberi penghargaan karena membuat kunjungan wisata ke tempat-tempat angker meningkat.

Oke, kembali ke laptop eh Hantu Jeruk Purut. Film arahan Koya Pagayo (konon, ini nama samaran sutradara Nayato Fionuala) ini sejatinya versi lain dari asal muasal hantu di pekuburan itu. Setelah dikaget-kageti sang hantu, penonton diajak menyelami kisah seorang novelis muda, Anna yang tengah menyiapkan buku seputar mitos hantu Jeruk Purut. Buku belum rampung, Anna sudah diteror sosok hantu kepala buntung dari Jeruk Purut dan seorang hantu lainnya berwujud wanita. Kedua hantu ini tak berkenan pada tulisan Anna seputar asal muasal mereka.
Teror dari dua hantu itu membuat Anna kehilangan nyawanya. Sebelum mati Anna sempat berpesan pada Airin (Angie, bintang Virgin), gadis SMA pengagumnya, agar melanjutkan menulisnya. Namun, ada yang tak logis pada adegan ini. Sebelumnya, kita sudah diberi lihat Anna tertusuk pisau di lehernya, tapi ia masih sanggup menelepon dan menuturkan pesan terakhirnya. Namun, siapa yang butuh logika saat menonton film horor, begitu mungkin pikir pembuat filmnya. Yang penting, kekagetan setiap saat.

Dan demikianlah isi film ini. Airin, seperti halnya Anna, lantas diteror dua hantu itu. Biar tambah seru dan seram, yang diteror tak hanya Airin. Ibu dan teman-temannya juga ikut diteror. Di antara mereka malah ada yang bernasib naas. Intinya, dua hantu itu ingin Airin berhenti menulis. Tapi, Airin bergeming. Ia tetap menulis.

Nah, ini mungkin pesan tersembunyi yang ingin disampaikan pembuat filmnya. Airin tak mempan disuruh berhenti menulis, bahkan oleh hantu. Sekarang memang bukan jamannya lagi sensor. Menyatakan pendapat adalah hak asasi manusia. Entah militer, pemerintah, atau bahkan, hantu tak berhak membatasi kemerdekaan berpendapat. Di ujung film, Airin memang menulis asal muasal berbeda soal hantu Jeruk Purut dengan yang dipercaya orang sekarang. Tapi, ia tetap menulis, meski dengan tatapan kosong dari bangsal rumah sakit, usai 2 temannya tewas dan ibunya nyaris celaka diteror hantu. Airin hebat. Ia menolak sensor, oleh hantu sekalipun. Oh ya, di luar itu, film ini tak banyak beda dengan film-film horor nasional yang banyak beredar. Jadi, bersiaplah dikaget-kageti setiap saat. ***

Resensi Bintang edisi 814

KM 14

Mimpi Membuat Film, Berujung Sia-sia

Oleh Ade Irwansyah

Siapa
saja bisa membuat film. Hal ini tampaknya dicamkan betul banyak orang. Termasuk Radja Simatupang, mantan suami Melanie Soebono, dan temannya Thomas Joseft. Keduanya begitu peduli pada perkembangan perfilman tanah air. Mereka pikir, tema film nasional makin seragam. Tapi mereka tak ingin sekadar berpikir, bergumam, ngobrol ngalor-ngilur. Mereka ingin bertindak. Mereka ingin membuat film. Mereka sungguh mulia.

Dari sekadar ngobrol-ngobrol di Plaza Senayan pada 2004 (demikian menurut rilis yang dibagikan ke pers) tercetus ide membuat film. Rilis itu mengisahkan Radja dan Joseft pontang-panting mewujudkan mimpi. Mereka mengumpulkan uang sepeser demi sepeser hingga terkumpul 1,8 miliar rupiah untuk biaya produksi. Lalu, ditambah biaya promosi 200 juta rupiah. Totalnya, 2 miliar rupiah terkumpul sudah. Beruntung, sebuah produsen telepon genggam asal Korea bersedia ikutan nimbrung jadi sponsor. Mimpi membuat film, ambil bagian dari perkembangan perfilman nasional, bukan lagi angan-angan, tapi jadi kenyataan di depan mata.

Nah, tinggal urusan yang paling berat: membuat film yang baik dan benar.
Dari sekadar mimpi di tahun 2004, filmnya baru jadi sebentuk karya nyata di tahun ini. Tapi, terus terang, persiapan 2 tahun tak menjamin menghasilkan sebuah karya yang bagus. Apa yang dihasilkan duet Radja dan Joseft rasanya membuktikan hal itu.

Film impian mereka diberi judul KM 14. Chadijah Masturi, sosok yang dianggap Radja “penulis berkualitas” didapuk jadi penulis skenario. Ben Hernandez diberi tugas jadi sutradara. Pemain-pemainnya dipilih bintang muda yang minimal punya pengalaman di sinetron. Beberapa pemain pernah main film layar lebar. Dan oh, Radja dan Joseft tak mau ketinggalan ikutan main. Ini wajar, kok. Mereka ingin jadi bagian dari mimpi mereka. Toh, mereka sudah pontang-panting memodali filmnya, masak tak boleh ikutan main? Biar saja akting mereka sekaku batu. Atau Joseft yang pakai topi koboi, alih-alih terlihat cool malah tampil cupu di film yang sebagian dananya dari koceknya sendiri.

KM 14 mengklaim beda sendiri. Saat yang lain lebih suka membuat film horor atau percintaan remaja, film ini memberi tema suspense thriller. Klaim itu salah. Psikopat tahun lalu menawarkan tema yang mirip KM 14. Dan kalau Anda sempat menontonnya dulu lalu bilang “itu salah satu film terburuk yang pernah dibuat”, KM 14 rasanya tak lebih berkualitas dibanding Psikopat.

Kisahnya dimulai dengan tragedi yang menimpa Vander, seorang dari 7 sahabat yang menamai geng-nya Boom Fire lantaran suka main petasan. Ya, Vander tewas kena petasan. Kematian Vander hasil sabotase seorang tak dikenal yang ingin mencederai Anna (Jian B. Anwar), salah seorang Boom Fire yang malam itu melangsungkan pesta ultah. Seorang Boom Fire lain, Tasya (Ardina Rasti) merasa bersalah karena indranya menangkap ketakberesan yang akan terjadi tapi tak cukup bertindak.

Setelah tangis-tangisan tanpa juntrungan, sekonyong-konyong Anna dapat kabar orang tuanya meninggal. Ia mesti tinggal bareng pamannya (Joseft) di sebuah villa di kilometer 14. Namun, Anna tengah didekati Bobby (Radja), kekasihnya yang diwarisi mengurus perusahaan milik ayahnya. Pamannya, dengan topi koboinya yang culun, memandangi penuh cemburu dan curiga.
Lalu, Tasya mendapat penglihatan kalau Anna dalam bahaya. Ia mengajak anggota Boom Fire lain mencari tahu ke rumah yang ditinggali Anna. Dari sini ketegangan makin memuncak. Satu-persatu Tasya dan teman-temannya jadi korban keganasan sosok misterius berkapak. Logika tak lagi jadi ukuran, yang penting bagaimana setiap momen di rumah itu jadi menegangkan. Pertanyaan yang muncul saat menonton macam, “Bukankah tinggal menelepon ke handphone saat terpisah dari rombongan? Buat apa mengajak produsen handphone jadi sponsor bila tak dimanfaatkan untuk membangun cerita?”; atau “Eh, rasanya sosok yang diceritakan mati itu terlihat masih bernafas, deh?” dan banyak lagi, seolah tak jadi bahan pertimbangan pembuat film. Oh ya, tak perlu pula pusing menebak-nebak siapa sosok misterius yang membantai Anna dan sahabat-sahabatnya. Perhatikan, saat Anna pindah dengan pamannya lihat apa yang ditenteng sang paman bersama tas koper besarnya.

Terus terang, menonton KM 14 membuat kita mencamkan satu hal: setiap orang bisa membuat film, tapi tak setiap orang bisa membuat film yang baik dan benar. Boleh saja bermimpi bikin film, lalu mewujudkannya. Namun, mimpi itu akan berujung jadi kenyataan yang sia-sia bila filmnya tak mampu bicara banyak. ***

Resensi Bintang Edisi 809

Kuntilanak
Teror hantu di tempat kos


Oleh Ade Irwansyah

Mari
mulai dengan sebuah pertanyaan kecil, jika Anda setiap malam dihantui mimpi ketakutan, lantas mesti pindah tempat kos, akankah Anda memilih tempat kos murah yang jalannya berliku dan di depan tempat kos itu ada pekuburan, lengkap dengan pohon besar nan angker? Mungkin sekali Anda bakal menjawab tidak. Namun, Samantha (Julie Estelle) toh memilih tempat kos seperti itu. Alasannya mungkin sederhana saja. Ini film horor. Kalau tokohnya pindah ke tempat kos yang tak menunjukkan kesan angker, bisa jadi filmnya dianggap tak cukup membuat ketakutan.

Dan hei, tidakkah orang nonton film horor buat ditakut-takuti?

Nah, urusan menakut-nakuti penonton ini pernah begitu berhasil dilakukan Rizal Mantovani. Pada 1999 lampau, Rizal (bareng Jose Purnomo) melahirkan Jelangkung. Kala itu, Rizal sukses menggiring sekitar 1,6 juta orang ke bioskop untuk ditakut-takuti. Namun, selepasnya nama Rizal seolah tak lagi terdengar di jagad film nasional. Padahal, Jelangkung dianggap tonggak penting kebangkitan film nasional pasca mati suri.

Dan hei, kini Rizal kembali! Ia menyiapkan Kuntilanak untuk menakut-nakuti Anda di bioskop saat libur Lebaran nanti.

Kisahnya dimulai dengan kepindahan Sam, sapaan Samantha, ke tempat kos nan angker tadi. Dulunya, tempat kos itu bekas mes karyawan pabrik batik Mangkujiwo. Keluarga Mangkujiwo juga menyimpan misteri tersendiri. Oleh si penjaga tempat kos, Sam diperingatkan macam-macam. Sebuah kamar kosong yang terkunci rapat tak boleh ia masuki, dan beberapa takhayul lain. Termasuk soal hantu kuntilanak di pohon angker di kuburan.

Kuntilanak bisa datang dengan dipanggil. Tak tahunya, Sam punya kemampuan memanggil kuntilanak. Secara tak sadar, ia bisa melakukan itu. Maka, ketika ada teman kos lain yang berniat jahat padanya, atau ada pria yang ingin menjahilinya, Sam memanggil kuntilanak. Sang hantu lantas melaksanakan tugasnya: membunuh siapa saja yang ingin Sam bunuh. Tentu hal itu dilakukan Sam saat dirinya tak sadar. Pun demikian ketika, Sam bertengkar hebat dengan kekasihnya, Agung (Evan Sanders). Di ujung pertengkaran, Sam tiba-tiba memanggil kuntilanak. Agung pun jadi korban, meski tak sampai mati.

Sam lantas sadar atas kemampuan mistisnya. Pemilik tempat kos yang masih keturunan Mangkujiwo (Alice Iskak) mengingatkannya buat berhati-hati pada kemampuan itu. Sam juga dipesan kalau kemampuannya itu akan membuatnya jadi berkuasa. Pertanyaannya, akan Sam apakan kekuatan itu?

Wah, tak mungkin menjawab akhir filmnya di sini. Biarkan itu jadi kejutan begitu Anda menontonnya di bioskop. Yang pasti, selepas Jelangkung dulu, kemampuan Rizal untuk membuat tontonan menakutkan belum tumpul. Memang, saat menontonnya nanti Anda bakal temukan kemiripan pola dengan film-film horor kebanyakan (mengandalkan banyak adegan yang bikin kaget). Musik menghentak menambah kesan seram yang dibangun. Tapi ya begitulah film horor kita. Kalau Anda ketakutan seperti saat menonton Jelangkung dulu, berarti kerja Rizal sudah berhasil. ***

Resensi Bintang edisi 803

I Love You, Om

Kisah Cinta Anak Kecil dengan Om-om


Oleh Ade Irwansyah

Banyak orang mengalaminya sewaktu kecil: punya perasaan suka pada orang yang lebih tua. Entah pada guru di sekolah, guru di tempat les, atau tetangga sebelah rumah. Nah, perasaan cinta model itu yang coba diaduk-aduk lewat film ini, I Love You, Om. Dari judulnya saja sudah bisa ketahuan kira-kira kisahnya seperti apa. Tapi, alangkah baiknya bila diceritakan kembali—meski barang sedikit saja. Alkisah, hiduplah Dion (Rachel Amanda), dara cilik yang baru beranjak 12 tahun. Dion anak orang kaya. Ia tinggal hanya bersama ibunya (diperankan Ira Wibowo). Hidup Dion tak bahagia. Ibunya yang bertugas mencari nafkah nyaris tak punya waktu buat Dion. Dion malah disuruh ikut les macam-macam oleh ibunya.

Di rumah, Dion berkenalan dengan Gaza (Restu Sinaga), pria 35 tahun yang jadi tukang laundry langganan ibunya. Gaza bersimpati pada Dion yang selalu dimarahi ibunya. Oleh Gaza, Dion diajak berkeliling kota naik vespa, ke Dufan, sampai diajak nonton konser band The Upstairs. Syahdan, timbullah perasaan itu: Dion menaruh hati pada Gaza! Cukup. Ceritanya sampai di situ dulu. Film ini punya satu hal yang pasti: temanya tak biasa. Bila film lain mengangkat kisah cinta anak remaja atau orang dewasa dengan orang dewasa lainnya, film ini mencoba lain sendiri.
Namun demikian, keberanian mengangkat tema yang berani saja barulah langkah awal.

Langkah lainnya pada tingkat eksekusi alias hasil akhir filmnya. Pertanyaanpun menyeruak: apakah film ini mampu menggambarkan ketakbiasaan dari tema yang diangkatnya? Sebelum menjawabnya, mari sejenak menengok film yang punya tema mirip-mirip: Malena (2000) garapan Guiseppe Tornatore. Kisahnya seputar perasaan cinta seorang bocah puber pada wanita bernama Malena. Di situ, Tornatore menyorot sosok Malena dari bocah yang mencintainya. Realitas seorang bocah yang merindu pada sosok yang lebih tua digambarkan amat mengena pada Malena. Si bocah tak pernah menyatakan cintanya, tapi ia mengamatinya dari kejauhan, mengintip rumahnya, memimpikannya, hingga mencuri celana dalamnya.
Itulah yang mungkin dilakukan seorang bocah yang baru puber. Tapi, lihatlah yang dilakukan Dion. Bocah itu mengejar pria pujaannya bak seorang dewasa yang sedang jatuh cinta. Dion mendatangi tempat kerja Gaza, datang ke rumahnya, menyatakan cinta, hingga mencari Gaza ke diskotek (Ya Tuhan, bagaimana mungkin anak usia 12 tahun bisa masuk diskotek! Sendirian pula!). Belum lagi dandanan Dion yang mirip cewek dewasa. Ya, kemana-mana Dion pakai baju tank top—suatu kali lengkap dengan buntelan payudara palsu. Puncaknya, di pesta ultahnya, Dion pakai gaun putih yang hanya pantas dipakai wanita berusia di atas 20-an tahun. Oke, boleh-boleh saja anak kecil pakai baju orang dewasa, tapi tentunya ada kecanggungan saat seorang anak-anak memakai baju yang tak biasa dipakainya sehari-hari. Hal ini yang luput dari penceritaan sutradaranya, Widy Wijaya (biasa menggarap sinetron macam Inikah Rasanya) dan penulis skenario, Aviv Elham.

Maka, I Love You, Om tak lebih dari pameran “kegilaan” cinta seorang anak kecil pada om-om, tanpa muatan psikis yang kompleks. Tak ada tuh pergolakan batin yang dirasakan Dion. Pun tak ada pergolakan batin yang dirasakan Gaza, yang ternyata, diam-diam punya perasaan pada Dion. Oh, andai bagian ini bisa digarap lebih baik. Sayang beribu sayang, bagian tak biasa ini hasilnya malah jadi mirip sinetron. Yang terekspos berlebihan justru bagian hidup yang lain: Gaza dikejar Nayla (Karenina dalam tampilan yang mengganggu), mantan pacarnya yang memacari cewek lesbian demi uang. Duh, bagian yang tak penting ini sungguh mengganggu konsentrasi menonton. Rasanya, tokoh itu dihilangkan pun tak apa-apa. Lalu, komedi yang coba dibangun lewat teman sepermainan Dion yang menaruh hati malah makin menegaskan aroma sinetron dari film ini. Dengan semua cacat cela itu, walhasil, I Love You Om tak lebih dari film yang punya tema tak biasa, dengan hasil akhir biasa-biasa saja. ***

Resensi Bintang edisi 801

Koper

Kalau Novelis Membuat Film

Oleh Ade Irwansyah

Apa hal yang mungkin dilakukan sebuah koper? Dipakai membunuh orang? Bisa saja, tapi bukan itu jawaban yang tepat. Di tangan Richard Oh, penulis yang juga pemilik toko buku QB, koper bisa jadi tema sebuah film. Benda itu juga jadi judul film. Maka, jadilah Koper, film pertama besutan Richard. Namun demikian, Richard tak merasa cukup hanya menyutradarai film pertamanya, ia juga menulis skenario. Tapi, jadi sutradara sekaligus penulis skenario saja belumlah cukup buat dibilang sukses. Yang terpenting, hasil akhir filmnya: bagus atau jelek. Namun, tak adil langsung bilang film ini “bagus” atau “jelek”. Setiap film punya keunggulan maupun sisi buruk masing-masing. Tak terkecuali, Koper.

Dan Koper boleh dibilang berhasil dalam satu hal: membuat kantuk.

Namun, sebelum bicarakan aspek yang membuat film ini bagus sebagai pengantar tidur, mari simak kisahnya. Rilis yang dibagi ke wartawan menyebutkan, pada suatu siang, segerombolan perampok melarikan sebuah koper penuh uang dari sebuah bank. Maaf saja, di filmnya sendiri, adegan itu tak ada. Apa Richard memotongnya? Entah. Peristiwa itu cuma diberi tahu sekilas lewat ucapan seorang perempuan bernama Mbak Sri (Virnie Ismail). Dandanannya heboh, khas tetangga yang usil dan sukanya pamer kekayaan. Sri biasa bertandang ke rumah pasangan Yahya (Anjasmara) dan Yasmin (Maya Hasan).

Yahya dan Yasmin bukanlah pasangan bersahaja. Yasmin selalu mengeluh tentang kesulitan hidup, tentang harga-harga barang yang selalu naik, dan gaji suaminya yang kecil. Sementara itu, Yahya seolah hidup dalam dunianya sendiri. Ia cuma diam mendengar istrinya mengeluh. Kala Sri datang memamerkan kekayaan, Yahya juga cuma membisu. Ia seolah tak punya gairah hidup. Rutinitas kantor ia jalani bak sebuah mesin yang bergerak: mekanis, tak ada gairah. Pagi berangkat, malam hari pulang. Hiburannya, minum bir sendirian di sebuah kafe dan mendengar musik P Ramlee, penyanyi legendaris Malaysia.

Hingga suatu malam, sepulang minum-minum, Yahya menemukan sebuah koper. Dari situ seketika hidupnya berubah 180 derajat. Nah, dari sini juga, film ini mulai menunjukkan kelemahannya. Seperti banyak film nasional lainnya, Koper tak dibangun di atas fondasi yang logis. Mendadak, penuh kesan, kalau koper yang ditemukan Yahya adalah koper berisi uang 1 milyar rupiah hasil perampokan bank. Padahal, bisa saja, itu cuma koper biasa. Belakangan, penonton diajak percaya betul: koper itu berisi uang!

Hal itu mungkin diperlukan buat menegaskan karakter Yahya yang bersih, tak mau disuap, anti korupsi, atau mengambil barang yang bukan miliknya. Tapi, kesannya dipaksakan. Yahya dikisahkan jadi sosok penting. Seluruh dunia mendadak jadi peduli padanya. Bosnya memperhatikannya. Beberapa bodyguard setia menjaganya. Setiap orang juga ingin tahu apa isi koper yang selalu ia jaga melebihi istrinya. Buat menghindari kegilaan dunia, Yahya minum bir di kafe favoritnya, ditemani Noni (Djenar Maesa Ayu) sang pramusaji.

Suatu ketika, Yasmin sakit keras. Ia mesti dioperasi. Biayanya sekitar 20 juta rupiah. Yahya tak punya uang sebanyak itu. Namun, niatan korupsi tak ada di benaknya. Ia ogah memakai uang haram, meski buat mengobati istrinya. Sementara itu, kopernya sendiri tak sengaja terbuka. Anda ingin tahu isinya? Jangan terlalu berharap. Hingga film berakhir, kita tak pernah diberi tahu apa persisnya isi koper itu. Yahya cuma ketawa-ketiwi melihat isinya.

Balik ke urusan awal, film ini membuat kantuk. Pangkal soalnya, dari skenario yang disusun Richard. Hingga, hasil akhir filmnya berjalan amat lambat. Richard menyamakan menulis skenario seolah menulis novel-novelnya. Jangan bayangkan teori skenario 3 babak yang berujung pada klimaks di bagian akhir, alur film ini berjalan ibarat sebuah mobil di jalanan bebas hambatan yang lurus, tanpa belokan menukik buat bumbu cerita biar lebih seru, maupun sekadar undakan. Semuanya serba sepi. Rasanya, alih-alih membaca buku “Bagaimana Membuat Skenario Film yang Baik dan Benar”, Richard malah mendalami buku “Bagaimana Membuat Penonton Tertidur Saat Menonton Film.” Belum lagi soal dialog-dialog sok filsafati yang berpanjang-panjang. Ini membuktikan kalau Richard belum fasih bicara dalam bahasa gambar. Para aktornya cuma ia suruh mengisi dialog-dialog yang bagusnya jadi bahasa tulisan, bukan bahasa gambar. Mungkin, saat menulisnya, Richard tak mengandaikannya jadi skenario film, melainkan sebuah novel. ***

Resensi Bintang edisi 800

Betina dan Foto, Kotak, dan Jendela

Dua Film Independen yang Siap Anda Tonton


Oleh Ade Irwansyah

Seorang
artis kelas tiga, seorang produser baru, dan seorang reporter yang bosan dengan pekerjaannya. Ketiganya disatukan oleh foto, kotak, dan jendela. Sang artis, Reno (Vino Bastian) cuma jadi host acara dini hari yang sepi penonton. Ia sering gagal saat kasting di banyak rumah produksi. Buat menyambung hidup lantaran sepi job, Reno mesti pindah ke rumah susun yang sederhana. Di sana, tinggal pula Laras (Noveleta Dinar), wartawan majalah yang sudah jenuh dengan rutinitas kantor. Ia mengidamkan bisa jalan-jalan ke luar negeri suatu saat. Laras dan Reno bertetangga dengan Dimas (Christian Sugiono), cowok ganteng yang baru diangkat jadi produser di stasiun teve tempatnya bekerja. Oleh atasannya, Dimas dipercaya menggagas tayangan baru, sebuah talk show tentang cinta. Nah, Laras diajak Dimas buat jadi penulis naskahnya. Bagi Laras, acara ini bisa jadi pegangan bila ia benar-benar berhenti dari majalah tempatnya bekerja. Reno lantas ditarik Laras dan Dimas buat jadi host. Laras pikir, Reno paling cocok membawakan talk show itu. Lagipula, Reno rela tak dibayar mahal.

Lantas, apa kaitan foto, kotak, dan jendela dengan ketiganya? Mungkinkah mereka menggunakannya buat menguasai dunia? Hush, ada-ada saja. Bagi Laras kata “foto” punya arti penting. Ia punya “altar” khusus untuk menaruh foto-foto hasil jepretan mantan kekasihnya Dana seorang fotografer yang selalu bepergian. Pada setiap cowok yang baru dikenalnya Laras kerap memamerkan foto-foto itu sambil tak lupa berujar, “Foto ini yang motret Dana juga.” Nggak cuma itu, Laras juga bela-belain cuci cetak foto di tempat langganan Dana. Padahal, jarak tempat itu jauh dari rusun dan kantornya. Di sana, ia mencari tahu kabar Dana. Reno juga setali tiga uang. Sebelum tidur, ia bisa berlama-lama memandangi kotak berisi robot mainan. Semua robot mainan itu hadiah dari Wina, mantan kekasihnya yang berprofesi sebagai designer sekaligus pemilik toko baju. Sementara itu, Dimas punya ikatan pada jendela. Di jendela rumahnya, Dimas memasang gorden warna merah marun. Warna gorden itu sudah usang dan tak cocok dengan warna rumahnya. Saran ibunya buat mengganti gorden itu tak dihiraukan. Sebab gorden itu didapat Dimas dari mantan kekasihnya, Mayu (Sita Nursanti). Hubungan kasih keduanya mesti terpisah lantaran, “Dimas Natalan, sedang Mayu Lebaran.”
Syahdan, Reno kembali dekat dengan Wina. Laras kembali bertemu Dana. Sedang Dimas jalan bareng lagi dengan Mayu. Ketiganya sepakat kalau mantan kekasih mereka adalah masterpiece dari kisah cintanya masing-masing. Tapi, benarkah kalau mantan kekasih mereka sosok the one yang selama ini dicari?

Ternyata persoalan cinta lebih rumit dari itu. Hal ini rasanya yang jadi pesan dari Foto, Kotak, dan Jendela (2006). Kala film remaja yang kebanyakan tampil sederhana dan penuh warna ceria, film ini justru tampil lain. Tema yang diangkat, meski pun biasa, tampil bersahaja. Tanpa pretensi buat jadi besar dan kontroversial maupun bergenit-genit ria sok romantis. Namun, film debut penyutradaraan Angga D. Sasongko ini tak jatuh jadi kacangan. Filmnya justru jadi dewasa, ringan, sekaligus berisi di pihak lain.

Sungguh, Foto, Kotak, dan Jendela lebih bagus dari semua film remaja yang hadir di bioskop beberapa bulan terakhir. Namun, jangan mencari film ini di bioskop jaringan 21. Ini film independen. Buat yang tertarik menontonnya, mending cari tahu kapan film ini diputar di bioskop art cinema, pusat-pusat budaya macam Goethe Haus atau CCF dan kampus-kampus di 10 kota besar. Kata pembuatnya, filmnya bakal tayang sekitar pertengahan September nanti.
Sementara itu, ada satu lagi film independen yang siap tayang juga. Judulnya, Betina (2006). Seperti halnya Foto, Kotak, dan Jendela film debut penyutradaraan Lola Amaria ini juga tak bakal tayang di bioskop jaringan 21. Film ini juga cuma akan diputar di art cinema, pusat-pusat kebudayaan, dan kampus-kampus di berbagai kota.

Tak adil membandingkan keduanya. Sebab, Betina bukan film bertema cinta anak remaja. Betina adalah nama tokoh utamanya (diperankan Kinaryosih). Ia hidup di sebuah desa di negeri antah-berantah. Penduduk kampung banyak yang mati gara-gara melahap jamur beracun. Setiap hari, ada saja yang dikubur. Desa ini punya upacara penguburan yang aneh. Saat di depan makam (yang bentuknya segitiga putih), penjaga makam menyambut istri si mayat, menciumi lalu mengajak pergi. Betina yang dibakar cemburu, melihat penuh curiga. Ia memendam perasaan pada si penjaga makam. Sementara itu, Betina sendiri punya sapi perah kesayangan. Saking sayangnya, si sapi tak cuma diperah susunya dan dimandikan. Sapi itu ia ciumi, bahkan suatu kali Betina menyetubuhinya (duh, betapa beruntungnya sapi itu). Belakangan Ibu Betina berkesempatan bertemu si penjaga makam kala seorang kerabatnya (?), Luta (Subur Sukirman) meninggal. Betina cemburu pada ibunya. Ia mencari cara buat bisa berduaan dengan si penjaga makam. Betina rela melakukan apa saja.

Inti film ini sederhana saja. Hanya Lola seolah menggarapnya jadi rumit. Ia banyak menyajikan bahasa simbol. Ada tanda keagamaan segitiga, hingga mantra-mantra tak jelas. Dari sini Lola ingin tampil surealis. Namun, pada beberapa bagian Lola tak konsisten dengan surealismenya. Di negeri antah-berantah itu, mendadak bisa terdengar lagu dangdut Bang Toyib dan lagu barat Only You. Mungkin Lola merasa dirinya Garin Nugroho. Sayang, jam terbang Lola belum cukup mumpuni membikin film seni sekelas film-film Garin. Walhasil, alih-alih larut dalam tuturan gayanya berkesenian, penonton malah tertawa ngakak pada beberapa bagian. Mantra di film ini bisa jadi bahan tertawaan yang bagus usai menonton. Sebuah hasil akhir yang mengecewakan buat film yang butuh waktu dua tahun untuk menggarapnya, dan jadi pemberitaan sejak dulu. ***